Mohon tunggu...
Iqbal Iftikar
Iqbal Iftikar Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Wannabe

Nothing was never anywhere

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Indonesia? Terserah!" dan Tidak Pekanya Indonesia

18 Mei 2020   21:18 Diperbarui: 18 Mei 2020   21:22 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah sepasang kekasih sedang berjalan-jalan mencari makan malam. Saat si laki-laki menanyakan ke si perempuan mau makan di mana, dia hanya menjawab: "Terserah." Akhirnya mereka mampir ke sebuah coffee shop kekinian. Saat hendak memarkir kendaraan, si perempuan berkata: "Tempat ini, mah, banyak yang merokok." Sadar si laki-laki salah memilih restoran, mereka beranjak mencari tempat lain.

Dalam perjalanan mencari tempat kedua, si perempuan kembali ditanya mau makan di mana. Jawaban yang sama pun keluar kembali dari mulutnya: "Terserah." Mereka menepi di sebuah restoran cepat saji. Belum juga si laki-laki menunjuk restorannya, si perempuan dengan ketus menimpali: "Masa mau makan junk food, sih? Kan, aku lagi diet."

Untungnya, kendaraan belum terparkir. Mereka kembali mencari tempat makan lain. Di tengah kebingungannya, si laki-laki berhenti di sebuah restoran mewah. Mendengar tidak ada komplain dari si perempuan, mereka turun dari kendaraan dan segera menuju restoran. Di pintu depan, seorang pelayan menanyakan jumlah tamu dan menawarkan menu.

Saat membuka menunya, si laki-laki kaget karena harga makanan di sana amat sangat tidak terjangkau dompetnya. Si perempuan yang ikut melihat menu di samping si laki-laki berbisik: "Memang kamu punya uangnya?" Tertunduk malu, si laki-laki mengembalikan menu ke pelayan dan kembali ke kendaraan.

Rumor mengatakan kalau kedua pasangan itu masih mencari tempat makan sampai sekarang.

Cerita di atas menunjukkan bagaimana sebuah kata "terserah" tidak bisa dianggap enteng. Dalam hubungan, menyepelekan "terserah" bisa mengakibatkan konflik. Sebisa mungkin, minimalisir penggunaan kata terserah dalam komunikasi.

Tentu saja ada pengecualian, bahkan bisa jadi anjuran, dalam penggunaan kata terserah. Jika kita memberikan opsi di awal, dan kedua opsi tersebut sama-sama baik, kata terserah akan berakhir dengan win-win solution. Dalam konteks hubungan asmara, jika kita menawarkan kepada pasangan kita dua hal yang sama-sama disukainya kemudian pasangan kita mengatakan terserah, tidak akan ada pihak yang dirugikan.

Tapi, kebanyakan penggunaan kata terserah mengarah pada keputusasaan dan minimnya pilihan. Seperti apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini.

Entah dari mana asal muasalnya, tagar #IndonesiaTerserah merebak di lini masa media sosial. Sebuah meme dengan gambar tenaga kesehatan berpakaian APD lengkap memegang kertas bertuliskan tagar tersebut menjadi viral. Kampanye ini ditengarai muncul akibat wacana pelonggaran PSBB yang dilontarkan presiden Jokowi.

Kekesalah para tenaga kesehatan makin diperparah dengan kelakuan warga yang tidak mengindahi peraturan. Pusat-pusat perbelanjaan makin ramai dengan alasan "membeli baju lebaran." Bandara dan pelabuhan penuh sesak oleh orang yang melakukan "perjalanan dinas." Kelakuan masyarakat yang bodo amat dengan penyakit didukung kebijakan tidak jelas pemerintah yang nampak kurang koordinasi.

Sudah terlalu banyak bukti kebodohan pemerintah dan masyarakat di tengah pagebluk ini. Sejujurnya, saya sendiri sudah merasa tertekan melihat kabar terbaru tentang Covid-19. Dua bulan lebih berlalu. Masyarakat yang sudah berusaha patuh dari awal pun sudah kehabisan kesabarannya. Sementara pemerintah belum menunjukan niat baik penyelesaian pandemi ini.

Wajar, lah, kalau para tenaga kesehatan kesal dan berkata: "Terserah!" Semua kembali pada pemerintah (dan masyarakat) untuk mencari tahu apa yang para tenaga kesehatan inginkan. Di balik "terserah" mereka, terdapat harapan yang sejak awal pandemi mereka nanti datangnya dari para pemangku jabatan.

Semoga kita tidak terjebak dalam pandemi ini akibat kita tidak peka pada "terserah"-nya tenaga kesehatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun