Setiap manusia memiliki kemampuan unik untuk berkomunikasi. Salah satu prasyarat yang penting dalam komunikasi adalah pengenalan niat (intention recognition abilities) dan pengembangan bahasa yang sejalan. Sebuah penelitian mengeksplorasi hubungan antara bahasa dan komunikasi, baik dari perspektif neuroimaging maupun neuropsikologi.
Bahasa dan Komunikasi: Dua Muka yang Berbeda
Sebenarnya, bahasa dan komunikasi bukanlah hal yang sama. Bentuk komunikasi kita dengan orang lain tidak sepenuhnya dikodekan dalam bahasa saja, tetapi juga dalam konteks, isyarat tubuh, dan ringkasan makna. Misalnya, ketika seseorang mengatakan, "Aduh, segelas teh panas cocok banget nih setelah kerja lembur," pernyataan tersebut bisa menjadi pernyataan harapan atau permintaan bagi seseorang untuk membuatkan teh, bukan hanya informasi bahwa penutur merasakan lelah.
Bahasa dan Prasyarat Komunikasi
Berbagai studi sastra menunjukkan bahwa kemampuan bahasa berperan penting dalam memahami intensi orang lain. Misalnya, studi tentang pengembangan bahasa dan uji kepercayaan palsu (false belief tasks), yang mengukur pemahaman individu tentang kepercayaan dan niat orang lain, menunjukkan korelasi yang kuat.
Contoh lain datang dari penelitian tentang orang dewasa tuli yang belajar bahasa isyarat. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa mereka baru mulai berhasil dalam uji kepercayaan palsu setelah mereka menguasai kata kerja mentalisasi, seperti 'percaya' atau 'berpikir'.
Perspektif Neurologis
Jika memahami niat dan kepercayaan seseorang memerlukan bahasa, apa yang terjadi pada individu dengan gangguan bahasa parah? Apakah mereka gagal dalam melakukan uji persepsi niat?
Pasien dengan afasia agramatik parah biasanya menunjukkan kesulitan memahami dan menggunakan kata kerja, terutama kata kerja yang menggambarkan keadaan mental. Mereka juga kesulitan menerjemahkan struktur kalimat dan menentukan peran subjek dan objek dalam kalimat melalui kata kerja. Meski begitu, pasien dengan jenis afasia ini mampu melakukan uji kepercayaan palsu. Ini menunjukkan bahwa kemampuan memahami niat dan kepercayaan orang lain tidak sepenuhnya bergantung pada sistem bahasa.
Para pasien dengan afasia parah seringkali dapat berkomunikasi lebih baik daripada berbicara. Meski memiliki hambatan dalam berbicara, mereka masih mampu menyampaikan pesan melalui cara alternatif seperti menggambar, ekspresi wajah, dan gerakan tangan.
Penelitian ini menyoroti bahwa kemampuan bahasa dan komunikasi dapat dipandang sebagai dua entitas yang terpisah dalam otak manusia. Meski keduanya saling terkait dan memberikan kontribusi penting dalam interaksi sehari-hari, namun mereka memiliki karakteristik dan mekanisme operasional yang berbeda dalam otak kita.
Sumber : Thomas, J., & McDonagh, D. (2013). Shared language:Towards more effective communication. The Australasian medical journal, 6(1), 46–54. https://doi.org/10.4066/AMJ.2013.1596Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H