Tujuan utama dari pendidikan adalah penerusan atau alih pengetahuan. Pendidikan bukanlah alat siap pakai yang dapat digunakan tanpa mempelajari sifatnya. Mengenal pengetahuan harus menjadi syarat utama untuk mempersiapkan pikiran menghadapi ancaman kekeliruan yang membuahkan kesesatan pikir, yang hingga kini masih menjadi parasit dalam pikiran manusia. Mengenal pendidikan adalah soal mempersenjatai pikiran dalam pertempuran hidup dan mati untuk memperoleh kejernian dalam bepikir.
Manusia adalah makhluk yang bersifat fisis, biologis, psikologis, kultural sosial, historis, dan sekaligus religius. Kesatuan kodrat manusia yang kompleks ini perlu dijaga, agar keharmonisannya tetap terjaga dalam jiwa manusia. Oleh karenanyalah, manusia dapat mengetahui dan belajar apa artinya menjadi manusia yang benar. Manusia adalah penghubung antara kesatuan dan keberagaman dari semua hal.
Dalam negara kita, yaitu Negara Kesatuan Republil Indonesia, begitu kaya akan budaya, agama, suku, dan kebiasaan-kebiasaan lokal yang begitu masih sangat kental. Semuanya itu berjajar dari pulau ke pulau membentuk untaian rantai emas yang begitu kuat. Namun untaian rantai yang kuat ini, kini mulai perlahan renggang dengan adanya oknum-oknum tertentu yang menyesatkan anak bangsa yang berbineka ini.
Mereka memakai agama sebagai modus dan kemudian membuatnya menjadi senjata penghancur yang sangat mematikan bagi bangsa kita. Mereka dengan segala pikiran kotor yang menyesatkan merusak anak bangsa kita.
Agama sebenarnya mengajarkan suatu kebenaran yang hakiki, yang dapat menghantar manusia mencapai suatu kebijaksanaan tertinggi dalam hidup. Ilmu agama seharusnya digunakan untuk membuat manusia hidup berdampingan dengan damai antar sesamanya. Namun sayang sekali, sebaliknya agama justeru dipakai sebagai senjata penghacur kedamaian bangsa.
Kita ingat akan peristiwa Poso dan Ambon yang begitu memilukan hati ibu pertiwi. Para bapak yang seharusnya memiliki rasa kasih terhadap sesama, berubah menjadi manusia bengis dan buas. Bukan lagi suara cinta dan perdamaian yang terdengar, tetapi pekikan perang yang menggelegar...bunuh mereka...basmi mereka...bakar mereka....
Rayuan dan gombal para pemuda terhadap para pemudi, berubah menjadi bahasa permusuhan dan penuh dendam yang membara. Nyanyian dan cerita pengantar tidur para ibu untuk putera dan puterinya berubah menjadi nyanyian perkabungan dan kematian. Peristiwa Poso dan Ambon masih begtu hangat dalam memori anak-anak bangsa.
Rasa trauma akan peristiwa sadis dan ngeri itu masih menempel dengan erat dan jauh melekat dalam jiwa. Bahkan baunya masih sangat terasa bila setiap kali menghela nafas. Hal yang sangat disayangkan, perbedaan keyakinan adalah biang kerok dari semua peristiwa itu. Hal itu diperparah lagi dengan kahadiran beberapa oknum yang memperkeruh suasana yang mencekam itu.
Mereka tidak lagi menggunakan agama sebagai jembatan untuk menciptakan perdamaian antar umat yang bertikai, tetapi malah menggunakannya sebagai alat untuk mngusai, menindas, bahkan membasmi saudara sesamanya. Anehnya, mereka begitu bangga dengan itu semua.
Mereka bangga telah menghabisi saudara sendiri. Mereka bangga dengan perilaku mereka yang sudah seperti naluri hewan buas, makhluk rendahan itu. Agama akhirnya menjadi alat yang menghacurkan manusia yang berpendidikan.
Berbagai kerusuhan, aksi terorisme, berita hoax, dan demonstrasi di berbagai pelosok negara, tidak jarang disebabkan oleh agama. Mengapa lagi-lagi harus agama, agama, dan agama? Apakah agama mengajarkan semua kebodohan itu. Saya kira agama mengajarkan suatu kebajikan, kedamaian dan cinta terhadap semesta yang adalah rumah kita semua.