Dear mahasiswa zaman now, kali ini saya ingin menulis kepada anda semua, baik yang pro dan mengikuti aksi maupun yang kontra dengan aksi 20 Oktober. Tulisan saya adalah tentang pergerakan mahasiswa. Sederhana memang, tapi saya rasa ini satu hal yang masih belum dimiliki oleh banyak mahasiswa, mungkin termasuk saya sendiri. Oleh karena ini, tulisan ini sebetulnya bukan hanya sebuah kritik terhadap aksi BEM SI. Akan tetapi kritik juga bagi diri saya sendiri sebagai salah satu aktor pergerakan itu sendiri.
Berbicara tentang pergerakan mahasiswa, sebagai Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis di BEM tingkat fakultas, saya biasa membagi tipe gerakan mahasiswa menjadi dua jenis, yaitu gerakan horizontal dan gerakan vertikal.
Gerakan horizontal adalah gerakan mahasiswa yang fokus dan sasarannya adalah masyarakat secara langsung. Contoh dari gerakan ini misalnya bakti sosial, community development, dan banyak lagi. Sementara itu, gerakan vertikal fokusnya bukanlah ke masyarakat secara langsung, melainkan ke elit politik (pemerintah, presiden, gubernur, DPR, KPK, dsb.). Tujuan dari gerakan ke elit politik ini bermain dalam rekomendasi kebijakan, tekanan dari rakyat untuk melakukan kebijakan tertentu, meminta klarifikasi, mengajukan MoU untuk menyelesaikan suatu permasalahan, dan banyak lagi. Biasanya gerakan ini dimanifestasikan dengan dua cara, yaitu aksi demonstrasi dan audiensi langsung ke pemerintah, yang diakhiri dengan memberikan hasil kajian yang dilakukan mahasiswa.
Padahal, seharusnya gerakan tidak boleh ada yang dianaktirikan atau disepelekan. Tanpa gerakan vertikal, gerakan horizontal tidak akan bisa efektif. Mau sebagus, seefektif dan seefisien apapun mahasiswa melakukan gerakan langsung ke rakyat, selama tidak didukung, atau bahkan dilarang oleh kebijakan pemerintah, gerakan tersebut manfaatnya tidak akan sebesar dan semasif itu. Bayangkan saja, harus berapa community development (yang prosesnya sangat lama),danusan, cari sponsor, yang mahasiswa lakukan tanpa bantuan dari kebijakan pemerintah untuk melakukan perubahan masif? Tentu mahasiswa butuh dukungan, kita butuh dana dan tenaga kerja lain selain mahasiswa dalam membuat perubahan, pastinya hal tersebut berasal dari kebijakan yang diciptakan elit politik.
Begitu pun sebaliknya, tanpa gerakan horizontal, pemerintah tidak akan bisa tahu keadaan lapangan seperti bagaimana. Pemerintah butuh mahasiswa dalam membantu kebijakan mereka, dan memang itulah menurut saya kelebihan dari mahasiswa. Mahasiswa secara konsep seharusnya lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan dengan pemerintah (saya selalu ingat perkataan ini dari Kadept Kastrat BEM F. Psi UI tahun 2015, Ardan Azis, emang keren dia), dekat dengan abang warkop, pemulung yang setiap hari melewati kost, dan keluhan-keluhan mas-mas warteg terhadap pemerintah yang setiap hari kita dengar. Tanpa gerakan horizontal, mahasiswa yang bergerak vertikal pun seakan-akan hanya bisa mengeluh dan memprotes tanpa membuat gerakan konkret. Dan mungkin, inilah yang terlihat di aksi-aksi mahasiswa zaman now.
Oleh karena itu, kritik pertama saya untuk mahasiswa zaman now adalah:
1. Sinergikan gerakan vertikal dan horizontal!
Saya pernah magang di salah satu Startup yang menurut saya menggunakan cara yang cukup keren dalam akuisisi usernya, yaitu RuangGuru.com. Sekarang user mereka sudah jutaan. Ya, startup inilah contoh konkret yang mengajarkan saya sinergi antara gerakan horizontal dan vertikal. RuangGuru melakukan cara horizontal dengan mendatangi secara langsung sekolah-sekolah yang ada di Indo. Akan tetapi, RuangGuru sadar bahwa sekolah di Indonesia ada puluhan ribu, banyak banget!
Tidak bisa didatangi semua sekaligus. Lalu apa yang RuangGuru lakukan? Tentu! Alih-alih melakukan gerakan horizontal ke sekolah-sekolah, mereka lebih baik melakukan audiensi dengan pemerintah di seluruh Indonesia, lewat departemennya yang bernama Government Relation (departemen tempat saya magang). Dan apakah ini efektif? Silahkan lihat saja sendiri hasilnya, sekarang mereka adalah salah satu startup pendidikan terbesar di Indonesia dengan user yang sangat buanyak, padahal baru berdiri tidak lebih dari lima tahun.
Mahasiswa bisa melakukan itu dengan sinergi antara gerakan vertikal dan horizontal. Hal tersebut sudah saya coba lakukan di BEM fakultas dengan cara Psychology Summit. Dengan konsep baru, saat itu PsySummit bisa melakukan gerakan horizontal, yaitu membuat kesadaran sosial tentang kesehatan jiwa sekaligus gerakan vertikal, yakni audiensi langsung dengan Direktur Kesehatan Jiwa di Kemenkes (saya lupa nama lengkap bidang dirjen-nya apa) dan merencanakan kolaborasi lanjutan. Jangan salah, pemerintah sebetulnya sangat welcome dengan inovasi dan gerakan dari mahasiswa. Toh perusahaan swasta seperti RuangGuru saja di-welcome, apalagi mahasiswa.
Mahasiswa zaman now juga harus jeli dalam melihat peluang. Kemenristekdikti setiap tahunnya sebetulnya sudah menciptakan wadah gerakan horizontal dalam bentuk program kreativitas mahasiswa. Bayangkan saja kalau misalnya dana milyaran yang digelintirkan dalam PKM ini dikolaborasikan idenya, tujuannya, dan visinya dengan gerakan vertikal yang dilakukan oleh aktor pergerakan mahasiswa. Tentu hasilnya pasti akan maksimal, dibandingkan dengan gerakan yang terpisah-pisah dan sporadis.
2. Gunakan media sosial dengan baik!
Saya ingat sekali perkataan Mas Gagar, Ketua BEM F. Psi UI tahun 2015. Ia mengatakan bahwa aksi demonstrasi mahasiswa yang berhasil dan efektif adalah aksi yang:
1. Mendapatkan apresiasi positif dari banyak elemen
2. Diliput secara besar di media
3. Membawa massa yang besar
Dan saya setuju dengan pandangannya. Kita para mahasiswa zaman now, selalu mengatakan ketika aksi bahwa kita mewakili rakyat. Realitanya? Apakah benar rakyat merasa diwakili oleh kita? Rakyat yang mana?
Jujur, jarang sekali, atau mungkin bahkan tidak ada aksi demonstrasi mahasiswa yang diliput sekaligus mendapatkan apresiasi positif. Ini sebetulnya menjadi evaluasi bagi mahasiswa-mahasiswa yang melakukan aksi untuk membuat propaganda, yang mungkin bisa membuat orang-orang menganggap bahwa aksi yang mereka lakukan adalah aksi positif. Dan memunculkan image positif, bukan anarkis, tawuran, dsb.
Di sinilah peran anak Humas atau Media. Mereka harus mengerti pola pikir masyarakat mainstream sekaligus pola pikir mahasiswa tukang aksi dan menggabungkannya, untuk menciptakan citra yang positif dan keren. Pertanyaan yang harus dijawab dengan branding di media sosial sebetulnya simpel sekali, bagaimana caranya agar citra aksi dapat terlihat positif? Selama pertanyaan itu belum terjawab, dan 3 syarat aksi yang efektif belum dilaksanakan, tentu aksi tidak akan memberi manfaat besar, dan elit politik pun tidak akan mendapat tekanan dari aksi tersebut. Dampaknya? Lihat saja Jokowi, tidak mau bertemu dengan mahasiswa. Salah siapa aksi kita dianggap negatif sehingga beliau tidak mau bertemu? Kita atau Jokowi?
3. Optimalkan pergerakan di organisasi nasional!
Saya sangat bangga sekali ketika aksi yang dilakukan ILMPI saat hari kesehatan mental sedunia dilakukan di seluruh Indonesia. Dengan mengoptimalkan pergerakan di organisasi nasional, kita bisa membuat banyak perubahan secara masif. Pembagian kerja yang saya lakukan di ILMPI sebetulnya simpel. Pengurus tingkat nasional seperti saya datang ke elit-elit untuk melakukan gerakan vertikal, dan pengurus wilayah diberikan arahan untuk melakukan gerakan horizontal. Apa yang terjadi? Tentu, gerakan masif! Baik secara online maupun offline, dari Sabang sampai Sulawesi (bukan merauke wkwk karena belum terjangkau, semoga tahun depan bisa terjangkau, Aamiin).
Inilah yang saya lihat kurang dilakukan oleh universitas-universitas besar. Menurut saya masih banyak anak univ-univ besar yang merasa arogan untuk bekerja sama. Merasa besar dan tidak membutuhkan massa dari organisasi nasional. Banyak juga yang sudah mencoba bekerja sama namun akhirnya merasa kesulitan dan menyerah, karena (maaf) pola pikir, kegiatan, dan budaya organisasi teman-teman univ-univ kecil yang memang tidak semaju mereka.
Menurut saya, justru univ-univ besar seharusnya mencoba mengembangkan univ-univ yang belum berkembang. Organisasi nasional adalah wadah paling tepat untuk melakukan hal tersebut. Sebagai anggota BEM di univ yang bisa dibilang sudah berkembang, di ILMPI, saya banyak mengajarkan orang-orang tentang pentingnya Kastrat di dalam sebuah lembaga eksekutif maupun organisasi nasional. Memang sih, sulit. Bahkan saya dan ketua BEM saya waktu menjadi delegasi dari UI dalam mengikuti musyawarah nasional saat itu sempat ingin menangis ketika di forum sempat banyak orang dan lembaga yang salah nangkep tentang hal yang kami paparkan, karena yang kami paparkan hanya terjadi di univ kami dan belum terjadi di univ-univ kecil (misalnya pengetahuan tentang kastrat, pergerakan, dsb.).
4. Belajar berempati ke seluruh elemen yang ada di Indonesia!
Sisi baiknya adalah, saya jadi belajar berempati. Baik kepada teman-teman univ lain yang belum seberkembang saya, maupun terhadap pemerintah yang tingkat kepengurusannya lebih besar, yaitu negara Indonesia. Saya jadi lebih skeptis kepada demo-demo yang diadakan oleh mahasiswa zaman now untuk mengevaluasi Jokowi. Saya pikir, "tahu apa kalian mahasiswa zaman now dalam mengurus Indonesia?". Bayangkan ketika Jokowi harus menghandle orang-orang daerah yang mungkin sama sekali tidak pro dan tidak punya pengetahuan yang sama dengannya, dan menjadi pihak yang selalu disalahkan setiap bawahannya melakukan kesalahan. Saya jadi mengerti perasaan dan kerja beliau sebagai orang nasional.
Meskipun seperti apa yang dikatakan Jokowi sendiri, bahwa 'demonstrasi itu penting', tapi jujur saja, saya agak kecewa setelah melihat tuntutan dari aksi BEM SI, selain karena tuntutannya terlalu banyak (sehingga aksinya tidak terfokus -> tidak efektif), juga terdapat tuntutan yang menurut saya seharusnya tidak muncul dari perwakilan mahasiswa se-Indonesia (silahkan nilai sendiri tuntutan yang mana). Lalu yang salah siapa? Well, tidak ada yang salah, mungkin kurang sinergi dan kajian saja.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa saya menghormati pandangan seluruh pihak, baik itu yang pro aksi, kontra aksi, melakukan aksi, maupun tidak. Ini hanyalah kritik pribadi saya terhadap aksi yang seharusnya bisa lebih baik. Perlu disadari juga, meskipun saya mengkritik aksi ini, namun saya juga mengecam terjadinya represifitas terhadap demonstran yang (entah kenapa) sering terjadi di era Jokowi ini. Semoga saja teman-teman mahasiswa yang ditahan bisa segera bebas.
Akhir kata, semoga gerakan mahasiswa bisa lebih berkembang.
"Dua kata satu semangat, Hidup Mahasiswa! Tiga kata satu tujuan, hidup Rakyat Indonesia!"
Sebuah kritik dari Ifandi Khainur Rahim, mahasiswa yang suka ngajak aksi tapi sebetulnya jarang turun di aksinya (yang dia anggap tidak efektif).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H