Saya tidak salah tulis di paragraf sebelumnya. Saya benar-benar menyayangkan datangnya reformasi. Bukan karena saya anti-reformasi, tapi karena reformasi yang datang tidak benar-benar mereformasi Indonesia.
Setelah Soeharto turun dari kursi presiden, kita lupa bahwa kekuasaan Orde Baru sesungguhnya bukan berada di Istana. Representasi kekuasaan negara masih ada di barak-barak tentara, terutama di tempat yang jauh dari Jawa. Kekerasan demi kekerasan terjadi di fajar reformasi, seperti kejadian di Timor Timur serta Tragedi Kreung Geukeuh di Aceh.
Dua puluh tahun lebih berlalu sejak reformasi bergulir. Para pemimpin barak tentara di akhir Orde Baru dan awal reformasi kini sudah berpindah ke Istana. Dua puluh tahun lebih mereka memantapkan diri sebagai penguasa negeri ini. Dua puluh tahun lebih pula mereka tidak segan menumpahkan darah warga Indonesia demi kekuasaan dan kekayaan.
Pada akhirnya, setiap warga negara yang tidak punya kuasa hanya menunggu darahnya tumpah di tanah tumpah darahnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H