Perubahan iklim global sudah diingatkan oleh forum pemerhati lingkungan dunia. Bahwa perubahan iklim global ini sebagian besar dipicu oleh prilaku manusia baik perorangan, kelompok maupun orang yg punya kekuasaan melalui kebijakan yg tak bijak.
Sementara dalam konteks kearifan lokal sering sekali nilai Tri Hita Karana (keharmonisan manusia-alam-Tuhan) hanya dijadikan jargon pembangunan namun miskin implementasi di Bali.
Secara alamiah manusia menginginkan mengejar kemajuan baik kemajuan teknologi, kemakmuran secara material, dst. Namun tidak sedikit karena ambisius akan peradaban modern berdampak langsung terhadap keberlangsungan lingkungan. Pengerusakan hutan (deforestisasi) dan pantai untuk kepentingan perubahan fungsi/peruntukannya, alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman dan industri serta emisi karbon gas buang kendaraan yang meningkat secara masif telah berkontribusi besar dalam memaksa alam harus bekerja ekstra mengurai siklus udara dan siklus hidrologi yang memproduksi air baku baik untuk kepentingan irigasi maupun kebutuhan air minum.
Saat ini kita rasakan intensitas hujan cukup panjang padahal sudah bersiap memasuki bulan Juni. Ini pertanda bahwa perubahan iklim itu bukan hanya issu namun nyata. Disinilah harusnya menyadarkan kita semua baik ilmuwan, akademisi dan pemangku kebijakan lebih arif dlm merencanakan pembangunan berkelanjutan.
Terkait proyek Reklamasi, dalam konteks keilmuan dan akademis, secara pribadi saya tidak pernah menolak yang namanya Reklamasi sepanjang peruntukannya untuk mengamankan pantai dari abrasi, untuk konservasi hutan bakau, untuk fasilitas umum seperti pelabuhan dan bandara. Karena sifatnya Reklamasi menambah luas daratan maka secara alamiah abrasi akan mengancam dipesisir pantai lainnya.
Sehubungan dengan rencana Reklamasi Teluk Benua kepada investor saya berharap jika benar ingin memajukan pariwisata Indonesia maka sejalan dengan visi pemerintah untuk menambah destinasi baru ada baiknya investor mengembangkan daerah lain. Toh banyak pesona Indonesia yang belum tereksplorasi. Jikalaupun harus investasi di Bali, maka Bali utara dan timur masih potensial untuk dikembangkan dan tidak harus ngotot di Teluk Benua.
Menurut saya presiden pasti berpikir keras mencari solusi penolakan masyarakat Bali atas rencana proyek Teluk Benua mengingat proyek Jembatan Selat Sunda telah dibatalkan oleh presiden yang bervisi membangun Indonesia sebagai poros maritim. Karena investor kedua proyek tersebut adalah orang yang sama.
Mengingat biaya konsultan dalam mempersiapkan proyek tersebut telah menelan biaya ratusan miliar maka tentu perintah pusat tidak ingin mengambil keputusan yang berdampak kepada iklim investasi.
Proyek reklamasi Teluk Jakarta yang telah berlangsung pada fase konstruksipun harus dihentikan sementara demi keadilan dan kepastian hukum. Investigasipun dilakukan melibatkan Menko Maritim & Sumber Daya, Kementerian Kelautan & Perikanan dan KPK, apakah terjadi maladministrasi dan pelanggaran hukum.
Semoga saja proyek-proyek raksasa ini menjadi pelajaran kepada kita semua utamanya pemerintah daerah (Gubernur) agar lebih berhati-hati dalam memberikan perijinan dengan melibatkan kampus yang independen dalam mengeluarkan studi Amdal. Prinsipnya negara tidak boleh tunduk kepada pengusaha apalagi dengan cara premanisme dan suap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H