Malam berkabut dinginÂ
Perempuan terlelap di atas labirin kata
Dan aku membacakan sepenggal kisah pendek
Â
: Akhirnya hujan turun
Matahari pun tenggelam
Perempuan memberikan tanda mata
Hari-hari telah berlalu, namun musim panas masih ada, seharusnya butiran hujan sudah jatuh di telapak tanganku atau di tanah musim dingin yang begitu terlihat pasi. Seharusnya matahari telah menyerah, membiarkan kabut dingin datang, agar ia bisa mendengarku, sekedar mengatakan padaku untuk tidak menangis.
        Ah, aku rasa ia telah melupakannya, semua perkenalan kami dan pertanyaan-pertanyaan yang pernah menyudutkan kami tentang siapa, bagaimana, atau dengan siapa kami hidup. Ah, ia mungkin tidak akan mengingatnya lagi.
        Selanjutnya malam dihembus dingin, dari dinginnya bisa kucium harum langit hingga membawaku pada sketsa wajah. Yukai, seorang perempuan keturunan Jepang. Aku memanggilnya Kai. Ayahnya seorang muslim, arsitek asal Jepang. Sementara Ibunya asli Palembang. Tak perlulah kujelaskan lebih rinci bagaimana pertemuan kedua orang tuanya hingga menikah. Tapi akan kuceritakan siapa, bagaimana, dan dengan siapa kami hidup.
        Aku dapat mengingatnya, mulai dari lekukan tepi wajahnya yang berhijab, tirus wajahnya, ramping tubuhnya, tahi lalatnya yang berada di pertengahan antara ujung hidung kanannya dan pangkal lekukan senyum pipi kanannya, matanya yang kerap menyembunyikan rahasia hati, baju-bajunya yang berwarna ungu, senyum kecilnya, bibir tipisnya, hingga setiap kugenggam gitar tua ini. Aku selalu dapat mengingatnya.