Saya dan tim yang berada di top level (level founders) tentunya punya tuntutan dan mimpi, yang ketika hal tersebut dituntut ke orang lain yang punya tuntutan dan mimpi yang berbeda, akan menghasilkan kolaborasi yang kurang pas.
Pada akhirnya, sejauh pengalaman saya menjabat di berbagai tempat, output dari tuntutan tersebut ada dua. Antara 1) Program kerja berjalan dengan sangat baik, namun bawahan menjadi sangat stress dan burnout. Atau 2) Saya harus merelakan tuntutan saya dan membuat bawahan tetap bahagia dan excited berada di BEM karena ekspektasi mereka berada di BEM berbeda dengan saya.
Penyebab yang membuat BEM tidak akan pernah bisa seperti keinginan saya adalah karena pada dasarnya BEM adalah organisasi volunteer. Orang-orang yang berada di BEM bisa menghilang kapan saja tanpa konsekuensi yang berat. BEM bukanlah korporasi yang menggaji mahasiswanya untuk melakukan sesuatu. Mahasiswa yang berperan sebagai pengurus pun tidak punya ketergantungan apa pun (khususnya ketergantungan finansial) terhadap BEM. Sehingga pada akhirnya masalah profesionalisme dan kekeluargaan serta dikotominya menjadi terlalu utopis untuk dijadikan satu.
Meskipun di sisi lain, saya sangat yakin, bahwa dengan cara yang tepat, saya bisa saja mewujudkan BEM yang keren, objektif, dan menghasilkan perubahan nyata, sekaligus tetap menjaga well-being dan excitement bawahan saya sebagai pekerja sosial (baca: volunteer) di BEM.
Lalu, dengan keadaan tersebut, siapa yang salah? Tentu yang salah adalah diri saya sendiri, penanggung jawab utama BEM yang sampai saat ini belum menemukan cara untuk mengoptimalkan tingkat excitement pengurus sekaligus menjaga objektivitas dan kualitas program kerja. Sekarang adalah bagaimana sebagai pemimpin, saya bisa melakukan itu semua sebagai satu kesatuan, tidak terpisah-pisah.
Kalau boleh bercerita, sebetulnya saya pernah berada di dua dikotomi, baik itu tipe person-oriented maupun task-oriented.
Saat memimpin salah satu kepanitiaan yang paling besar di paguyuban Urban UI, yaitu Roadshow Urban Goes to School, saya mencoba tipe kepemimpinan yang person-oriented. Saya mencoba dekat dengan bawahan, merakyat, dan tidak banyak menuntut, dengan dalih ingin membuat mereka berkembang sesuai dengan pace mereka masing-masing, sekaligus juga ingin mendekatkan Urban. Hal ini saya lakukan dikarenakan acara tersebut ibaratkan merupakan perkenalan mahasiswa baru Urban terhadap Urban itu sendiri dan orang-orang di dalamnya.
Lalu, implikasinya bagaimana? Jujur saja, secara objektif kinerja saya sangat amat tidak maksimal. Namun output subjektif dari bawahan setelah mengikuti kepanitiaan? Ternyata outstanding! Saya dianggap bisa mengayomi mereka dengan baik, tetap dekat dengan mereka hingga sekarang, bahkan saya bisa memastikan alasan mengapa kader paguyuban saya tetap ada di tahun 2018 adalah berkat kerja saya saat memimpin RUGTS di tahun 2017. Sayangnya, memang output dari mimpi saya di RUGTS-lah yang menjadi taruhannya saat itu, meskipun memang terjadi perkembangan dibanding kinerja kepanitiaan tahun lalu, sejujurnya ekspektasi saya banyak yang tidak terwujud di tahun saya menjabat sebagai ketua pelaksana.
Di sisi lain, saya pun mencoba hal sebaliknya saat di Dept. Kajian dan Aksi Strategis. Saya mencoba menuntut banyak hal. Mencoba memadatkan seluruh pekerjaan kepada bawahan dan mencoba mewujudkan mimpi saya sebagai Kepala Dept. Kastrat.
Implikasinya? Banyak staf saya yang burnout dengan pekerjaan di Kastrat. Ditambah lagi dengan masalah personal masing-masing staf dan wakil saya yang tidak bisa terkontrol, hal tersebut pada akhirnya membuat hubungan interpersonal (baca: kekeluargaan) dalam departemen menjadi renggang. Akan tetapi, kinerja secara objektifnya bisa dibilang sangat baik, apalagi jika dibandingkan tahun lalu. Saya berhasil meningkatkan output kajian sebanyak 500%, meningkatkan likers dari yang asalnya hanya 20an sampai dengan 100an di media sosial, meningkatkan output diskusi sebanyak 300%, meningkatkan massa aksi secara signifikan (bahkan Fakultas saya sempat membawa massa aksi yang cukup banyak dibandingkan Fakultas lain), sekaligus meningkatkan testimoni di poling yang diisi oleh civitas F. Psi. UI.
Dua pengalaman yang sangat berlawanan tersebut sempat membuat saya skeptis tentang penyatuan nilai kekeluargaan dan profesionalitas. Bahkan saya sempat menyimpulkan bahwa cara agar nilai profesionalitas dan kekeluargaan bisa berjalan dengan baik adalah dengan.... tidak dimasukkan ke BEM. Ya, tidak usah masuk BEM sekalian!