Mohon tunggu...
I. F. Donne
I. F. Donne Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis adalah seorang Magister Pendidikan lulusan Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis pernah aktif di berbagai komunitas sastra di Jakarta. Beberapa diantaranya; Sastra Reboan, Kedailalang, dan KPSI (Komunitas Pecinta Seni dan Sastra Indonesia). Karya-karyanya diantaranya; Novel ‘Danau Bulan’, Serampai Cerpen Vol. I ‘Soejinah’ dan ‘Dunia Luka’ Vol. II. Antologi puisi bersama sastrawan-sastrawati. Diantaranya; antologi puisi Empat Amanat Hujan (Bunga Rampai Puisi Komunitas Sastra DKJ), Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Fiksi Mini, dan beberapa puisinya juga dimuat di majalah Story. Penulis juga sudah memiliki dua buku antologi cerpen bersama beberapa penulis, yaitu Si Murai dan Orang Gila (Bunga Rampai Cerpen Komunitas Sastra DKJ) dan Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan. Beberapa cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat nasional, diantaranya berjudul, Sepuluh Jam mendapatkan juara 2 di LMCPN (Lomba Menulis Cerpen Pencinta Novel), Randu & Kematian pada tahun 2011 dan Selongsong Waktu pada tahun 2013 mendapatkan juara harapan kategori C di Lomba Menulis Cerpen Rotho - Mentholatum Golden Award. Penulis juga aktif di berberapa organisasi kemasyarakatan, seni dan budaya. Aktifitas yang dijalani penulis saat ini adalah seorang jurnalis di salah satu surat kabar online nasional di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Selongsong Waktu

22 Maret 2020   00:00 Diperbarui: 22 Maret 2020   00:12 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Juara harapan kategori C di Lomba Menulis Cerpen Rotho - Mentholatum Golden Award 2013)

Suatu hari nanti, aku akan berada di balik selimut kafan. Mungkin saat itulah aku akan menyadari, bahwa semua keburukan dan kebaikanku telah dicatat, ditandai.  Semua terhitung jumlahnya, berurutan mulai dari satu, seratus, seribu, sejuta, sampai milyaran perbuatanku di dunia. Jadi apa yang akan aku lakukan dengan sisa hidup ?  

Seakan aku merasa memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang menurutku bisa kulakukan. Bahkan terkadang aku selalu merasa dapat menggunakan kemampuan yang telah diberikan-Nya, dengan selalu berusaha melawan perasaan akan sebuah kegagalan. Semua benar-benar seakan mudah bagiku. Tapi aku juga tahu, bahwa semua berawal dari niat. 

"Kawan, bangun! sudah siang." seakan suara Jagad membangunkanku.

Sudah seminggu ini aku sulit tertidur. "Entah harus kumulai dari mana cerita ini." Tapi bagiku Jagad adalah sahabat sejati, seminggu lalu ia baru saja wafat di medan tempur. Kami tinggal berdua sejak duduk di bangku sekolah. Ia yatim piatu. Ayahnya wafat pada peristiwa PKI. Sedangkan Ibunya menyusul sang Ayah setahun kemudian.

Seperti biasanya, pergolakan politik akan selalu mencari korban sebagai kambing hitam dari kecurigaan semata atas nama stabilitas. Akan tetapi aku tak pernah mau membahasnya, sebab fakta sebenarnya seakan hanya menjadi rahasia dari beberapa kalangan yang berkuasa.

Selepas sekolah menengah, kami sama-sama melanjutkan kuliah di  Fakultas Ilmu Sosial Politik. Kepiawaian Jagad dalam berorasi dan berpikir, telah membuatnya terpilih sebagai ketua badan esekutif mahasiswa. Tak ayal aku pun terbawa oleh jalan pikirannya untuk bergabung dalam organisasi kampus.

Sebagai mahasiswa yang kritis pada keadaan negeri, kami selalu memantau perkembangan Negara. Pada saat itu Negara di bawah kepemimpinan presiden yang telah dua kali terpilih.

Seratus hari telah berlalu sejak kepemilihan, namun keadaan Negara dan bangsa tak juga membaik.  Negara ini semakin terpuruk dalam kemiskinan hingga menghasilkan kesenjangan yang kian nyata. Tak pelak, demonstrasi pun mulai terjadi dimana-mana.

                  ***

Peristiwa siang itu sungguh mengejutkanku. Seharusnya tak kubiarkan peluru itu bersarang di dada Jagad. Aku telat beberapa detik mendorongnya agar terhindar dari peluru tajam yang dilucuti oleh salah seorang serdadu dengan tampang beringasnya.

Di tengah keramaian demonstran, Jagad menghembuskan nafas terakhirnya, tepat di pangkuanku bersama bebulir airmata perjuangannya. Seandainya saja hari itu aku dapat menahan agar ia tak mengikuti demonstrasi bersama barisan mahasiswa dari seluruh daerah, maka sudah pasti tragedi yang menimpanya tak 'kan terjadi.

"Kelak, aku akan menjadi presiden yang adil, Arif." tegasnya.

Begitulah semangat yang ia bawa hingga ke liang kuburnya. Berulang kali ia selalu mengatakan itu dengan berapi-api. Padahal yang aku tahu, sampai mana pun kita tak kan pernah sanggup memperbaiki sebuah sistem, bila semua yang menjalankan sistem itu tak beritikad baik.

"Ah, sanggupkah kita melakukannya sendirian?" kuhela nafas panjang. Semua idealisme yang diucapkannya kerap terngiang di telingaku.

Diterik siang itu kulihat sebuah fatamorgana merah di depan teralis megah gerbang istana Negara. Dengan lantang Jagad berteriak melalui pengeras suara yang dicengkeramnya, penuh semangat juang.

"Kita harus menuntut hak-hak kita! Seperti yang telah dijanjikan Bapak Presiden, saat ia berkampanye dulu." lantangnya, sambil menunjuk ke arah istana Negara.

Orasinya menyihir seluruh massa demonstran yang hadir di sana. Aku berdiri tepat di sampingnya. Ya, hari itu adalah hari terakhirku bersamanya. Kini Jagad telah pergi membawa kebanggaan atas apa yang telah ia diperjuangkannya.

Setidak - tidaknya perjuangannya adalah sebuah keberanian menggugat ketidakadilan di Negara ini. Kami semua bangga terhadap apa yang telah diperjuangkannya. Kelak akan ada satu peluang mewujudkan cita-citanya agar negeri ini menjadi negeri yang bersih dari tangan-tangan koruptor.

                 ***

Jagad, andai saja kita masih tetap bersama-sama, tentu saat ini kita sudah dapat hidup layak, atau mungkin berkeluarga? Atau mungkin sedang menyelesaikan tesis bersama-sama, di sebuah rumah yang jauh dari keramaian. Sesekali kita melakukan perjalanan untuk penelitian.

Seperti saat ini, aku sedang melakukan penelitian tentang keadaan perekonomian di kota kecil, untuk menyelesaikan tesisku. Aku juga membuat beberapa artikel untuk surat kabar. Seandainya kau tahu, kawan, kemiskinan benar-benar telah menggurita.

Kelaparan terjadi di banyak pelosok desa. Bahkan disalah satu kabupaten, hampir seluruh maysarakat mengalami kekurangan yodium. Dan itu mengakibatkan mereka menjadi idiot. 

Sudah dua bulan aku menetap di kota miskin ini. Kesepian membuatku selalu menulis surat untuk Wulan, kekasihku. Ia seorang dokter kandungan. Aku mengenalnya saat sedang mengunjungi makammu. Saat itu Wulan sedang menaburkan bunga di sebuah makam yang berdekatan dengan makammu, Sahabat.

Kekasihku tercinta, Wulan...

Semoga harimu baik-baik saja, Sayang. Sudah  lama kita berpisah dari kehidupan yang biasa kita lakukan bersama. Aku masih ingat, saat kita bertemu di pemakaman. Ketika itu kita berdua saling melirik. Sambil menyeka keringat, aku memperhatikanmu hingga akhirnya kau melempar senyum padaku. Saat itu kita sama -- sama mengenang seseorang yang membuat kita bangga. Aku mengenang sahabatku, Jagad. Sedangkan kau mengenang sahabatmu yang wafat pada peristiwa yang sama. Kematian itu membangkitkan sikap kritisku terhadap kemiskinan, kebodohan dan pembodohan.

Sekarang aku berada di kota termiskin di Negara ini. Masyarakat setempat kental dengan budaya sesajian dalam beberapa ritual yang dianggap sakral. Bahkan media massa menjadikan itu semua sebagai berita menarik yang menguntungkan. Kau tahu, secara pribadi aku tak setuju dengan ritual yang menurutku bodoh dan tak masuk logika. Namun, setelah aku mendiskusikannya dengan pembimbingku Professor Soekamto, ia hanya menertawakanku. Katanya, aku tak boleh menulis sesuatu yang kontrolversial. Jika aku masih ngotot untuk menerbitkan tulisan itu, maka nanti aku akan dicekal, bahkan dijauhi dan diasingkan oleh kalangan -- kalangan yang merasa terancam karena tulisanku.

Sekarang aku merasakan darah Ibu Pertiwi berselimut kemiskinan di bawah kebodohan dan pembodohan. Menurutmu aku masih mempunyai empati, bukan? Empatiku tak pernah hilang, Sayang. Aku kian benci dengan orang - orang munafik, yang tak menjadi dirinya sendiri. Beberapa kalangan menginginkan ritual -- ritual yang dianggap sebagai kebudayaan masyarakat setempat itu, agar dapat dianggap sebagai agama. Dengan demikian mereka akan terbuai, bukan? Maka hidup miskin kemudian akan menjadi biasa. Kematian akibat kurang gizi dan kelaparan seakan harus diterima secara alami dan wajar. Padahal pemerintah daerah dan kalangan dewan telah meraup keuntungan dari pembelanjaan daerah untuk kemakmuran pribadinya. 

Oh, kuharap kau dapat memahami jalan pikiranku, bahwa sekarang aku sedang mengungkapkan fakta melalui tesis dan artikelku. Mungkin dengan cara ini aku dapat meneruskan perjuangan Jagad untuk membawa negeri ini menjadi lebih baik. Entah apakah aku bisa mewujudkannya. Namun yang pasti aku tetap akan menentang. Dan jika mungkin suatu hari nanti aku menghilang, maka kuharap kau dapat mencari dan menemukanku. Sebab aku menghilang bukan karena aku meninggalkanmu, tapi mungkin karena tulisanku ini akan menjadi jerat untukku sendiri. Mungkin beberapa kalangan akan menganggap, bahwa tulisanku akan menggoyang stabilitas kekuasaan. Jadi kuharap kau dapat mencariku. 

~ Kekasihmu Tercinta, Arif ~

                    ***

Sebulan kemudian aku menerbitkan artikel yang kutulis, ternyata hasilnya cukup dahsyat. Artikelku membangkitkan semangat sebagian ormas untuk bersikap kritis terhadap pemerintahan pusat. Saat itu demo terjadi dimana-mana, beberapa orang harus mati karena kebiadaban prajurit yang dikerahkan pemerintah untuk membungkam demonstrasi.

Beberapa bulan kemudian aku menghilang. Tepatnya aku tak dapat mengingat kejadian itu. Yang kutahu, aku terbangun dari pingsan selama dua hari. Dan ketika sadar, aku berada di dalam sebuah ruang sempit dan pengap. Entah dimana, bersama beberapa orang yang sedikit kukenal. Mungkin saat itu aku menjadi seperti tahanan bersama mereka.

Dua tahun kemudian Wulan berhasil menemukanku dengan bantuan seorang perwira tinggi. Wulan bercerita bahwa ia telah menolong istri perwira tinggi itu yang hampir saja meninggal saat melahirkan karena lemah jantung.

Mengetahui keadaanku yang sangat memprihatinkan, Kekasihku tersayang, Wulan segera mengeluarkanku dari penjara itu, "entah dengan cara apa."  Tapi rupanya suratku untuknya telah sampai dan dibacanya. Dengan berbekal surat itu, ia berusaha mencari keberadaanku. Ia benar-benar menyimak maksud pesanku kepadanya.

Sekeluarnya aku dari tempat itu, baru kutahu ternyata ruang pengap bawah tanah itu di peruntukkan bagi para pembangkang yang dianggap menggoyang stabilitas Negara.  Ah, Jagad, seharusnya bersamamu aku ingin memperjuangkan apa yang layak untuk kita perjuangkan.

Dan kini aku hanya harus melanjutkan hidupku, dalam keputus-asa-an melihat sistem yang membuat Negara makin pongah dalam menyikapi ketidakadilan. Beberapa teman-teman seperjuangan kita bahkan sudah melenceng dari niat semula. Mungkin kursi dewan atau jabatan di pemerintahan membuat mereka nyaman lalu kehilangan sikap kritisnya. Kini aku tak lagi mengenal mereka, Jagad. Namun percayalah, aku masih tetap Arif yang dulu.

Beberapa orang berhasil mencapai hakekat hidupnya. Seperti waktu, dimana mereka menolak untuk pergi dari kehidupan, sejauh mereka bisa untuk menemukan bagian yang sangat berarti, meskipun kecil. 

Kebaikan atau perjuangan menentang ketidakadilan, sekecil apapun itu, tetap akan menjadi buah manis, meskipun selongsong peluru bersarang menjemput kematian.[ ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun