Proses revolusi ini, harus didukung pemerintah dengan menelorkan  kebijakan yang progresif dan kemauan politik yang kuat. Pemerintah harus segera merancang kebijakan pengembangan Liquified Natural Gas (LNG), yang selama ini banyak kita jual murah ke negara lain. Pada tahun 2013, Indonesia mengekspor gas alam 17.04 juta metric ton. Selama ini, gas alam cair memang lebih banyak kita ekspor, sementara penggunaan untuk industri dalam negeri dan terutama rumah tangga masih sangat minim. Seperti diketahui, Indonesia justru sehingga malah impor elpiji besar-besaran. Dalam setahun kemarin saja impor LPG mencapai 3.3 juta metric ton. Jumlah tersebut, lebih dari setengah kebutuhan nasional gas elpiji yang berkisar 6 juta metric ton, sementara produksi domestik hanya 2.3 juta metric ton. Kondisi ini tentu saja ironi yang tak boleh terus menerus dipelihara.
Selama ini, pengembangan LNG untuk keperluan rumah tangga selalu terbentur dengan alasan infrastruktur yang mahal. Memang, penggunaan gas alam cair untuk rumah tangga tak segampang eliji yang cukup dimasukan ke tabung sehingga lebih mudah transportasinya. Penggunaan gas alam untuk rumah tangga membutuhkan pipa yang merentang hingga ke dapur rumah. Saat ini, pipa distribusi yang bisa sampai ke rumah hanya ada segelintir di kota-kota besar.
Untuk mengatasi hal ini, tentu perlu kemauan yang kuat dan kebijakan revolusioner dari pemerintah. Mental pemerintah harus berubah untuk tak hanya berpikir praktis, impor!. Pemerintah harus mulau mempersiapkan proses 'hijrah' dari LPG ke LNG. Jangan lagi gas kita jual murah ke luar negeri sementara rakyat kita sendiri kekurangan gas.
Sebagai informasi, Indonesia mempunyai cadangan gas alam cair no 11 terbesar di dunia dengan total cadangan terkonfirmasi sebesar 98 trilliun kaki kubik. Indonesia memiliki 3 daerah penghasil gas alam yaitu Arun di Aceh, Bontang di Kalimantan Timur dan Tangguh di Papua dengan serta 2 lokasi sebagai terminal import gas di Jawa Barat serta di Jawa Timur.(Wikipedia)
Kenaikan harga Elpiji ini juga bisa menjadi pelajaran dan ujian revolusi mental bagi masyarakat kelas menengah ke atas. Mereka harus ikut menyadari, bahwa selama ini pemerintah banyak memberikan subsidi bagi kalangan mampu ini, diantaranya subsidi BBM dan Elpiji. Jadi, seharusnya naiknya harga elpiji 12 kg, tak lantas membuat panik dan migrasi besar-besaran ke elpiji 3 kg. Ingat, elpiji 3 kg adalah hak bagi kalangan menengah kebawah.
Bagi kalangan mampu, belanja untuk keperluan elpiji sangat kecil nilainya dibandingkan kebutuhan mereka yang lain. Survey pertamina pada pengguna elpiji 12 kg menyebutkan pengeluaran untuk elpiji menduduki posisi terendah dibandingkan pengeluaran untuk komponen lainnya. Meski harga naik, kebutuhan untuk elpiji rumah tangga mampu tak ada setengah dari belanja pulsa lho. Jadi, mereka harus lebih bijak untuk tak ikut-ikutan menikmati gas bersubdisi yang bukan menjadi haknya.
Kalangan mampu ini juga kaum yang melek informasi dan sangat aktif di media sosial. Sikap mereka banyak menjadi rujukan media yang bisa mempengaruhi kebijakan. Cuitan mereka di media sosial bisa menjadi bola salju yang menjadi trending topic, diberitakan besar-besaran, menarik simpati, menerbitkan benci bahkan bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kekuatan ini harus digunakan dengan jernih untuk mendukung berbagai kebijakan publik yang baik.
Sementara itu, kenaikan LPJ ini juga memberikan pelajaran penting bagi masyarakat menengah ke bawah. Mereka selama ini merupakan golongan yang paling banyak menjadi sasaran dan dimanjakan dengan pemberian subsidi, termasuk subsidi gas. Padahal, masyarakat menengah ke bawah terutama yang ada di pedesaan harusnya tidak dipusingkan dengan kenaikan harga gas. Pasalnya, disekeliling mereka ada sumber energi melimpah yang bisa membuat dapur ngebul. Kayu bakar masih melimpah dan jika kekurangan ada sekam padi untuk bahan bakar kompor. Potensi biogas juga masih sangat mungkin dikembangkan di pedesaan.
Masyarakat bawah juga harus ikut dalam proses 'revolusi' ini. Mereka sudah seharusnya diberikan perhatian, hanya tak elok pula juga terus menerus dimanjakan. Masyarakat bisa berdikari kok, termasuk dalam memenuhi kebutuhan sumber energinya. Dimana ada kemauan, plus diberikan dukungan, semua itu bukan hal yang tak mungkin dilakukan.
Jadi, kita bisa mengambil sisi positif dari kebijakan Pertamina menaikan harga elpiji 12 kg bahwa perlu kesadaran masal dan revolusi mental dari presiden sampai rakyat jelata bahwa sudah saatnya kita memanfaatkan kekayaan negeri untuk kemakmuran segenap rakyat kita sendiri. Sudah bukan jamannya kita tergantung impor disaat kita sendiri banyak sumberdaya alam. Sudah saatnya kita berdikari dan berdaulat. Mari kita mulai dari berdikari dan berdaulat dalam urusan yang paling mendasar, urusan membuat dapur ngebul!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H