Poin keenam adalah kinerja di landas pacu ketika tinggal landas dan mendarat. DHC-6-400 yang jauh lebih ringan memilki kinerja ydang terbaik dalam arti membutuhkan landasan yang plaing pendek. N219 berada diurutan kedua. Meskipun Y-12F membutuhkan landasan yang lebih pendek ketika mendarat, pesawat ini memiliki selish yang besar antara MTOW dan Maximum Landing Weight (MLW) -- berat maksimum ketika mendarat.Â
Selisih ini adalah parameter yang penting karean peraturan bab 23 mengahruskan pesawat terbang untuk langsung mendarat kembali secepat mungkin apabila mengalami kerusakan mesin ketika tinggal landas. Apabila N219 mengangkasa dengan MTOW dan kemudian mengalami kerusakan mesin maka hanya 90kg bahan bakar yang harus dibuang sebelum dapat mendarat dengan aman. Apabila -12F menghadapi persoalan yang sama, 400kg bahan bakar haruslah dibuang. (Sementara itu M28 tidak harus membuang bahan bakar sama sekali.)
Sebagai kesimpulan, optimisme PTDI memang cukup beralasan karena N219 tampaknya merupakan kompromi antara pesawat angkut sipil, perintais dan militer. (Faktor harga memang tidak diperhitungkan disini karena produse pesawat kerap memberikan diskon yang tidak tercantum di daftar harga) Namun hal ini dengan dua catatan besar.Â
Peratama adalah prediksi kinerja gaya hambat PT DI memang terbukti ketika uji terbang. Walaupun tidak sekritikal untuk pesawat penumpang yang lebih besar seperti N250 namun gaya hambat yang berhubungan denagn beaya knonsumsi bahan bakar adalah faktor penting bagi operator untuk memensiunkan pesawat tua. Hal kedua yang jauh lebih penting adalah N219 mampu mengantungi sertifikasi kelaikan terbang dari FAA dan EASA.
Untuk penutup, selamat kepada tim PTDI dan Lapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H