Sekali lagi, tanpa kusadari, aku sudah berpindah tempat. Kali ini, air mengelilingiku. Kawanku masih terlihat di kanan-kiri. Masih tetap diam membisu.
Ya, terus saja begitu. Sampai kiamat pun tidak akan ada yang bisa bicara diantara kami.
Sampai seekor makhluk cantik lewat di atasku. Aku tidak pernah melihat makhluk ini. Aku memang tidak pernah masuk ke air selama hidupku. Tapi aku pernah melihat makhluk yang mirip dengannya ketika seseorang menggunakan tongkat untuk mencari sesuatu dari dalam sungai. Oh ya! Ikan.
Sisik merahnya sangat indah bagaikan menyinari keruhnya air Progo. Siripnya lemah gemulai mendorong air untuk berenang kesana kemari. Gerakan halusnya senada dengan aliran Progo yang tenang. Mulutnya tidak henti megap-megap. Apakah ia bicara kepadaku? Sayang aku tidak bisa mendengar.
Oh, Merapi, aku bersyukur kau tendang aku ke sini, dimana aku bisa menemukan keindahan yang tidak aku temukan di kakimu.
Aku ingin berjalan bersamamu, wahai ikan merah nan cantik jelita. Biarkan aliran Progo membawa kita bersama. Biarkan Merapi tetap di sana, menjadi saksi bisu bahwa kita pernah ada. Ingin sekali aku katakan itu semua, tapi Merapi melahirkanku bisu. Biarlah semua itu ada di hati ini.
***
Ikan merah nan anggun tetap berenang di sekitarku. Mulutnya megap-megap tidak berhenti. Aku selalu membayangkan, apa yang ia katakan. Apakah ia berbicara padaku? Apakah ia berkata tentangku? Maaf, ikan, aku tuli. Tidak sepatah kata pun aku dengar. Tapi sudikah kau bersamaku sampai akhir masa?
Sungai Progo mengalir bersama waktu. Merapi yang tertidur menjaga alirannya agar tetap mengairi Yogyakarta bagian barat. Ikan merah tetap berenang di aliran Progo yang tenang. Batu kecil itu masih menyimpan rasa pada Ikan merah yang ia temukan di dasar Progo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H