Mohon tunggu...
Igor Dirgantara
Igor Dirgantara Mohon Tunggu... Dosen - Focus Group Discussion Magister Komunikasi Universitas Jayabaya

lecturer & senior researcher

Selanjutnya

Tutup

Politik

Semua Orang Dilahirkan Sama Kecuali Politisi

11 Agustus 2017   16:50 Diperbarui: 11 Agustus 2017   20:05 2112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang mulut dan opini antar politikus bukan hal baru dalam politik Indonesia. Fenomena biasa jika mereka saling ejek karena beda partai atau koalisi. Namun belakangan ini banyak kalimat kasar (verbal agresif) dan kontroversial menjadi viral di ruang publik.

Kegaduhan muncul saat Anggota Komisi I DPR sekaligus Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat, Viktor Laiskodat dituduh melakukan ujaran kebencian dan permusuhan. Dalam Pidatonya di hadapan kader di NTT, dia menuding PKS, juga Gerindra, Demokrat dan PAN sebagai partai intoleran pendukung berdirinya Khilafah di Indonesia. Yang bersangkutan, dilaporkan ke Bareskrim Polri karena dianggap provokatif oleh beberapa pihak, lalu asyik berlindung di balik imunitas anggota DPR.

Sebelumnya, masyarakat juga heboh oleh penyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono yang menyamakan PDI Perjuangan dengan Partai Komunis Indonesia karena dianggap 'suka menipu rakyat'. Yang bersangkutan akhirnya meminta maaf kepada PDIP disertai surat pernyataan dengan tanda tangan di atas materai Rp 6.000. Tapi permintaan maaf itu tak membuat PDIP berhenti memproses lewat jalur hukum. Tidak mempan, Waketum Gerindra ini tiba-tiba memuji kinerja Presiden Jokowi setinggi gunung. Manuver 'balik arah' ini mirip yang dilakukan Hary Tanoe (Ketum Perindo), walaupun tentu saja berbeda sebab dan kasusnya.

Nah...lalu buat apa politisi melakukan 'komunikasi verbal attack' yang mengandung permusuhan seperti itu, jika berakibat merugikan diri sendiri atau bumerang bagi partai-nya. Jawabannya variatif. Sebut misalnya, mulai dari sekedar mencari perhatian, popularitas, sampai terkait gejolak panasnya konstestasi dan kompetisi jelang Pilkada 2018 serta Pilpres 2019. Tetapi seyogyanya mereka bisa memberikan pendidikan politik yang baik dalam melakukan komunikasi politik kepada masyarakat. Terutama dalam masalah kebangsaan: toleransi dan keberagaman. Walaupun beda pilihan, pendapat, dan pendapatan, kita harus bisa memupuk tanaman kemajemukan, bukan menanam benih kebencian atau timbulnya konflik horisontal.

Mendiang Presiden AS, John F Kennedy pernah mengatakan: "Jika tidak bisa menyamakan perbedaan diantara kita, maka kita yang harus bisa tetap membuat perbedaan itu tumbuh berdampingan dengan damai." Intinya: tetap saling menghargai di lautan perbedaan. Di Indonesia, Pancasila dan BhinekaTunggal Ika sudah menguji kebenaran adagium itu melalui sejarah. Jangan anggap satu kelompok mutlak melegitimasikan merekalah sejatinya pendukung Pancasila, lalu berpendapat bahwa yang lainnya hanyalah penghianat seperti kurawa. Begitu juga sebaliknya, jangan mudah me-labelkan PKI dan sejenisnya terhadap pihak lawan, tanpa bukti yang kuat dan valid. Karena semua itu sering kali hanya segumpal persepsi yang kita yakini sebagai kenyataan, namun terkadang bukan kenyataan itu sendiri. Charles de Gaulle berujar: "Sebenarnya para politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya."

Berdasarkan data dan fakta dari berbagai lembaga survei didapati bahwa mereka yang menganut paham radikalisme agama (atau simpatisan komunisme sekalipun) adalah tetap kelompok marjinal di Indonesia (<10%). Mayoritas rakyat Indonesia (>90%) dapat dipastikan ingin Pancasila bertahan sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. Proporsi terbesar masyarakat Indonesia berada di "tengah", dari kutub ideologi sebelah 'kiri' dan sebelah 'kanan'. Keberagaman telah bersemi, toleransi adalah kewajiban yang harus berintegrasi dengan prilaku kita, bukan sekedar ucapan yang melompong. Karena biasanya kita lebih mudah memperjuangkan sebuah prinsip, daripada hidup sesuai dengan prinsip itu.

Toleransi dan keberagaman adalah konsekuensi dari modernitas yang mensyaratkan demokrasi. Dan demokrasi adalah aturan main bagi dinamika pertarungan aneka ide pemikiran yang mekar di ruang publik secara damai. Uniknya segala wujud pemikiran yang bernuansa radikal senantiasa redup, kalah atau terpinggirkan. Inilah yang sering menjadi hukum besi demokrasi.

Memainkan isu politik hal yang lumrah. Tersedia banyak instrumen di panggung politik depan dan belakang, mulai dari manuver elit, retorika, kampenye hitam (hoax) - dan lain-lain - hingga obral janji. Ring-nya ada di media massa, khalayak dan media sosial. Sumbernya berpadu di muara kepentingan yang sama. Bersatu sebagai kawan untuk satu isu kepentingan yang sama, kemudian menjadi musuh untuk satu isu lain yang berbeda. Demokrasi dan kepentingan ibarat sepasang sendal jepit, tidak nyaman dipakai jika salah satu hilang. Ideologi sebagai rawa pembatas cenderung kabur karena dalih abadinya berbagai kepentingan. Lain dulu, lain sekarang, lain juga koalisinya - apalagi kelak rezim berganti.  Politisi itu sama saja dimana-mana. Mereka akan berjanji membangun jembatan, bahkan ditempat yang tidak ada sungainya (Nikita Khruschev). Ya..semua orang memang dilahirkan sama kecuali para politisi yang buruk, begitu kata Groucho Marx.

Sumber: 1 | 2 | 3 | 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun