Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Efikasi Vaksin Covid-19

30 November 2020   07:00 Diperbarui: 30 November 2020   07:31 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sudah lama kita semua menunggu munculnya vaksin COVID 19 yang diharapkan akan menjadi kunci utama dalam menghadapi pandemi yang telah membuat 2020 sebagai tahun yang patut untuk dilupakan. 

Yang patut untuk diingat adalah penyakit batuk pilek dan flu yang kita derita, terutama ketika suhu menjadi rendah (musim dingin di negara empat) musim hanyalah disebabkan oleh segelintir jenis virus(yang memang selalu bermutasi). Salah satunya adalah virus bertanggung jawab untuk pandemi Flu Spanyol 1918 yang akhirnya memakan korban sekitar 2.5% penduduk dunia. 

Flu Spanyol -- yang sebenarnya bukan berasal dari Spanyol -- ini sekarang tidak lagi ditakuti karena memang sebagian besar penduduk dunia telah memiliki mekanisme kekebalan tubuh. 

Dengan alasan yang sama maka diharapkan vaksin COVID 19 akan menyebabkan cukup banyak penduduk dunia mulai mendapatkan mekanisme kekebalan tubuh. Dalam kondisi ini, mereka yang tidak memiliki kekebalan tubuh akan terlindung karena mayoritas orang disekitarnya memiliki kekebalan sehingga tidak akan menjadi sumber penularan.. Konsep yang dikenal sebagai Herd Immunity sebenarnya adalah gotong royong melawan penyakit.

Beberapa minggu belakangan ini pemberitaan dunia diramaikan oleh 3 vaksin yang telah menyelesaikan tahap akhir pengujian medis. Pengumuan pertama berasal dari kolaborasi Pfizer-BioNTech yang mengklaim vaksin mereka memiliki efikasi 90%-95%, yang kedua berasal dari Moderna dengan efikasi 94.5% dan yang ketiga berasal dari kolaborasi Oxford University dan Astra-Zeneca dengan efikasi rata-rata 70%. 

Efikasi, pada dasarnya adalah tingkat kemanjuran vaksin yang diperoleh melalui metode analisis statistik. Angka angka ini menjadi judul utama di banyak media massa, namun apakah arti angka tersebut? Apakah ketiga vaksin tersebut memang sebegitu manjurnya mengingat vaksin flu biasa mempunyai efikasi yang berkisar pada 40-60%.

Biokimia tubuh dan Viagra

Semua proses dalam tubuh adalah hasil rentetan reaksi biokimia yang melibatkan berbagai reaktan dalam tubuh manusia. Di SMA/SMU kita belajar kalau reaksi kimia bersifat pasti (deterministik), namun sebenarnya proses yang terjadi jauh lebih kompleks. 

Reaksi pembakaran Elpiji yang menghasilkanKarbon-dioksida dan uap air sebenarnya melibatkan ribuan reaksi perantara yang menghasilkan ratusan molekul yang berlangsung nyaris bersamaan. Oleh karena itu ketika mengamati kompor kita melihat berbagai fenomena yang tidak disebutkan dalam pelajaran kimia, seperti asap hitam yang muncul di kompor yang satu namun tidak ada di kompor yang lain.

Reaksi biokimia dalam tubuh manusia jauh lebih kompleks. Obat yang diharapkan untuk bereaksi secara tertentu dapat saja bereaksi secara tidak terduga. Obat Viagra buatan Pfizer adalah contoh yang bagus. 

Tahukah anda kalau obat tersebut sebenarnya dirancang sebagai obat penyakit jantung? Saat ujicoba medis ditemukan kalau obat tersebut memiliki efek samping terhadap aliran darah yang menghasilkan efek yang membuat obat tersebut menjadi terkenal, namun sangat berbahaya kalau dipakai untuk megobati penyakit jantung. Hal tersebut tidak terduga sama sekali sebelumnya (Saat ini Viagra akan di tes lagi sebagai obat jantung karena diyakini salah satu zat pengiring tes medis yang asli membuat Viagra menghasilkan reaksi yang berbahaya bagi jantung). 

Singkatnya, walaupun reaksi kimia sederhana bersifat pasti, reaksi tersebut seringkali diiringi oleh zat-zat lain yang karena faktor luar terdapat dalam jumlah yang berbeda sehingga mempengaruhi kepastian reaksi dasar. Oleh karena itu reaksi pengobatan dalam tubuh manusia lebih bersifat kurang pasti (stokastik) sehingga sangat mengandalkan proses statistik.

Pada proses pengujian vaksin, tahap awal lebih ditujukan pada validasi efek yang diingankan. Dalam hal ini apakah injeksi vaksin memang menyebabkan tubuh memulai proses pembentukan antibodi dalam jumlah cukup di dalam darah (dikenal sebagai sero-konversi). Vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna dirancang untuk menyebabkan tubuh menghasilkan m-RNA (messenger-RNA) yang dianggap sebagai cara paling efisien untuk mencetuskan proses pembentukan antibodi. 

Dalam dunia vaksin, metode ini masih sangat baru. Vaksin Oxford-AstraZeneca menggunakan metode yang lebih konvensional namun menggunakan inovasi baru yaitu menggunakan vaksin flu dasar yang bisa dikustomisasi untuk penyakit tertentu (dalam hal ini COVID-19). Vaksin produksi Sinopharm menggunakan teknologi yang jauh lebih konvensional lagi. Yang menjadi masalah, seperti ilustrasi Viagra diatas, apakah vaksin vaksin ini memang efektif dalam membuat tubuh untuk membentuk antibodi, meskipun tes fase-fase awal sero-konversi yang menjanjikan?

Fase akhir tes medis yang menentukan dan patut dimengerti

Fase tes akhir (fase ke 3) ditujukan untuk mensimulasi dunia nyata, dalam arti apakah vaksin yang diinjeksi memang mebuat pasien penerima menjadi cukup kebal terhadap penyakit (karena antibodinya terbentuk dalam jumlah yang cukup dan jangaka yang cukup lama untuk melawan virus) dan yang lebih penting lagi tidak menimbulkan efek samping yang tak diingininkan.... 

Bayangkan kalau saja Viagra waktu dulu langsung diberikan ke penderita penyakit jantung tanpa tes. Mudah-mudahan vaksin Sinopharm dan Sinovac memang menjalani tes fase akhir sebelum di gelar di Indonesia.

Pemberitaan di media massa menunjukan Pfizer-BioNTech dan Moderna menggunakan metode yang nyaris sama untuk tes fase akhir ini. Karena laporan Pfizer-BioNTech yang dimuat lebih detil oleh BBC, maka laporan inilah yang dipakai disini. Dilaporkan fase tes ini melibatkan 43000 pserta yang dibagi menjadi dua grup secara acak yang sama banyaknya, grup pertama mendapat injeksi vaksin, dan grup kedua hanya placebo. Setelah beberapa bulan didapatkan 162 orang penerima placebo dan 8 orang penerima vaksin menderita COVID-19 (tidak disebut soal OTG). 

Dalam studi ini 162 orang penerima placebo dipakai sebagai sebagai kontrol statitik. Vaksin memiliki efikasi 100% apabila tidak seorangpun penerima vaksin tidak menderita COVID-19 dan 0% apabila 162 orang penerima vaksin ternyata menderita COVID-19. Dalam hal ini karena hanya 8 penerima vaksin menderita COVID-19, maka efikasi vaksin tersebut adalah (162-8)/162*100% = 95%. Apa sebenarnya interpretasi dari angka-angak ini?

  • Asumsi bahwa baik penerima vaksin dan placebo mempunyai kemungkinan yang sama untuk mendapat COVID-19.
  • Apabila ada 162 penerima placebo yang menderita COVID-19, maka ada 162 penerima placebo yang terkena virus. Cukup masuk akal, asumsi diatas berrati ada 162 penerima vaksi yang terkena virus namun hanya 8 yang jatuh sakit karena yang lain memiliki antibodi.

Namun, asumsi diatas hanya terpenuhi apabila uji statistik menunjukan bahwa sample yang berjumlah 170 dari 21500 sudah memebri tingkat kepercayaan yang cukup. Apakah memang demikian? 

Laporan resmi Pfizer tidak berkata banyak. Namun ilmu statistik pra-universitas menunjukan angka tersebut terlalu kecil untuk memberi tingkat kepercayaan yang memadai. Apalagi, kita tahu banyak poenderita OTG. 

Idealnya lebih dari 20000 penerima placebo menderita COVID-19. Harus diakui penghambat utama tes ini adalah waktu yang singkat dan tidak adanya upaya untuk menginveksi peserta tes secara sistematis. 

Namun mengklaim angka efikasi dari jumlah tes yang terlalu sedikit sebenarnya kurang bijak. Mengapa? Apabila kita mengambil sikap sinis dapat saja kita beranggapan 21500 penerima placebo terinfeksi namun tidak sakit. 

Dengan kata lain tidak di-vaksinpun tidak apa-apa. Tentu saja ini pendapat yang salah apabila kita mengingat tingginya penderita COVID-19 di dunia sepanjang 2020. Interpretasi lain adalah tidak semua data dimumukan karena satu dan lain hal (mempercantik data?). Namun kalau kita mengambil sikap prasangka positif, lebih baik interpretasinya adalah sebagian besar peserta tes tidak menghasilkan data yang berguna.

Pemberitaan di seputar hasil tes fase 3 Oxford-AZ patut untuk mendapat perhatian. Pengumuman hasil tes ini keluar sekitar seminggu setelah Pfizer BioNTech (1.5 minggu setelah Moderna), namun ada indikasi kalau seharusnya pengumunan ini dibuat beberapa hari sebelumnya. 

Ketika diumumkan disebut kalau efikasi rata-rata adalah 70%. Mengapa rata-rata? karena tampaknya ada beberapa grup dan yang paling sering disebut adalah dua grup yang memiliki efikasi 62% dan 90%. Mengapa angka-angka ini menarik?

  • Media massa seringkali hanya tertarik pada angka headline. Tentu saja 70% berada jauh dibawah 90-95% yang dimumkan seminggu sebelumnya oleh kelompok vaksin lain. Hal ini membawa beban tersendiri.
  • Pengumuman menunjukan kalau Oxford-AZ menggunakan total peserta sebanyak 20000, sebagian placebo sebagian penerima vaksin, dan hanya sekitar 100-an dan 30-an peserta menderita COVID 19. Sekali lagi, hanya sebagian kecil peserta sebenarnya memberikan data riset yang berguna.
  • Salah satu grup tes yang menghasilkan 90% efikasi ternyata secara tidak senganya hanya mendapat setengah dosis pada injeksi pertama dan dosis penuh pada injeksi kedua. Laporan tersebut menyebutkan dosis dihitung dari jumlah partikel dalam vaksin. Artinya proses pembuatan vaksin tidak mudah. Walapun dua kelompok lain tidak menyebut permasalahan ini (kesalahan teknis), rasanya tidak mungkin kalau mereka tidak mengalami.
  • Group yang dilaporkan ternyata tediri dari dua tes terpisah, di Inggris dan di Brazil dengan metode tes yang agak berbeda. Kedua kelompok lain tidak melaporkan secara detail bagaimana pembagian demografi 40000 peserta tes. Yang jelas semua tes mengklaim melibatkan orang dari berbagai ras dan umur.

Simpulan singkat

Angka efikasi yang dilaporkan hingga saat ini haruslah ditanggapi secara berhati-hati. Namun hal ini tidak berarti kalau ketiga vaksin yang telah menjalai fase akhir tes medis tidak efektif. Saat ini angka efikasi yang pasti memang sulit diketahui. Patut diingat kalau WHO hanya menargetkan efikasi 50%.

Bagaimana dengan keamanan vaksin?

Metode tes vaksin yang normal berjalan selama beberapa tahun untuk mendapatkan data yang dapat diandalkan. Saat ini kesimpulan yang ada ketiga vaksin ini tampaknya tidak memberi efek samping yang berbahaya selama beberapa bulan setelah injeksi. Efek jangka menengah dan panjang belum diketahui. Patut ditekankan sekali lagi data terbatas ini jauh lebih baik daripada tanpa data (tes fase 3 tidak dijalankan).

Haruskah kita divaksinasi?

Pertama, pertanyaan ini relevan ketika instansi yang berwenang telah mengizinkan pemakian vaksin. Saat ini, tentu saja ini adalah keputusan pribadi berdasarkan asas resiko dan manfaat. Namun, seperti pemakaian masker bertujuan untuk melindungi orang di sekitar kita, vaksinasi pada dasarnya adalah upaya gotong royong untuk menciptakan kekebalan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun