Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah Pak Walang dan Kegagalan Negara

30 November 2013   21:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_295532" align="alignleft" width="300" caption="Pak Walang dan Uangnya (www.liputan6.com)"][/caption] Tertangkapnya Walang bin Kilon, pengemis asal Subang dengan uang lebih dari Rp. 25 juta di dalam gerobaknya membuat profesi itu menjadi perbincangan publik. Padahal, ya, itu sebenarnya bukan hal baru. Bukankah dari dulu juga sudah ada kisah pengemis tajir. Pak Walang ini, cuma menambah deretan ‘kisah sukses’ para pengemis. Akan tetapi, ‘prestasi’ pria yang rambutnya sudah memutih itu memang fenomenal. Konon, Ia sudah mendaftar haji dari hasil meminta-minta derma. Di kampungnya Pasir Bungur, Kecamatan Purwadadi, Subang, Ia malah sudah dipanggil Pak Haji. Walang pun diberitakan memiliki sawah, sapi dan rumah yang layak di kampungnya. Pria berumur 50 tahun yang itu katanya juga dermawan. Pak Walang ini bisa jadi di kampungnya adalah seorang tokoh masyarakat dan panutan sekaligus inspirasi untuk bagaimana meraih kesuksesan. Saat mengemis, Ia mengajak Sa’aran, tetangganya yang patuh dengan instruksinya untuk berlaku menarik iba. Sa’aran tertarik mengemis karena ingin ‘sukses’ seperti Walang. Saya pernah punya pengalaman pribadi dengan pengemis. Ceritanya suatu pagi di Jakarta, saya berderma kepada pengemis. Akibat iba melihat penampilanya : pria tua, ringkih, bungkuk dengan baju lusuh dan muka sangat memelas, saya berikan lah dia uang ala kadarnya. Sore hari, setelah pulang kerja, saya mampir di tempat makan. Ketika saya membayar, saya kok seperti mengenal orang yang berada di samping saya.  Ia pun rada kaget dengan keberadaan saya. Oh, ternyata Ia adalah pengemis yang saya jumpai tadi pagi. Memang penampilanya sudah berubah dan lebih bersih tapi saya masih mengenalinya. Dan aw, aw.. dia memborong beberapa porsi sate kambing sementara saya hanya makan ala kadarnya. Asyem… Sejak saat itu saya jadi agak pilih-pilih dan malas memberikan derma kepada pengemis. Ya, memang sih kalau memberi seharusnya ikhlas. Ketika tangan kanan mengulurkan sebaiknya tangan kiri tak tahu, begitu katanya. Masalah derma kita tidak tepat sasaran dan disalahgunakan, toh masih ada yang ‘diatas’ yang lebih berhak menilai. Tapi sebagai manusia biasa saya mangkel juga dengan kejadian itu. Realita itu dan kisah Pak Walang membuat saya juga merasa ada yang salah sepertinya di negeri ini. Bagaimana tidak, masa penderma ‘lebih miskin’ daripada pengemis.  Pengemis kok penghasilanya jutaan, lebih tinggi dari tuntutan buruh yang demo di jalanan menuntut kenaikan upah kemarin.  Pantes bin wajar mereka rela  menghinakan diri dengan berpura-pura menjadi gembel, kumuh dan terlunta lunta.  Anak pun dikaryakan, bahkan disewakan untuk menjadi pengemis. Wong penghasilanya menggiurkan. Pengemis juga enggan beralih profesi. Alasanya banyak : tidak punya keahlian lain, lahan pertanian menyempit di desa, lowongan pekerjaan tak ada, keterbatasan fisik dan lain-lain. Tapi kemarin kok ya ada Walikota Bandung yang melakukan terobosan dengan berencana memberikan pekerjaan pada pengemis sebagai tukang sapu jalan juga ditolak kecuali kalau mereka digaji 4-8 juta rupiah per bulan yang setara dengan penghasilanya selama ini. Apakah tak ada peraturan di negeri ini yang mengatur masalah sosial itu? Ah, sepertinya soal regulasi tak kurang-kurang. Razia gepeng juga terus di jalankan aparat yang berwenang. Mereka ditangkap lalu dibina. Toh kembali lagi menjadi pengemis dan justru pengemis makin banyak. Lalu, Apa ada pelarangan memberikan uang pada pengemis? Ya ada. Malah akan diberi sanksi kok yang member ke pengemis. Akan tetapi aturan ini juga tumpul. Alasanya, orang berderma kok dilarang berarti melarang kita orang dapat pahala dan masuk surga dong. Begitu katanya. Terus, kenapa tak berderma ke lembaga resmi? Alasanya juga banyak. Salah satunya, embaga resmi tak didukung dengan sosialisasi yang baik. Masyarakat juga banyak yang meragukan kinerjanya, transparansinya kurang. Jangan-jangan tak disalurkan, jangan-jangan dikorupsi. Lebih mantap jika memberikan sendiri. Begitu katanya. Nah lho, dimana negara? Kenapa aturan banyak dibuat tetapi tak ditegakan? Kenapa tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan. Kenapa mental masyarakat begitu, bangga dengan kemengemisanya. Kenapa tak bisa mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Kenapa??. Bukankah dalam Undang-Undang dasar negara kita sudah disebutkan dengan jelas.

Pasal 34 ayat 1 : Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Ah, bisa jadi kisah Walang bin Kilon ini adalah bentuk dari kegagalan negara. Negara  gagal membina masyarakatnya dan menghadirkan kesejahteraan ditengah-tengahnya.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun