Mohon tunggu...
Ignasius Haryadi
Ignasius Haryadi Mohon Tunggu... -

Suami seorang bidadari tak bersayap, ayah seorang putri jelita.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Suryono, Sosok Pengelola Perkebunan dan Informan Titik Api

24 Januari 2016   23:41 Diperbarui: 26 Januari 2016   13:18 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Rumah Adat Suku Sakai (Sumber: koleksi pribadi)"][/caption]Ada yang menarik ketika saya kemarin mengunjungi Provinsi Riau. Sebenarnya, saya datang ke sana untuk melihat peresmian rumah adat Suku Sakai, di Desa Kesumbo Ampai, Kabupaten Bengkalis (19/1). Usai acara peresmian rumah adat Suku Sakai, terpikir oleh saya untuk menggali cerita dan melihat lebih dekat masyarakat yang tinggal di lahan-lahan hutan konsesi milik perusahaan yang berada Provinsi Riau. Perlu diketahui, di wilayah Provinsi Riau, sepanjang mata memandang banyak sekali tanaman sawit dan hutan tanaman industri seperti pohon Eucalyptus dan pohon Akasia yang tinggi jenjang. Apalagi belum lama ini terjadi bencana nasional kebakaran hutan, maka saya pikir akan lebih menarik untuk menggali cerita dari masyarakat yang tinggal di hutan-hutan konsesi ini dan terpapar asap pada kebakaran hutan yang lalu.

Lalu saya mencari perusahaan-perusahaan yang saya jadikan target. Tujuan saya saat itu adalah PT Arara Abadi, salah satu anak perusahaan Sinar Mas yang tergabung dengan APP - Sinarmas Agroforestry. Untuk mencapai ke area PT Arara Abadi, saya harus menempuh jarak sekitar 200-an kilometer lalu menempuh perjalanan 4 jam dengan mobil. Perjalanan terasa jauh. Suku Sakai memang berada di Kabupaten Bengkalis, sementara hutan-hutan tanaman industri banyak berada di Kabupaten Siak. Namun jarak yang jauh bukan jadi penghalang untuk memulai sebuah cerita, ya kan?

Setelah perjalanan yang lumayan melelahkan, saya lalu menemui pihak perusahaan. Saya mengemukakan maksud dan tujuan saya kepada pihak perusahaan untuk menemui masyarakat yang berada di dalam areal konsesi perusahaan. Rupanya saya diperbolehkan dan diizinkan untuk melihat langsung masyarakat yang tinggal dan berada di dalam lahan hutan konsesi mereka. Saya lalu dibawa masuk ke dalam lahan konsesi HPHTI (Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri) PT Arara Abadi, letaknya di Distrik Rasau Kuning, Desa Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak.

Awalnya saya membayangkan bahwa areal Hutan ini hanya berisi pepohonan Akasia atau Eucalyptus saja. Karena sejauh mata memandang, memang pohon-pohon berkarakter langsing semampai ini yang menjadi santapan mata saya. Namun setelah 15 menit berjalan dengan mobil dari gerbang utama, saya menemukan areal yang di dalamnya terdapat lahan-lahan yang diolah menjadi lahan pertanian. Tanaman yang ditanam pun bermacam-macam, ada tanaman sayur bayam, kangkung, kacang panjang, pepaya madu, melon, duren dan karet. Rata-rata tanaman semusim.

[caption caption="Pohon Akasia, Jenjang Menjulang (Sumber: koleksi pribadi)"]

[/caption]

770 Hektar yang Diperuntukkan Tanaman Kehidupan

Saya bertemu dengan Suryono, salah seorang masyarakat yang sudah tinggal di Desa ini selama 15 tahun. Ia adalah ketua kelompok Tani Jaya, kelompok tani yang berjumlah 18 orang. Menurutnya, kelompok taninya bergerak di perkebunan dan pertanian. Pak Suryono sendiri, selain menjadi petani, ia juga menjadi pedagang. Saban panen, ia pasti akan menjajakan hasil tanamannya ke pasar.

Pertemuan saya akhirnya menghasilkan sebuah diskusi hangat. Sesuatu yang jarang saya dapati di ibukota. Menurutnya, pada awalnya sempat terjadi konflik antara petani dan perusahaan. Konflik tersebut lantaran masyarakat merasa bahwa mereka sulit mendapat manfaat langsung dari hutan akasia yang ditanami oleh perusahaan. Konflik itu bermuara pada tuntutan masyarakat agar bisa memanfaatkan lahan-lahan tidur yang belum dimanfaatkan perusahaan. Akhirnya, pada tahun 2011 terciptalah kesepakatan antara para petani dan perusahaan dalam sebuah MoU tentang tanaman kehidupan.

Ada 770 hektar lahan yang diberikan perusahaan untuk dimanfaatkan para petani dan masyarakat untuk ditanami tanaman kehidupan. Tak berhenti di sana, Suryono dan para petani lain diberikan pelatihan dan pembinaan terutama tentang sistem bercocok tanam dan teknis lain tentang pertanian. Selain itu, Suryono juga dipinjamkan modal uang untuk pembelian bibit, pupuk, media tanam dan lainnya. Contohnya, kelompoknya diberikan modal sebesar Rp 4.100.000 untuk menanam melon. Dari modal ini, petani bisa mendapat keuntungan kira-kira sampai Rp 15 juta setelah menunggu Melon panen selama 65-70 hari. Suryono cukup beruntung ia memiliki kecakapan dalam berdagang sehingga ia tak kesulitan dalam mendapatkan pasarnya. Namun, ia mengatakan bahwa ternyata petani yang tidak punya kecakapan berdagang yang seperti dirinya juga diberikan semacam kemudahan karena perusahaan bersedia untuk menjualkan hasil-hasil tanaman tersebut dan uang penjualannya diberikan kepada para petani.

Lahan Pak Suryono ini pun sangat menarik. Ia sendiri mengelola sekitar 2 hektar, yang ia tanami berbagai macam tanaman seperti yang telah saya sebutkan di atas. Di tanah seluas 2 hektar tersebut, kanan kirinya dibatasi oleh hutan akasia, tanaman sawit, hutan konservasi dan kebun karet. Ya. Tanah yang difungsikan kembali oleh Suryono ini sebenarnya dulunya adalah lahan-lahan bekas kebun sawit yang sudah berumur 7 tahun. Namun setelah melakukan kalkulasi, hasil yang dihasilkan tanaman sawit ternyata sama sekali tidak menguntungkan. Justru tanaman-tanaman holtikulturalah yang memberi keuntungan paling banyak. Sehingga, Suryono dengan segera membersihkan tanaman sawit tersebut dan mengubahnya menjadi lahan untuk tanaman kehidupan.

[caption caption="Melon: Salah satu primadona wanatani di distrik Rasau Kuning, Siak (Sumber: koleksi pribadi)"]

[/caption]

Pembakar Hutan?

Ah, saking takjubnya saya pada oase di hutan Akasia ini, saya sampai lupa pada tujuan utama saya mendatangi Pak Suryono. Ya. Menggali cerita tentang kebakaran hutan. Belum lama ini, telah terjadi kebakaran hutan yang sangat masif yang tidak hanya menyerang Pulau Sumatera, tapi juga pulau-pulau besar termasuk Jawa, Kalimantan dan Papua. Banyak yang menuduh kebakaran hutan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan motif 'land clearing' untuk memangkas biaya; ada lagi yang menuduh kebakaran hutan dilakukan oleh masyarakat yang melakukan perambahan liar.

Ada yang menarik sebenarnya. Masyarakat seolah digiring oleh sebuah kesimpulan bahwa seluruh perusahaan-perusahaan itu bersalah. Menurut saya jelas ada yang berbeda, ketika kita secara objektif, memisahkan antara perusahaan pulp and paper yang seluruh alat produksinya adalah kayu dengan perusahaan sawit yang tidak memerlukan kayu sebagai alat produksinya. Sementara kebakaran yang terjadi, melahap semua sektor lahan dan hutan, baik gambut, kebun sawit dan hutan industri. Bagi saya, untuk apa perusahaan pulp and paper dengan sengaja melakukan pembakaran pada alat produksinya sendiri?

Ah, tapi lupakan dulu argumentasi saya tersebut. Saya lebih ingin menggali, sejauh apa sebenarnya keseriusan perusahaan-perusahaan ini dalam melakukan tindakan pencegahan kebakaran atau pemadaman kebakaran. Banyak yang menuduh perusahaan melakukan publisitas palsu dengan tim-tim kebakaran hutannya yang tidak sebanding dengan luas wilayah kebakaran.

Tapi menurut Suryono, setiap dua kali dalam setahun ia selalu mengikuti pelatihan tentang persiapan pemadam kebakaran yang diberikan perusahaan di balai-balai pelatihan. Petani lainnya juga diberikan pelatihan untuk mencegah kebakaran. Beberapa warga masyarakat juga dijadikan sebagai Masyarakat Peduli Api yang berfungsi sebagai tim pencegah dan reaksi cepat dan selalu digarisbawahi bahwa perambahan liar dengan membakar adalah pelanggaran hukum. Saya tanya tentang fasilitas tentang pencegahan kebakaran, namun Suryono menekankan fungsinya sebagai petani lebih sebagai informan apabila ada titik-titik api yang ia lihat.

[caption caption="Suryono, sebagai pelaku Wanatani (Sumber: koleksi pribadi)"]

[/caption]

Rambah Liar dan Bercocok Tanam

Memang menjadi masalah ketika masyarakat masih menganggap bahwa hutan bisa dirambah secara liar dan pembukaan lahan dengan dibakar adalah sesuatu yang wajar. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, adalah pihak yang berperan sebagai penentu paling akhir. Pemerintah sebaiknya memang terus memberikan pendidikan dan pemahaman yang memadai tentang perlunya menjaga kelestarian lingkungan dengan tidak membuka lahan hutan dengan cara membakar. Penghukuman kepada perusahaan-perusahaan bukan saja akan berdampak ekonomi besar, tapi juga berdampak sosial yang sangat besar. Tidak hanya itu, penghukuman ini juga akan menambah beban pemerintah dalam menjaga areal hutan konsesi dari ancaman para perambah liar.

Saya pikir, perusahaan memang hanya bisa berperan dalam sebagian kecil saja. Mereka bertindak sebagai mitra yang membantu pemerintah dalam mengupayakan angka nol kebakaran hutan dan lahan. Terkait kebijakan yang lebih tinggi, mustahil perusahaan mengupayakan langkah. Upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan pemahaman sehingga persepsi para perambah liar berubah serta pemberdayaan masyarakat di wilayah konsesi, bukan hanya berfungsi untuk memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat tersebut tapi sekaligus mencetak para penjaga-penjaga hutan yang sebenarnya.

Saya pikir, cara-cara seperti inilah yang mampu menciptakan agen-agen penjaga hutan dan pencegah kebakaran yang paling efektif dan efisien. Pemberdayaan masyarakat secara total akan menciptakan Suryono-Suryono lain sebagai sang penjaga hutan.

[caption caption="Suryono, sebagai Informan Titik Api (Sumber: koleksi pribadi)"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun