Mohon tunggu...
Ignatia Sarita
Ignatia Sarita Mohon Tunggu... -

Menulis apa yang dilihat, mengungkapkan apa yang dirasakan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Belajar dari Genggaman Pasir

15 Januari 2016   21:16 Diperbarui: 27 Desember 2016   16:35 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

“Kalau genggam pasir jangan terlalu keras, dek, nanti jatuh semua.”

Aku berusaha mencerna dengan baik kata-kata kakakku, sambil asik bermain dengan pasir-pasir yang mulai memasuki jariku perlahan. Aku menenggelamkan kakiku ke dalam tumpukan pasir yang hangat dan menutupnya dengan pasir-pasir di sekitarku yang kuambil melalui genggaman demi genggaman kecil. Keras, aku menggenggamnya. Namun, pasir yang kugenggam dengan cepat keluar dari tanganku dan hanya sedikit pasir yang berhasil ditumpahkan untuk menutup kaki kecilku.

“Dek, kan kakak udah bilang. Genggamnya biasa aja, jangan keras-keras.”

Entah bagaimana, setiap aku kebingungan melihat pasir-pasir di sekitarku, kakakku selalu berhasil mendapatkan momen itu untuk diabadikan dalam sebuah foto, dan menghampiriku hanya untuk menyampaikan satu kalimat yang kurang berarti.

Aku berpikir, bagaimana bisa genggaman keras membuat pasir-pasir itu keluar. Sambil terus menatap pasir-pasir tersebut yang memang terlihat keluar dari genggamanku, aku merenung. Seharusnya, semakin keras genggamanku, dia semakin aman. Dia semakin terjaga. Namun, kenapa hal itu tidak berlaku dengan pasir-pasir di tanganku?

“Dek, mungkin ini terlalu berat buat kamu. Tapi gini.. Lihat foto ini,” kakakku menunjukkan hasil foto genggaman tanganku bersama dengan pasir-pasir di dalamnya sekaligus pasir yang jatuh juga.

“Pasir dan genggamanmu diibaratkan sebagai hubunganmu dengan orang-orang, entah dengan keluargamu, sahabatmu, atau nanti kalau adek udah punya pacar. Kalau pasir itu tetap ada di tangan adek dan digenggam biasa aja, atau adek cukup membuka tangan ke arah atas sambil menahan pasir-pasir itu, dia tetap ada disitu, kan?”

Aku mengangguk, sambil menyimak kata demi kata yang terucap.

“Coba sekarang genggam tangannya lebih keras. Pasirnya mulai jatuh, tuh, dari sela-sela jari-jari adek. Masih ada sih yang tetep tahan di tangan kamu, dek, tapi pasti banyakan yang jatuh. Benar gitu?”

Kembali, aku menganggukkan kepalaku.

“Sama halnya kaya hubunganmu sama orang-orang, dek. Kalau dibebasin, jadi ga terlalu menutup diri dan ga terlalu menahan sekeras tenaga, dan tentu saja saling hormat, dia akan tetap ada disitu dalam keadaan yang baik. Tapi, kalau kamu terlalu merasa memiliki, terlalu memaksakan semua-semuanya harus sesuai mau kamu, terlalu mengekang jalannya suatu hubungan, hubungan yang seperti itu lama-lama akan hilang bagaikan pasir-pasir ini hilang dari genggaman tangan adek.”

Aku diam tercengang. Membayangkan pesan yang disampaikan oleh kakakku.

“Ada perumpamaannya lagi, dek. Misal, kamu punya suatu barang nih. Barang itu bisa benar-benar berupa barang, atau bisa berupa informasi penting yang kamu punya, atau talenta kamu, banyak deh lainnya. Kalau kamu terlalu egois dan nggak mau berbagi sama orang lain, lama-lama dia nggak akan terpakai dengan baik dan ujung-ujungnya fungsinya akan hilang. Tapi kalau kamu menerimanya dengan penuh syukur, bersikap terbuka gitu mau berbagi, dia akan tetap ada disitu dan jadi berkat buat banyak orang. Kalaupun adek mau pake pasir itu buat numpukin kaki adek, jadi utuh kan pasirnya?”

Aku sungguh bersyukur mengenai apa yang aku pelajari hari ini. Satu hal yang sederhana, namun di dalamnya terdapat beberapa perumpamaan yang berguna untuk kehidupanku kelak.

Aku membersihkan tubuhku dari pasir, membereskan barang-barang yang aku bawa, dan pulang dengan hati yang bahagia serta ‘lumbung pengetahuan’ yang kembali terisi.

"Jangan digenggam terlalu keras pasirnya, genggam biasa saja, nikmati, dan syukuri pasir yang ada di tanganmu," pikirku dalam hati, diikuti dengan senyum yang tulus.

***

(Perenungan nyata yang alur, setting, dan tokohnya diubah. Mungkin lebih bisa dianggap sebagai fiksi. Penggunaan tokoh kakak dan adik/adek karena menurut saya kakak adalah seorang yang bisa menyampaikan cerita pada adiknya dengan cara yang sesuai dan mudah dicerna.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun