Pada awalnya, saya kurang setuju dengan diadakannya hari santri, apalagi penetapan hari santri tersebut berlandaskan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asyari. Seakan-akan hari santri hanya khusus untuk golongan tertentu (NU) dan bukan untuk semua golongan. Saya sendiri, sebagai santri, tidak pernah merasa menjadi bagian NU ataupun Muhammadiyah atau ormas Islam lainnya.
Selain itu, Hari Santri pada awal ditetapkannya, tahun lalu, terlihat sebagai gerakan politik Presiden Joko Widodo untuk menarik hati kaum santri yang akhir-akhir ini memang bertambah banyak.
Baiklah, sampai sini mungkin banyak yang tidak sependapat dengan saya.
Dan di titik ini pun saya sadar, ketidaksetujuan saya terhadap hari santri berdasarkan pada ketidak-berafiliasian saya kepada NU dan ‘Ainu-s-sukhti (pandangan buruk) saya terhadap Bapak Presiden. Jadi, sampai titik ini, saya akan mencoba memaknai hari santri secara lebih mendalam.
Bagi orang awam, santri adalah mereka yang pernah merasakan pendidikan di pesantren, apa pun pesantrennya. Maka, kita sering mendengar santri salaf, santri tahfidz, santri ini-itu dan lain-lain. Jadi, orang yang tidak pernah mencicipi bangku pesantren bukanlah santri dan tidak ‘elok’ rasanya apabila memperingati hari santri.
Tidak banyak orang yang melihat santri kepada esensinya, sehingga hari santri hanya diperingati sebagai bukti bahwa santri adalah bagian dari perjuangan rakyat Indonesia, merujuk pada Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945.
Esensi Santri
Esensi santri yang saya maksud di sini adalah jiwa-jiwa santri yang harus ada ketika seorang sudah nawaitu nyantri lillahi ta’ala. Jiwa tersebut terdiri dari jiwa keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan) dan kemandirian.
Sekarang mari kita lihat kenyataannya di bangsa kita.
Headline berita pungutan liar (pungli) masih merajai media cetak dan elektronik. Kasus korupsi masih menjadi-jadi. Kemana keikhlasan dalam mengabdi kepada negeri?
Setiap orang berlomba untuk tampil lebih mewah. Harga gengsi semakin mahal. Restoran dan cafe mahal tidak pernah sepi. Kemana kesederhanaan dalam hidup?
Lini masa media sosial penuh dengan cercaan dan rundungan. Konflik antar masyarakat yang dipicu dengan hal-hal kecil. Kemana ukhuwwah bangsa Indonesia?
Budaya mencontek di segala lini masih terjadi. Ketidakmampuan mengelola sumber daya manusia yang berlimpah masih kerap terjadi. Kemana kemandirian negeri ini?
Menyantrikan Indonesia
Hari santri nasional bukan hanya milik santri. Hari santri nasional adalah milik seluruh rakyat Indonesia, karena jiwa santri adalah jiwa Indonesia. Jiwa penuh perjuangan untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik.
Indonesia tidak butuh santri, tapi Indonesia harus menyantrikan dirinya. Menanamkan jiwa-jiwa santri dalam setiap lapis kehidupan masyarakat Indonesia. Santri saja tidak mampu mengentaskan segala masalah yang dialami Indonesia. Hanya Indonesia sendiri yang bisa melepaskan diri dari masalah. Indonesia yang sudah “santri”
Harapan besar saya, Hari Santri Nasional agar menjadi momentum semua orang, tidak hanya santri, untuk menyantrikan diri, melihat diri kita sendiri, sudah santrikah kita? Semoga setiap tahunnya, hari santri tidak hanya diisi oleh kirab santri, lantunan shalawat Nariyah dan apel tahunan serta Pospenas.
Doa-doa kiai dan santri, yang jumlahnya sudah jutaan di Indonesia, siap mengantarkan Indonesia menjadi Rabbun Ghafuur. Kami hanya menunggu Indonesia untuk menjadi Baldatun Thoyyibah, sehingga suatu saat nanti Indonesia menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur.
Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H