Keputusan IDI untuk memberhentikan seorang dokter spesialis yang juga merupakan kepala salah satur rumah sakit terkemuka di Indonesia adalah salah satu berita besar dalam beberapah hari belakangan ini. Pada mulanya saya skeptis dengan keputusan IDI apalagi salah satu alasannya adalah menuduh sang dokter telah berperilaku komersial dengan mengiklankan dirinya. Namun ketika mengikuti berita lebih lanjut, tampaknya IDI mempertanyakan kesahihan metode pengobatan stroke sang dokter yang dikenal dengan nama cuci otak. Untuk poin ini tidak ada yang salah dengan IDI. Saya harap DPR dan TNI tidak mencampuri ranah IDI dalam hal ini.
Kompas dan beberapa media lain menyebut bahwa nama formal perawatan tersebut adalah Digital Subtraction Angiography (DSA). Dua kata pertama (Digital Subtraction) dapat diterjemahkan "Pengurangan secara Digital". Kontan hal ini membingungkan. Bagaimana teknologi pengurangan digital yang biasa dipakai untuk membersihkan data digital dari signal pengganggu dapat mengatasi stroke ? Stroke bukanlah pixel ataupun signal lain yang bisa di-digitalkan.Â
Ketika membaca salah seorang Kompasianer memberikan liputan tentang metode ini tahun lalu, saya mulai berpikir kalau kata kuncinya ada di kata ketiga (Angiography) yang berarti peta pembuluh darah. Dalam hal ini DSA adalah metode pemetaan pembuluh darah dengan mengunakan teknologi pengurangan secara digital. Metode ini menggunakan teknologi pengambilan gambar semacam Rontgen namun mengunakan alat Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menghasilkan gamabr digital. Gambar tersebut kemudian diolah untuk menyingkirkan semua organ lain (makanya disebut pengurangan secara digital) kecuali pembuluh darah. Artikel di Kompasiana memberikan contoh yang jelas gambar hasil DSA ini.
Kebingungan pertama terjawab sudah. Pengobatan tidak dilakukan dengan metode digital. Namun muncul pertanyaa lain. DSA bukanlah barang baru. Dan yang lebih penting DSA adalah sebuah metode diagnosis, sama dengan foto sinar-X (Rontgen). Waktu mencari di mbah Google, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) juga pernah menekankan poin ini.Â
Ketika membaca lebih teliti, klaim sang dokter adalah metode pengobatan modifikasi DSA. Sayangnya pencarian di mbah google (meskipun di klaim ada 12 jurnal internasional) hanya menghasilkan beberapa potong pemberitaan surat kabar kalau kata modifikasi merujuk pada dosis obat yang hanya 25% dari yang biasa di pakai untuk DSA, tidak ada keterangan apa obat yang dimaksud kecuali pernyataan Perdossi tentang Heparin. Dalam metode DSA, zat "pewarna" memang diinjeksikan ke pembuluh darah untuk memperkuat kontras sehingga metode pembersihan signal digital tidak menghapus gambar pembuluh darah secara tak sengaja.
Namun saya yakin kata modifikasi merujuk pada penemuan sang dokter kalau zat yang diinjeksi mungkin mempunyai efek untuk mengurangi penggumpalan sel darah di otak. Rasanya ini bukanlan zat "pewarna". Tanpa informasi yang jelas mungkin pada modifikasi DSA, sang dokter menginjeksi Heparin (seperti disebut Pardossi) yang merupakan zat pengencer darah. Namun pencarian di jurnal ilmiah menunjukkan kalau pemakaian Heparin sendiri dalam DSA masih diperdebatkan karena ada yang menduga akan memberikan efek samping. Di sini saya sampai pada kesimpulan apakah metode "cuci darah" dengan metode modifikasi DSA memang memenuhi unsur etis dunia kedokteran ?
Placebo?
Tampaknya saat ini tidak ada bukti independen yang menunjukan kalau metode cuci darah memang efektif, setidaknya memiliki efek netral (tidak berbahaya namun tidak menyembuhkan). Yang ada hanyalah kesaksian sekelompok orang dari kalangan elit politik, militer dan hukum (bukan kedokteran) yang mengklaim telah disembuhkan dengan metode pengobatan tersebut. Ada kemungkinan kalau yang dilaporkan disini hanyalah efek Placebo.
Saat ini kalangan bio-farmasi dunia mulai mengakui kalau kekhasiatan obat banyak dipengaruhi oleh kerja antibodi sang pasien. Dalam hal ini obat placebo sekalipun mampu membuat sang pasien untuk meruban proses bio-kimia dalam tubuhnya untuk menghasilkan antibodi yang dibutuhkan. Hal ini bukan berarti bahwa intervensi medis tidak ada gunanya. Namun intervensi medis tersebut perlulah dibuktikan secara ilmiah. Akankah pasien-pasien yang merasa disembuhkan berpartisipasi dalam studi medis untuk melihak khasiat terapi "cuci otak" ?
Penutup
Jika memang studi ilmiah nantinya membuktikan efektivitas metode cuci darah, maka metode tersebut dapat diperkenalkan secara etis. Dan Sang Dokter tentunya dapat membawa metode ini ke tataran internasional.