Kelima, ma’ad (hasil). Adalah wajar jika dalam berekonomi, manusia ingin memperoleh hasil/laba/keuntungan. Keuntungan yang tak cukup hanya bersifat materiil, namun juga keuntungan spiritual yang akan selalu menjadi energi positif bagi akal, hati, dan moral sehingga manusia bisa menikmati buah dari berekonomi secara komprehensif.
Keenam, multitype ownership (kepemilikan multijenis). Nilai Islam mengakui kepemilikan negara, swasta, maupun campuran, termasuk kepemilikan pribadi dan bersama/publik. Untuk memastikan tidak adanya kezaliman, negara memiliki hak untuk menguasai cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang tentu harus dikelola secara adil.
Ketujuh, freedom to act (kebebasan bertindak/berusaha). Setiap diri manusia baik sebagai individu, kelompok, maupun keterkaitannya dengan penguasa dan publik, memiliki kebebasan dalam bertindak/berusaha, termasuk dalam bidang ekonomi.
Setiap manusia boleh melakukan aktivitas muamalah atau ekonomi apa pun, kecuali semua tindakan mafsadah (segala yang merusak), riba (tambahan yang didapat secara zalim), gharar (ketidakpastian), tadlis (penipuan), dan maysir (perjudian, zero-sum game, orang mendapat keuntungan dengan merugikan orang lain). Karena hukum asal dari fikih, ekonomi dan muamalah adalah ‘semua boleh dilakukan, kecuali yang ada
larangannya’.
Kedelapan, social justice (keadilan sosial). Dalam Islam, keadilan diartikan dengan suka sama suka (antaradhin minkum) dan satu pihak tidak mendzalimi pihak lain (latazlimuna wa la tuzlamun). Keadilan sosial bisa terwujud jika masing-masing pihak berperan secara adil sekaligus proporsional dalam perekonomian.
Kesembilan, akhlak. Sistem ekonomi Islami hanya memastikan agar tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Tetapi, kinerja bisnis bergantung pada man behind the gun-nya. Karena itu, pelaku ekonomi baik sebagai produsen, konsumen, pengusaha, karyawan, maupun sebagai pejabat pemerintah harus memiliki moral yang baik dan benar, yang dalam kerangka ini dapat saja dilaksanakan oleh umat non-Muslim.
Implementasi
Fatwa haramnya bunga bank, ditetapkannya UU Perbankan Syariah, insentif pajak atas produk syariah, serta berbagai kebijakan lain yang dikeluarkan otoritas penguasa, seperti lembaga eksekutif maupun legislatif, Depkeu, BI, Bapepam-LK, dan MUI, merupakan dukungan yang signifikan terhadap industri ekonomi Islam.
Namun, ternyata tumbuh kembang industri ekonomi Islam jauh lebih lambat dibanding industri ekonomi konvensional. Sekadar ilustrasi, bank syariah (model lazim dari praktik ekonomi syariah) dalam lima tahun terakhir (Desember 2005-2010) hanya menambah aset Rp 76,6 triliun. Bandingkan dengan bank konvensional, pada periode yang sama berhasil menambah aset 20 kali lipat dibanding bank syariah, yaitu Rp 1.539 triliun.
Bicara sistem ekonomi Islam memang bukanlah melulu bicara mengenai lembaga keuangan Islam dalam bingkai industri. Di luar ingar-bingar tumbuh kembang industri ekonomi Islam, publik telah terbiasa melakukan praktik ekonomi Islami, seperti jual beli (barang/jasa) yang terjadi antarindividu maupun kelompok, transaksi di pasar-pasar tradisional, sewa-menyewa, kerja sama bisnis, serta berbagai transaksi lain yang tak berlabel industri.
Nah, hal realistis yang bisa kita lakukan saat ini adalah menerapkan nilai-nilai ekonomi Islam tersebut dari diri pribadi, dalam aktivitas berekonomi keseharian, dan jika kita sebagai pelaku industri dan keuangan. Jika ada praktik berekonomi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai di atas, kita hindari, atau kalau perlu kita upayakan untuk mengubahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H