PEMBANGUNAN DEMOKRASI
Sepuluh tahun pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia persisnya tahun 1955 ketika Hatta mengeluarkan Maklumat Pemerintah maka bangsa Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilihan umum multi partai. Tentu euforia kemerdekaan ini disambut gembira oleh bangsa Indonesia yang telah terbebas dari kolonialisme lebih dari 300 tahun.
Pemilu tahun 1955 ini melahirkan kemenangan partai besutan Sukarno yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) disusul Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai gurem lainnya sehingga terbentuklah badan konstituante. Namun karena gagal menyempurnakan UUD Sementara maka pada tanggal 5 Juli 1959 Sukarno membubarkan badan tersebut dan kembali ke UUD 1945. Pada masa demokrasi terpimpin tersebut Sukarno tetap mengakomodir partai selain PNI dalam kabinet.
Setelah kekuasaan Sukarno diakhiri tahun 1967 oleh MPRS bentukan Soeharto yang menyalah gunakan Supersemar maka selanjutnya Soeharto diangkat sebagai presiden dan menyebut eranya sebagai Orde Baru dengan jargon melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen.
Soeharto mampu menjauhkan kehidupan rakyat dari politik dengan pendekatan stabilitas keamanan dengan dalih demi keberlangsungan pembangunan. Maka tahun 1973 Orde Baru memaksa seluruh partai politik kecuali PKI untuk berfusi maka lahirlah PPP dan PDI ditambah Golkar.
Era Orde Baru dengan sokongan utama dari Golkar jalur ABRI (TNI/Polri), jalur Birokrasi (PNS/Korpri), dan unsur Golkar sendiri berhasil berkuasa melalui pemilu yang sekedar formalitas sebagai stempel legitimasi. Rakyat tak lagi dapat mengekspresikan kebebasan demokrasinya karena akan berujung pada terali besi. Kebebasan pers yang semestinya menjadi salah satu pilar demokrasi tak luput dibredel bila coba-coba menyuarakan kebenaran. Begitu represifnya negara/penguasa Orde Baru yang anti demokrasi hingga pecah kasus 27 Juli 1996 dengan membiarkan penyerangan kantor PDI di jalan Diponegoro. Sejumlah aktifis butuh, aktifis demokrasi lenyap dihilangkan hingga muncullah kemudian people power, kekuatan aktifis PDI pro Mega, aktifis buruh, aktifis demokrasi dan aktifis mahasiswa bergerak bersama rakyat menumbangkan tirani Orde Baru dengan memaksa Soeharto lengser Mei 1998. Era ini selanjutnya kita kenal dengan reformasi.
Reformasi dimaknai sebagai masa kebebasan dari tirani demokrasi yang terbelenggu selama 32 tahun. Berbagai kelompok-kelompok muncul bak jamur tumbuh di musim hujan, banyak muncul pula tokoh dan politisi karbitan, baik menokohkan diri atas nama agama maupun atas nama demokrasi. Muncul kemudian 48 partai politik sebagai peserta pemilu 1999 yang memberikan kepercayaan kepada PDI Perjuangan sebagai partai pemenang. Lima tahun kemudian tahun 2004 sebagai pemenang adalah partai Golkar. DPR sebagai wakil rakyat yang menjalankan fungsi legislasi terus mengupayakan substansi demokrasi yang berkualitas sehingga terlaksananya Pilkada dan Pilpres langsung dipilih oleh rakyat.
Bayangkan begitu cepatnya perubahan struktur demokrasi yang kita bangun pasca reformasi dari Gubernur/Bupati/Walikota yang dipilih DPRD menjadi dipilih langsung rakyat. Presiden yang awalnya dipilih MPRRI menjadi dipilih langsung oleh rakyat.
Oleh karena demokrasi sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia untuk mendapatkan pilihan pemimpin terbaik maka sudah menjadi tanggungjawab kita bersama untuk menjaga tahapan proses pemilu baik pilkada, pileg maupun pilpres dapat berlangsung jujur, adil, dan fair.
Sehingga apa yang kita harapkan dari pembangunan demokrasi yang bermartabat dengan tetap mengedepankan persatuan Indonesia dan bermuara pada upaya mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan sosial melalui sarana demokrasi partisipatif dapat terwujud.
Jika kemudian ada pihak-pihak yang menodai proses pembangunan demokrasi dalam pilkada DKI Jakarta dengan mengembangkan isu SARA ataupun penistaan agama tentu patut kita pertanyakan nasionalismenya.
REFORMASI BIROKRASI
Kita seharusnya menyadari bahwa birokrasi yang lamban akan berdampak pada produktifitas baik disetor swasta maupun pemerintah.
Kecenderungan birokrasi swasta lebih efisien dari birokrasi pemerintah perlu kajian menyeluruh kenapa hal itu bisa terjadi.
Salah satu faktor yang bisa kita sebut sebagai faktor utama adalah Sumber Daya Manusia. Kemudian faktor kolusi dan nepotisme punya andil menggiring kepada tindakan korupsi yang salah satunya terungkap faktanya pada kasus tangkap tangan Bupati Klaten. Kasus tangkap tangan oleh KPK tersebut membuka mata kita bahwa selama kurun waktu 10 tahun suksesi kepala daerah di Klaten hanya berganti posisi diseputar Bupati dan istrinya serta Wakil Bupati dan istrinya.
Reformasi Birokrasi yang telah diimplementasikan saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta telah berdampak kepada efisiensi, maksimalnya pendapatan asli daerah hingga APBD yang awalnya 40 T menjadi lebih dari 70 T. Dengan demikian mengupayakan akses pelayanan kebutuhan dasar warga Jakarta atas pendidikan dan kesehatan melalui KJP dan KJS, administrasi kependudukan gratis serta perijinan yang mudah tidaklah sulit termasuk pembangunan infrastruktur publik, normalisasi kali untuk meminimalisir dampak banjir kini mulai dirasakan.
Lelang jabatan dalam struktur birokrasi eselon II dan III telah memberi kesempatan kepada orang-orang terbaik dan kompeten untuk melaksanakan kebijakan teknis dan inipun kemudian dilanjutkan ketika Jokowi kini dipercaya sebagai Presiden dalam memilih eselon I, II dan III di kementerian dan lembaga.
Oleh karena itu reformasi birokrasi adalah kebutuhan mutlak untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing bangsa Indonesia.
PENEGAKAN HUKUM
Dalam pembukaan UUD 1945 jelas ditegaskan tujuan lahirnya kemerdekaan Indonesia yang diperjuangkan dengan darah dan air mata adalah menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip Negara Indonesia adalah negara hukum sesuai Pasal 1 (3) UUD 1945 mengharuskan negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara harus memberikan akses seluas-luasnya tanpa diskriminasi ekonomi dalam memajukan kesejahteraan umum.
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 UUD 1945)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28D UUD 1945)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (pasal 28G UUD 1945)
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (pasal 28J (1) UUD 1945)
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangÂ-undang dengan maksud semataÂ-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilaiÂ-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (pasal 28J (2) UUD 1945)
Batang tubuh dalam UUD 1945 sebagai sumber hukum jelas meneguhkan negara Indonesia sebagai negara hukum. Bahkan pasca reformasi telah mengalami amandemen sebanyak 4 (empat) kali dengan meletakkan penghormatan atas Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai bentuk tanggungjawab negara dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dalam penyelenggaraan sistem hukum diluar kekuasaan Kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, negara juga telah membentuk Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangÂ-undang terhadap UndangÂ-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangÂ-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Komitmen negara dalam penegakan hukum yang telah diupayakan dengan pembentukan lembaga baru dalam rangka memperkuat sistem hukum yang berkeadilan tentunya harus dibarengi dengan kesadaran warga negara untuk patuh terhadap hukum.
Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan tanggung jawab negara dan seluruh rakyat Indonesia.
Ketika reformasi sistem dan kelembagaan telah dilakukan tanpa dibarengi revolusi mental aparat dan masyarakatnya maka hukum akan tunduk pada kekuasaan dan uang sehingga menimbulkan kesan bahwa hukum hanya tajam kebawah tapi tumpul keatas.
Masih cukup banyak kasus-kasus hukum yang silih berganti menghianati rasa keadilan masyarakat. Indikator ini tampak dari makin meluasnya kejahatan korupsi baik pelaku tunggal maupun berjemaah, kasus agraria antara korporasi dengan masyarakat, korban perdagangan manusia (human trafficking), perkosaan dengan pembunuhan sadis, maraknya peredaran narkoba yang tidak sedikit melibatkan aparat hukum, kasus kekerasan bermotif suku dan agama, kejahatan ekonomi hingga merambah kepada cyber crime.
Kita patut mengapresiasi langkah-langkah yang diupayakan oleh pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla yang berkomitmen dalam penegakan hukum termasuk dalam mewujudkan kedaulatan bangsa di laut semisal kasus ilegal fishing (pencurian ikan) dengan tindakan menenggelamkan kapal-kapal ilegal.
Di era Jokowi juga tak segan menindak aparat penegak hukum baik hakim, jaksa, polisi maupun TNI yang terlibat penyuapan, korupsi, jual beli kasus. Dan pemerintah telah membentuk tim Sapu bersih pungutan liar (Saberpungli).
Kasus yang paling anyar yang telah menjadi viral adalah kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Purnama/Ahok.
Dengan prinsip penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) yang di dalamnya berisi tentang jaminan terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, jaminan bebas berpendapat, presiden Jokowi telah mendukung kasus tersebut diselesaikan lewat jalur hukum bukan dengan tekanan politik.
Tentu konsekwensi dari penegakan hukum adalah akan menjadi bumerang bagi siapapun setiap warna negara Indonesia yang telah memiliki rekam jejak catatan hukum/kriminal tanpa terkecuali Habib Riziek dan FPI nya untuk diproses.
Jangan malah berpikir bahwa pemerintahan sekarang adalah otoriter dan represif. Justru penegakan hukum mengandung konsekwensi logis akan menyeret pelaku penebar kebencian, penyebar berita hoax apalagi tindakan makar akan diganjar hukuman karena Indonesia adalah negara hukum yang bersumber pada konstitusi UUD 1945 bukan fatwa.
Catatan:Â
Tulisan ini pernah saya tulis di WhatsApp tertanggal 22 Januari 2017 berhubung saya sempat lupa password kompasiana saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H