Kedua kesejahteraan guru yang relatif rendah mengakibatkan guru harus menghadapi tekanan sosial-ekonomi kehidupan yang tidak kecil. Tekanan seperti ini membuat guru lebih sulit untuk memproyeksikan sikap emosional positif yang dapat ditangkap oleh siswa.
Apabila memang pendidikan formal di fokuskan ke aspek kognitif, maka setidaknya aspek filosofi (yang lebih sulit untuk dinilai di atas kertas) layak untuk mendapatkan perhatian yang lebih tinggi. Hal ini ditujukan untuk membantu proses pendewasaan proses pemikiran.Â
Dalam tradisi pendidikan Barat proses ini berkembang dari metode didkatik Aristoteles dan Plato yang bertumpu pada diskusi antara peserta didik dan guru. Peserta didik didorong untuk mempertanyakan kebenaran yang diproposisikan oleh guru. Dalam tradisi timur proses diskusi seperti ini juga tetap ada, sebagai contoh adalah dinamisme interaksi antara Arjuna dan Kresna dalam kisah Bhagawatgita.
Kisah Dita, seorang dokter dan perwira polisi yang ingin bergabung dengan ISIS adalah bukti empirik kekurang dewasa dalam proses pemikiran dan / atau emosi. Dalam hal ini pemikiran fundamentalis dengan mudah merasuk dan tentu saja berbuah radikalisme. Hal ini tidak hanya mempengaruhi seorang berpendidikan SMA (yang dikatakan favorit sekalipun) namun juga S1 bahkan mereka yang bergelar Doktor sekali pun.
***
Haruslah diakui kalau bibit radikalisme yang ada saat ini telah tumbuh dan berkembang setidaknya selama 30 tahun terakhir. Dalam konteks ini wajar saja kalau radikalisme juga didapati di kalangan perguruan tinggi, mulai dari tenaga dosen pengajar hingga mahasiswa.Â
Dapatkah radikalisme di pupuskan? Tentu saja namun tidak mudah. Untuk ini, pendidikan formal haruslah dilengkapi dengan pendidikan orang tua dan masyarakat untu mendorong proses pendewasaan pemikiran dan emosi (setidaknya pendewasaan pemikiran)
Apakah pendekatan represif seperti menayadap komunikasi personal (email, telepon dll) merupakan salah satu cara untuk memupuskan. Jawabannya tidak. Pendekatan ini bertentangan dengan prinsip pendewasaan emosi dan pikiran. Yang lebih parah pendekatan ini sangatlah mahal. Untuk memantau/menyadap komunikasi seeorang 24 jam sehari, 7 hari seminggu diperlukan setidakanya 10-20 perwira intelijen dan Polisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H