Bendera finis bersiap untuk dikibarkan. Beberapa meter dari bendera itu, seorang anak muda dengan santainya berdiri di atas motor sayap tunggal yang masih melaju tanpa ada rasa was-was sekalipun bakal tersusul oleh pebalap yang lain. Mungkin dia sekaligus berpikir, bagaimana cara lain dalam merayakan kemenangannya yang semakin sering terjadi. Bendera finis berkibar dan tibalah saatnya untuk merayakan kemenangan.
Marc Marquez Alenta, atau yang akarb disapa Marc. Dia saat ini selalu menjadi perbincangan dalam gelaran balap MotoGP terutama karena dominasinya dalam beberapa tahun terakhir. Marc memang layak diperbincangkan. Sejak kehadirannya di kelas para raja, beragam rekor dia tumbangkan, dan juara-juara dunia dia buat tak berkutik.Â
Tahun 2013 dia memutuskan naik kelas tertinggi dan bergabung bersama salah satu tim juara dunia, Repsol Honda. Di tahun pertamanya, dia bisa meraih gelar juara dunia yang kemudian dilanjutkan lagi gelar yang sama pada tahun 2014, 2016, 2017, 2018. Sekarang, di musim kompetisi 2019, peluang untuk mengokohkan dominasi makin terbuka lebar. Marc marquez, yang identik dengan nomor 93, berpeluang untuk menjadi juara dunia MotoGP 2019 dan menambah banyak rekor lainnya.
Dominasi bisa membuat banyak orang menjadi bosan. Tidak terkecuali dominasi Marc Marquez di MotoGP. Tetapi dominasi ini memang tidak dapat terelakkan karena Marc juga memiliki  modal penting yang dapat menjadi senjata andalan dalam mengarungi kompetisi yang ketat, yaitu mental juara. Marc Marquez masuk ke kelas para raja berbekal prestasi di  kelas-kelas sebelumnya, yaitu juara dunia 125 cc  yang ia raih pada tahun 2010 (debut kelas ini ia jalani tahun 2008) dan juara dunia kelas Moto2 pada tahun 2012 (debut tahun 2011).Â
Mental (lo spirito) juara sebenarnya sudah terlihat sejak Marc berkompetisi di kelas-kelas tersebut. Salah satu kejadian yang menggambarkan kuatnya mental Marc adalah ketika berkompetisi di kelas Moto2, pada seri GP Australia, dia mendapat hukuman memulai balapan dari posisi paling belakang.Â
Akan tetapi, meskipun demikian, kondisi ini tidak menyurutkan semangat juang dirinya. Berbekal dengan kondisi mental yang kuat, pada balapan tersebut Marc dapat meraih podium ketiga meski sejak awal balapan sudah harus berjuang menyalip banyak motor di depannya.
Masuk ke kelas para raja, ibarat seorang anak kecil bergabung dengan para remaja. Saat itu usia Marc baru 20 tahun dan dia masuk ke tim yang sudah menghasilkan banyak juara dunia (Mick Doohan, Valentino Rossi, almarhum Nicky Hayden, dan Casey Stoner). Bahkan pada saat itu, Marc menggantikan posisi Stoner yang memutuskan pensiun.Â
Tentu kondisi ini membuat banyak pihak bertanya-tanya, apakah Marc mampu menggantikan posisi Stoner dan menyamai prestasinya? Untung saja pada saat itu, warganet Negara +62 belum banyak yang mengenal Marc sehingga dia lolos dari hujatan. Bisa dibayangkan jika saat itu Marc dihujat: "ah anak kecil, bisa apa lu? Paling tetep ga bisa ngalahin prestasinya Rossi" dan sejenisnya.Â
Pada kenyataannya, Marc bahkan bisa berkontribusi banyak untuk tim yang dahulu sempat identik dengan Michael Doohan dan Alex Criville tersebut, bahkan bisa melebihi prestasi Casey Stoner yang digantikannya. Dari sini terlihat bahwa Marc memiliki mental juara sesungguhnya karena dia tidak ragu dengan posisi pendatang baru yang menggantikan mantan juara dunia.
Tantangan yang dapat menguji mental Marc berikutnya adalah para rival yang menanti. Kita semua paham bahwa ketika Marc masuk ke kelas utama, di sana sudah bertengger nama-nama kelas dunia seperti Andrea Dovisiozo, Jorge Lorenzo, kompatriotnya di Repsol Honda, Dani Pedrosa, dan juga pujaan seluruh dunia, Valentino Rossi. Lorenzo dan Rossi adalah juara dunia dengan segudang prestasi, Dovi dan Dani adalah kandidat penantang juara dunia tiap musim. Menghadapi nama-nama besar yang sudah malang melintang di kelas MotoGP ternyata tidak membuat Marc mengendurkan semangat.Â
Bahkan pada musim debut di kelas puncak, dia bisa langsung meraih titel juara dunia. Hal yang tidak bisa dilakukan oleh Valentino Rossi sekalipun yang baru bisa juara dunia di kelas puncak pada musim keduanya (catatan: untuk penggemar Rossi garis keras, ini no offense yak, karena nanti pasti ada yang bilang: Rossi ke kelas puncak tanpa lewat tim pabrikan). Musim berikutnya, Marc bisa mempertahankan gelar meskipun dengan perjuangan karena dia termasuk pebalap yang rajin terjatuh juga.Â