Peristiwa pemboman di gereja di Surbaya beberapa minggu lalu memiliki dimensi yang personal. Dita yang membawa seluruh keluarganya untuk melakukan aksi pemboman ternyata adalah kakak kelas saya sewaktu bersekolah di SMA Negeri 5 Surabaya.
Di paruh pertama dekade 90-an, SMA Negeri 5 Surabaya mungkin merupakan sekolah yang paling selektif di Indonesia. Saat itu untuk masuk ke sekolah tersebut dibutuhkan nilai rata-rata ujian nasional SMP 8.3.Â
Bagi yang masih ingat, Nilai Ebtanas SMP (6 mata pelajaran) yang dibutuhkan saat itu untuk masuk SMA 5 adalah 50.5 keatas. Singkatnya Dita adalah salah seorang pelajar berbakat yang tentunya diharapkan untuk memiliki masa depan yang cemerlang.
Seperti diangkat dalam sebuah kesaksian di facebook oleh seorang adik kelas Dita yang juga junior saya, radikalisme memang sudah muncul sejak lama. Terus terang saya tidak pernah mengenal Dita walaupun saya juga sedang belajar di sekolah itu ketika ia masih menjadi siswa.Â
Saat itu banyak anggota sebuah organisasi siswa dibawah Osis yang kerap muncul sebagai radikal seperti menolak menghormat bendera yang saat itu harus dilakukan di kelas tiap pagi hari maupun upacara bendera di lapangan sekolah yang jatuh pada Senin pagi. Atmosfer seperti itu memang mebuat saya untuk menghindari kontak dengan Dita dan teman-temannya.Â
Sejalan dengan waktu sikap radikal tersebut memang semakin menjadi. Seperti kesaksian bekas siswa SMA 5 lain di facebook, di pertengahan 90-an Dita yang sudah lulus SMA bahkan dengan aktif mengindoktrinasi adik kelasnya yang masih bersekolah di SMA tersebut. Indoktrinasi oleh bekas siswa belum terderngar ketika kami masih bersekolah di sana.
***
Saat ini saya pesimis akan kemampuan sekolah untuk menangkal radikalisme. Salah kekuatan sistem pendidikan di Indonesia adalah fokus dari guru, orang tua dan siswa akan kemampuan akademis.
Sejak tahun 80-an hingga saat ini, predikat sekolah favorit selalu berkisar pada reputasi akademis sekolah. Dalam 40 tahun belakangan fokus ke prestasi akademis rasanya semakin menjadi. Buktinya adalah ujian HOTS yang diterapkan tahun ini. Namun hal ini juga menjadi salah satu kelemahan terbesar pendidikan di Indonesia. Setiap fokus kegiatan membutuhkan kuantifikasi dalam hal ini nilai ujian menjadi patokan utama. Artinya fokus pendidikan formal di Indoensia sebarnya belum mnecakup seluruh aspek kognitif, hanya sekedar nilai ujian.
Pendidikan formal seharusnya tidak hanya memperhatikan aspek kognitif tetapi perlu memperhatikan perkembangan emosi peserta didik untuk menjadi manusia dewasa yang utuh. Aspek inilah yang paling penting untuk menangkal radikalisme. Pendewasaan emosi akan mengarah ke pembentukan empati yang menjadi dasar utama sikap toleran. Harus diakui kalau hal ini sangat tidak mudah dilakukan di sekolah.Â
Petama waktu belajar-mengajar di sekolah yang terbatas sementara metrik kuantifikasi sukses tidaknya sekolah hingga saat ini diukur dari nilai ujian. Artinya waktu yang terbatas itu akan lebih bermanfaat bagi sekolah apabila dihabiskan pada proses pembelajaran yang dapat mendongkark nilai.Â