Mohon tunggu...
Ifandi Khainur Rahim
Ifandi Khainur Rahim Mohon Tunggu... -

ex-Ketua BEM Fakultas Psikologi UI 2018. Hobinya menulis dan bikin video. Tulisannya random kalo di Kompasiana. Lebih lanjutnya, silahkan kunjungi https://www.ifandikhainurrahim.com/ atau cek channel Youtube saya http://youtube.com/c/SatuPersenOfficial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

BEM Bukanlah Tempat untuk Belajar

17 Januari 2018   14:14 Diperbarui: 17 Januari 2018   14:22 6201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Memasuki masa-masa seleksi staf BEM, saya baru menyadari satu hal yang sangat penting. Ya, terkait dengan nilai profesionalisme dan kekeluargaan dalam berorganisasi. Tulisan kali ini mungkin akan menjadi curhatan (yang harusnya rahasia) milik saya tentang topik ini. Curhatan ini, seperti tulisan saya pada umumnya, tentu akan berisi opini tidak populer saya tentang pandangan dan sikap saya terhadap keberadaan BEM di kampus.

Sebagai prolog, saya ingin memberi tahu teman-teman semua bahwa sejujurnya saya sudah sadar sejak dulu, bahwa saya tidak pernah (dan mungkin tidak akan pernah [semoga saja dugaan saya salah]) cocok bekerja di organisasi semacam BEM. Kondisi tersebut menurut saya terjadi sesederhana karena orang-orang masuk BEM punya tujuan dan nilai yang berbeda jauh dengan saya. Jauh sekali.

Kalau menelisik pertanyaan orang-orang terhadap BEM ketika saya dan calon-calon Ketua sebelumnya mencalonkan sebagai Ketua BEM, pasti pertanyaan tentang "profesionalitas vs. kekeluargaan" akan selalu muncul. Entah itu berwujud dalam pertanyaan antara "task vs. person oriented?", "proker vs. staf oriented?", dan banyak lagi wujudnya. Namun pada dasarnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut mempertanyakan terkait dengan apakah saya lebih peduli dengan profesionalitas atau kekeluargaan di BEM.

Dan teman-teman terdekat saya sudah pasti tahu saya akan menjawab seperti apa jika diberi pertanyaan seperti itu. Jelas, saya akan memilih BEM yang profesional dibanding kekeluargaan. Pandangan ini juga yang membuat saya berani mengatakan kepada teman-teman semua bahwa BEM sebetulnya bukan tempat untuk belajar.

Saya pribadi selalu beranggapan bahwa BEM adalah tempat di mana mahasiswa melakukan hal lebih. Ya, mencurahkan waktu lebih dari biasanya, mencurahkan tenaga lebih dari biasanya, mencurahkan pikiran lebih dari biasanya, bahkan mencurahkan uang lebih dari biasanya, yang mana sasaran utamanya adalah untuk BEM, civitas kampus, dan tentunya masyarakat umum.

Ketika mindset yang ditanamkan sejak awal adalah BEM merupakan tempat untuk belajar dan mengembangkan diri, maka fokusnya sejak awal sendiri sudah salah target. Tujuan utama orang masuk BEM dan berkontribusi di dalamnya menjadi salah. Salah karena egois. Ya, karena sasarannya terlalu terfokus pada diri sendiri.

Bayangkan saja, jika BEM yang notabene lembaga eksekutif dijabat oleh orang yang tujuan utamanya adalah untuk belajar, akan bagaimana kinerjanya? Kalau dibandingkan dengan lembaga eksekutif di level negara Indonesia, sangat tidak terbayang oleh saya jika Jokowi, Soekarno, dan pemimpin hebat lainnya menjabat lembaga eksekutif di Indonesia sebagai presiden dengan tujuan utama untuk 'belajar dan mengembangkan diri', mungkin Indonesia tidak akan merdeka seperti sekarang.

Sayangnya, fakta dan data di lapangan berkata lain. Saya bisa mengatakan bahwa lebih dari 80% orang pasti akan mengatakan bahwa tujuan utama mereka masuk BEM untuk 'belajar berorganisasi', 'punya skill tertentu', dsb. 

Mana ada calon pengurus yang mengatakan bahwa tujuan mereka masuk BEM adalah keinginan mereka dalam berkontribusi untuk masyarakat? Pun saya sendiri sebagai staf mengatakan hal tersebut (ingin masuk BEM untuk belajar) ketika saya mencoba masuk ke BEM di tahun pertama saya akan menjabat sebagai staf.

Dari data tersebut, kita bisa tahu konsekuensinya adalah kontribusi yang setengah-setengah. Tidak betul-betul all out dikeluarkan untuk mengabdi, karena memang tujuan utama masuk ke BEM bukan untuk mengabdi, namun untuk mengembangkan diri. Ya, untuk belajar.

Implikasi dari pandangan masuk BEM untuk belajar inilah yang membuat orang-orang yang berada di top-level/tim inti seperti saya akan... capek. Karena saya punya mimpi sendiri untuk mewujudkan BEM yang x, BEM yang y, BEM yang z dan subordinat/bawahan saya mempunyai tujuan utama masuk BEM bukan untuk x, y, dan z, namun untuk belajar dan mengembangkan diri.

Saya dan tim yang berada di top level (level founders) tentunya punya tuntutan dan mimpi, yang ketika hal tersebut dituntut ke orang lain yang punya tuntutan dan mimpi yang berbeda, akan menghasilkan kolaborasi yang kurang pas.

Pada akhirnya, sejauh pengalaman saya menjabat di berbagai tempat, output dari tuntutan tersebut ada dua. Antara 1) Program kerja berjalan dengan sangat baik, namun bawahan menjadi sangat stress dan burnout. Atau 2) Saya harus merelakan tuntutan saya dan membuat bawahan tetap bahagia dan excited berada di BEM karena ekspektasi mereka berada di BEM berbeda dengan saya.

Penyebab yang membuat BEM tidak akan pernah bisa seperti keinginan saya adalah karena pada dasarnya BEM adalah organisasi volunteer. Orang-orang yang berada di BEM bisa menghilang kapan saja tanpa konsekuensi yang berat. BEM bukanlah korporasi yang menggaji mahasiswanya untuk melakukan sesuatu. Mahasiswa yang berperan sebagai pengurus pun tidak punya ketergantungan apa pun (khususnya ketergantungan finansial) terhadap BEM. Sehingga pada akhirnya masalah profesionalisme dan kekeluargaan serta dikotominya menjadi terlalu utopis untuk dijadikan satu.

Meskipun di sisi lain, saya sangat yakin, bahwa dengan cara yang tepat, saya bisa saja mewujudkan BEM yang keren, objektif, dan menghasilkan perubahan nyata, sekaligus tetap menjaga well-being dan excitement bawahan saya sebagai pekerja sosial (baca: volunteer) di BEM.

Lalu, dengan keadaan tersebut, siapa yang salah? Tentu yang salah adalah diri saya sendiri, penanggung jawab utama BEM yang sampai saat ini belum menemukan cara untuk mengoptimalkan tingkat excitement pengurus sekaligus menjaga objektivitas dan kualitas program kerja. Sekarang adalah bagaimana sebagai pemimpin, saya bisa melakukan itu semua sebagai satu kesatuan, tidak terpisah-pisah.

Kalau boleh bercerita, sebetulnya saya pernah berada di dua dikotomi, baik itu tipe person-oriented maupun task-oriented.

Saat memimpin salah satu kepanitiaan yang paling besar di paguyuban Urban UI, yaitu Roadshow Urban Goes to School, saya mencoba tipe kepemimpinan yang person-oriented. Saya mencoba dekat dengan bawahan, merakyat, dan tidak banyak menuntut, dengan dalih ingin membuat mereka berkembang sesuai dengan pace mereka masing-masing, sekaligus juga ingin mendekatkan Urban. Hal ini saya lakukan dikarenakan acara tersebut ibaratkan merupakan perkenalan mahasiswa baru Urban terhadap Urban itu sendiri dan orang-orang di dalamnya.

Lalu, implikasinya bagaimana? Jujur saja, secara objektif kinerja saya sangat amat tidak maksimal. Namun output subjektif dari bawahan setelah mengikuti kepanitiaan? Ternyata outstanding! Saya dianggap bisa mengayomi mereka dengan baik, tetap dekat dengan mereka hingga sekarang, bahkan saya bisa memastikan alasan mengapa kader paguyuban saya tetap ada di tahun 2018 adalah berkat kerja saya saat memimpin RUGTS di tahun 2017. Sayangnya, memang output dari mimpi saya di RUGTS-lah yang menjadi taruhannya saat itu, meskipun memang terjadi perkembangan dibanding kinerja kepanitiaan tahun lalu, sejujurnya ekspektasi saya banyak yang tidak terwujud di tahun saya menjabat sebagai ketua pelaksana.

Di sisi lain, saya pun mencoba hal sebaliknya saat di Dept. Kajian dan Aksi Strategis. Saya mencoba menuntut banyak hal. Mencoba memadatkan seluruh pekerjaan kepada bawahan dan mencoba mewujudkan mimpi saya sebagai Kepala Dept. Kastrat.

Implikasinya? Banyak staf saya yang burnout dengan pekerjaan di Kastrat. Ditambah lagi dengan masalah personal masing-masing staf dan wakil saya yang tidak bisa terkontrol, hal tersebut pada akhirnya membuat hubungan interpersonal (baca: kekeluargaan) dalam departemen menjadi renggang. Akan tetapi, kinerja secara objektifnya bisa dibilang sangat baik, apalagi jika dibandingkan tahun lalu. Saya berhasil meningkatkan output kajian sebanyak 500%, meningkatkan likers dari yang asalnya hanya 20an sampai dengan 100an di media sosial, meningkatkan output diskusi sebanyak 300%, meningkatkan massa aksi secara signifikan (bahkan Fakultas saya sempat membawa massa aksi yang cukup banyak dibandingkan Fakultas lain), sekaligus meningkatkan testimoni di poling yang diisi oleh civitas F. Psi. UI.

Dua pengalaman yang sangat berlawanan tersebut sempat membuat saya skeptis tentang penyatuan nilai kekeluargaan dan profesionalitas. Bahkan saya sempat menyimpulkan bahwa cara agar nilai profesionalitas dan kekeluargaan bisa berjalan dengan baik adalah dengan.... tidak dimasukkan ke BEM. Ya, tidak usah masuk BEM sekalian!

Seharusnya saya buat saja startup. Sehingga saya bisa mengeluarkan orang yang tidak sevisi dengan saya dengan mudah, dan terus mencari sambil membenahi organisasi yang cukup fleksibel, karena hanya butuh 4-6 orang untuk menjalankan startup yang berhasil. Berbeda dengan BEM dan kepanitiaan yang cukup rigid untuk diganti konsep/SDM-nya di tengah berjalannya program kerja.

Sayangnya, saya sangat sayang dengan BEM. Attachment saya terhadap BEM terlalu kuat sehingga saya tidak bisa meninggalkan BEM yang sudah saya bangun selama dua tahun begitu saja. Saya juga sayang dengan idealisme yang saya pupuk sejak awal saya masuk ke BEM. Untuk apa menjadi anak muda jika tidak punya idealisme? Ya atau tidak? :p

Pada akhirnya, degan segala pertimbangan dari saya pribadi, di akhir tulisan ini saya ingin tetap teguh dengan pendirian saya, bahwa BEM sebetulnya bukanlah tempat untuk belajar. Ya, BEM adalah tempat untuk berkontribusi, pembelajaran yang didapatkan dari BEM hanyalah efek samping yang dihasilkan dari kontribusi itu sendiri. Kita (seharusnya) tidak masuk BEM untuk belajar, kita (seharusnya) masuk BEM untuk berkontribusi dan bekerja. Ya, tujuan utama BEM sudah pasti adalah kerja, kerja, kerja :)

Jadi, untuk anda anak BEM yang masih berpandangan bahwa BEM adalah tempat untuk belajar, tolong jangan me-nomor-dua-kan objektivitas dan kualitas program kerja. Selalu ingatlah bahwa peran ideal kita sebagai mahasiswa yang masuk sebagai pejabat di BEM adalah seharusnya sebagai pelayan sekaligus penggerak civitas dan masyarakat, bukan untuk belajar sistem keorganisasian dan mengasah soft skill!

Demikian, curhatan seorang mahasiswa yang baru jadi Ketua BEM di tahun 2018.

Doakan agar saya berhasil menyeimbangkan task dan people yang kalau kata orang-orang terlalu utopis untuk diwujudkan di BEM. Bagi saya, dua orientasi task & people yang optimal bukanlah hal yang utopis untuk diwujudkan, semoga!

Salam hangat,

Ifandi Khainur Rahim, biasa dipanggil Evan

Ketua BEM F. Psi. UI 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun