Setiap kartu pos memiliki cerita yang unik. Keunikan tersebut dapat datang dari pesan pengirim, gambar di kartu pos, perjalanan yang ditempuh kartu pos sampai apa yang dikirim bersama kartu pos tersebut. Kartu pos yang satu ini setidaknya memiliki kesan tersendiri bagi saya.
Seperti biasa, Pak Pos Bandung yang ulet dan rajin bekerja datang membawa beberapa kiriman. Salah satu kiriman yang membuat penasaran adalah sebuah amplop berprangko Belanda. Ini bukan kali pertama saya menerima kartu pos dalam amplop. Tapi, selain kartu pos terlipat (folded card), si pengirim menyertakan sekantung teh celup merek Pickwick rasa jeruk di dalam amplop.
Malam selepas salat Tarawih, saya seduh teh tersebut sambil mencari tahu tentang gambar kartu pos yang dikirim. Di kartu pos tersebut, terlukis seekor kupu-kupu oranye hinggap di atas bunga kuning. Di pojok kiri lukisan tercantum tanda tangan sang pelukis, Natalina. Di sisi lain kartu pos, tertulis dalam bahasa Belanda: 'Dilukis asli oleh Natalina Marcantoni'. Di bawah nama itu, terdapat satu kata yang menarik: mundschilderes.
Terbatas Namun Tidak Terbatas
Mundschilderes adalah kata dalam bahasa Belanda yang berarti 'pelukis (schilder) mulut (mund)'. Para mundschilder adalah pelukis dengan disabilitas sehingga tidak mampu melukis dengan tangan. Secara internasional, pelukis mulut tersebut didukung dan dinaungi oleh Asosiasi Pelukis Mulut dan Kaki (Association of Mouth and Foot Painting Artist/AMFPA).
AMFPA merupakan organisasi laba yang membantu pelukis mulut dan kaki untuk menjual karyanya. Setiap negara memiliki organisasi nasional sendiri. Di Indonesia, pelukis kaki yang terkenal adalah Sabar Subadri. Beliau pun menulis sejarah singkat AMFPA di situs pribadinya.
AMFPA membantu anggotanya dengan melaksanakan pameran, melelang lukisan terbaik dan menjual karya anggotanya dalam bentuk kartu pos atau poster. Kartu pos yang saya terima ini dicetak ekslkusif oleh Removos, percetakan yang mendukung AMFPA di Belanda
Bagi mata awam, seperti saya, lukisan pelukis kaki dan mulut akan terlihat sama saja seperti lukisan pelukis tangan. Kalau saya tidak mencari tahu tentang ini, mungkin saya akan mengira bahwa lukisan ini tidak ada istimewanya, sama saja seperti lukisan dari Jelekong yang dijual di pinggir jalanan Bandung.
Jumlah pelukis kaki dan mulut di dunia memang tidak banyak. Mereka semua mampu melawan keterbatasan mereka dengan kreativitas dan imajinasi mereka yang tidak terbatas. Karena tidak mungkin saya menulis tentang mereka semua, saya hanya akan menulis tentang pelukis dari kartu pos yang saya terima ini: Natalina Marcantoni.
Natalina: Melukis dari Keramik sampai Kanvas
Kondisi tersebut memaksa Natalina untuk hidup di atas kursi roda. Selain itu, otot lengannya pun tidak berkembang sempurna. Keterbatasan fisik yang ia miliki sejak kecil membuat ia mampu untuk melawannya sejak awal.
Selama 18 tahun awal kehidupannya, Natalina menghadiri berbagai institusi. Setelah lulus sekolah wajib, ia masuk ke kursus melukis keramik selama 3 tahun. Sejak saat itu, Natalina mulai mengasah kemampuan melukis dengan mulutnya. Selepas kursus, Natalina menekuni lukis keramik hingga menjadi pekerjaan yang dilakoninya selama 6 tahun.