Hari Sabtu (12/5) saya menaiki kereta lokal Bandung Raya dari stasiun dekat rumah saya, Cimekar, ke stasiun Bandung. Saya tiba di stasiun sekitar jam setengah sembilan kurang sepuluh menit, rencananya saya akan naik kereta jam setengah sembilan. Sesampainya di stasiun, puluhan orang sudah memenuhi ruang tunggu dan peron.
Segera saya membeli tiket di loket untuk mendapatkan tiket kereta pukul 10 karena tiket kereta jam setengah sembilan sudah habis terjual. Yah, walaupun sedikit menyesal tidak bisa mengejar kereta yang diinginkan, setidaknya ada harapan bahwa kereta selanjutnya bisa agak lowong.
Kereta pertama berhenti. Para penumpang yang sudah menunggu segera menaiki kereta. Peron jalur 2 stasiun Cimekar adalah peron rendah dan pendek. Hanya 4 kereta dari total 8 kereta dalam satu rangkaian yang bisa dilayani di peron. Peron yang rendah pun menjadi kesulitan tersendiri bagi ibu-ibu, anak kecil dan orang tua.
Kereta pertama pun berangkat. Saya duduk di ruang tunggu yang sudah mulai kosong sambil mencari bahan untuk tulisan saya siang ini. Tanpa perlu menunggu lama, beberapa orang mulai membanjiri kembali ruang tunggu. Tidak terlalu ramai, tapi cukup ramai untuk mengubah anggapan saya bahwa kereta selanjutnya akan lebih kosong.
Sebelum saya melanjutkan, saya ingin menjelaskan sedikit tentang kereta lokal Bandung Raya.
Bagi penumpang kereta komuter di kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya mungkin menganggap KRD Bandung Raya sama seperti di tempat asal mereka: sebuah rangkaian kereta traksi diesel atau listrik tanpa lokomotif dengan konfigurasi kursi berhadap-hadapan dan lantai yang luas.Â
Sayangnya, kereta lokal Bandung Raya tidak seperti itu. Kereta lokal Bandung Raya hanya sebuah rangkaian kereta ekonomi tua dengan konfigurasi kursi 3-2 (tipikal kereta ekonomi PSO) dan ditarik oleh lokomotif.
Alhasil, saya berdiri di dekat pintu bordes, berdesakan dengan penumpang lainnya. Mayoritas penumpang saat itu bukanlah para pekerja yang ingin pergi ke kantor atau berdagang di pasar. Karena hari ini adalah hari Sabtu, banyak keluarga yang merencanakan piknik ke kota atau berbelanja di Pasar Baru. Kereta saat itu pun penuh sesak oleh keluarga: ibu-ibu, anak kecil, bayi hingga orang tua.
Perjalanan menuju stasiun Bandung terasa sangat lama jika dilalui sambil berdiri berdesakan. Ketika kereta berhenti di stasiun Kiaracondong dan Cikudapateuh, penumpang yang turun pun sangat kesulitan untuk mendesak keluar. Sementara itu, penumpang baru juga ingin ikut berdesakan masuk.
Hal yang membuat saya agak terganggu, atau mungkin tersentuh, adalah tangisan bayi yang terus bersahutan dari mulai stasiun Kiaracondong sampai stasiun Bandung. Melihat dari posisi duduknya, saya kira mereka sudah naik dari Cicalengka atau Rancaekek, sebelum saya naik kereta.Â
Kebetulan, saat itu listrik di kereta saya mati sehingga AC tidak menyala. Mungkin karena panas dan bosan, rengekan bayi mengisi seluruh kereta. Sang ibu sibuk menenangkan bayi sementara sang ayah.
Kereta Komuter yang Nyaman
Bayangan orang Surabaya tentang kereta komuter. Sumber: railway.web.id
Cerita saya di atas hanya sebuah gambaran betapa kereta lokal Bandung Raya butuh reformasi armada. Kereta ekonomi 3-2 tidak cocok untuk dijadikan armada komuter yang memiliki volume cukup tinggi.Â
Contohlah kereta komuter Surabaya-Sidoarjo (gambar di atas), kereta Prambanan Ekspres (Kutoarjo-Yogyakarta-Solo) atau KRL Commuter Line Jabodetabek. Semuanya menggunakan kereta dengan tempat duduk yang sedikit dan lantai yang luas, karena kereta komuter tidak menjual kursi, tapi perjalanan.
Lain halnya dengan kereta pengumpan (feeder) seperti Walahar Ekspres (Tanjung Priok-Purwakarta), KA lokal Merak (Merak-Rangkasbitung), Joglokerto (Jogja-Solo-Purwokerto) dan lain sebagainya yang berfungsi sebagai lanjutan dari kereta komuter. Volume penumpang kereta feeder lebih kecil dari kereta komuter, sehingga penjualan tiket dapat dibatasi sesuai jumlah kursi yang tersedia.
Selain kursi, masalah dari penggunaan kereta ekonomi 3-2 sebagai komuter adalah sulitnya akses turun-naik kereta. Pintu yang hanya tersedia dua di setiap sisi, serta ukurannya yang tidak terlalu besar, membuat penumpang terpaksa berdesakan untuk turun atau naik kereta. Belum masalah yang timbul karena peron rendah di beberapa stasiun, padahal kereta ekonomi memiliki pijakan kaki yang tinggi.
Pada akhirnya, pengguna jasa seperti saya hanya mendapatkan apa yang sudah disediakan. Harapan saya, PT KAI Daerah Operasi 2 Bandung dapat membenahi layanan komuter Bandung Raya. Saya masih ingat beberapa tahun lalu ketika komuter Bandung Raya masih menggunakan rangkaian KRD yang sekarang entah di mana. Saya sangat berharap layanan komuter di Bandung bisa senyaman Susi di Surabaya atau Prameks di Jogja. Kalau mau senyaman KRL, mah, mimpinya kejauhan, keleees....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H