Di zaman yang serba cepat ini, berapa kali Anda diminta teman untuk segera merespons pertanyaannya walau jarak Anda berjauhan? Pernahkan Anda diminta untuk mengirimkan suatu dokumen secara instan? Seberapa sering Anda berbelanja daring dan mengharapkan barang tiba hari itu juga atau keesokan harinya?
Semua hal tersebut mungkin terjadi akibat dari kemajuan teknologi; aplikasi pesan instan, surat elektronik, jasa transportasi daring dan sistem pengiriman satu malam (over-night shipping). Sayangnya, hal tersebut sudah sangat melalaikan kita dari suatu seni dan permainan perasaan yang indah: berkirim surat.
Segala bentuk keinstanan telah menjauhkan manusia dari kebiasaan menempel prangko di amplop atau kartu pos, menuliskan kata demi kata di atas selembar kertas, perasaan bimbang ketika surat tidak segera diterima atau perasaan senang ketika pak pos menyelipkan surat yang dinanti di kotak pos rumah.
Bagi mereka yang lahir sebelum tahun 1990 mungkin pernah merasakan, atau setidaknya melihat, prangko Pak Harto dan prangko Pelita beliau tertempel di atas sepucuk surat. Entah surat tersebut ditujukan untuk Anda, atau mungkin orang tua Anda. Bagi yang lahir tahun 90-an, seperti saya, mungkin sudah sangat jarang menerima surat atau kartu pos. Kenapa?
Di masa pra-internet, seseorang yang terpisah jauh dari sahabatnya tidak memiliki akses instan untuk memberi kabar kepada sahabatnya. Andalannya hanyalah surat dan prangko. Sehingga momen mengirim dan menerima surat menjadi suatu wisata emosional tersendiri bagi kedua belah pihak. Zaman sekarang, tinggal cari nama sahabat anda di Facebook, Twitter atau Instagram, kirim pesan singkat, maka rasa kangen pun terobati.
Ketika saya sempat menganggap prangko sudah tidak laku lagi dan sudah tidak ada orang yang berkirim surat atau kartu pos berprangko, saya justru terjerumus ke dalam jurang adiksi dari berkirim kartu pos. Sudah hampir 2 tahun saya menekuni hobi ini dan tidak ada perasaan ingin berhenti sedikit pun.
Awal Saya 'Terjerumus'
Terjerumusnya saya ke hobi ini dimulai dari hobi lama yang saya mulai seminggu sebelum berkenalan dengan kartu pos: mengisi TTS di harian Kompas setiap Minggu pagi. Setelah mengisi TTS, saya berniat untuk mengirim jawaban tersebut ke redaksi.
Penasaran dengan tarif kirim surat dengan prangko, akhirnya saya cari di Google. Hasil pencarian mengarahkan saya ke suatu blog yang lebih spesifik untuk tarif berkirim kartu pos ke luar negeri.
Di awal artikel, tertulis suatu kosa kata yang membangkitkan rasa penasaran saya: Postcrosser. Hal yang terlintas, Postcrosser pastilah subjek dari kegiatan... Postcrossing? Rasa penasaran tersebutlah yang mengantarkan saya ke situs Postcrossing. Situs yang sangat sederhana, tapi sepertinya menarik.