Minggu, 25 Juni 2017
Berdasarkan kesimpulan yang dibuat oleh Rahim (2017), yaitu diri saya sendiri, teknik menulis itu sebetulnya hanya ada dua. Pertama adalah teknik menulis serius. Kedua adalah teknik menulis bebas, atau biasa disebut sebagai freewriting.
Di dalam teknik menulis serius, biasanya kita membuat outline terlebih dahulu. Namun berbeda dengan teknik menulis serius, freewriting tidak menggunakan oret-oretan atau outline (Nugraha, 2016). Ya, dalam freewriting kita bahkan tidak butuh outline, karena sesuai dengan namanya, menulis bebas memang tentang kebebasan berpendapat. Freewriting adalah seni menumpahkan seluruh pendapat sesuai dengan kehendak hati.
Saya percaya bahwa freewriting merupakan kunci dari menjadi penulis yang handal. Saya setuju dengan Kang Pepih (2016) yang mengatakan bahwa setelah menulis bebas dikuasai, gaya menulis apapun akan datang dengan sendirinya. Memang betul adanya, karena freewriting adalah tingkatan tertinggi dari teknik menulis. Ketika seseorang sudah menguasai freewriting dengan baik, maka bisa dikatakan bahwa orang tersebut adalah penulis.
Menulis bebas bisa bertema apa saja (Nugraha, 2016). Mulai dari tulisan argumentatif, prosa, reflektif, atau gabungan dari semua tema yang kita kehendaki. Itulah keindahan dan kelebihan dari menulis bebas, bahwa tidak ada aturan output daripada menulis bebas itu sendiri. Kita bisa menulis sesuka hati.
Sayangnya, menulis bebas memang tidak diajarkan di sekolah. Di perkuliahan, kita diajarkan untuk membuat outline sebelum menulis. Ketika tidak menggunakan kaidah-kaidah penulisan pada umumnya, khususnya outline, biasanya kita akan dikatakan salah metode. Mau hasilnya bagus ataupun jelek, ya tetap... salah. Padahal cara tersebut menurut saya bukan hanya kaku, namun tidak efektif untuk perkembangan teknik penulisan.
Saya pernah diminta membuat tulisan naratif dalam sebuah kursus menulis. Tulisan saya sempat menjadi salah satu contoh yang dibahas di dalam kelas karena termasuk 3 tulisan terbaik di dalam kursus tersebut. Di akhir kelas, guru kursus tersebut bertanya tentang cara saya menulis dan kapan saya mulai menulis. Saya mengatakan bahwa saya menggunakan teknik freewriting. Ia terkejut, dan berpikir bahwa penulis seharusnya selalu menggunakan outline ketika berlatih. Apa daya, saya hanya terdiam dan berpikir sebaliknya, justru untuk melakukan deliberate practice (silahkan google artinya), penulis harus belajar bagaimana menulis tanpa outline dengan baik. Bukankah begitu?
Saat SMA saya pernah membuat tulisan viral. Isinya sangat jauh dari bagus, bahkan bisa jadi tidak koheren. Terkait tulisan itu, saya banyak diberi apresiasi, sekaligus komentar negatif. Saya tahu tulisan tersebut tidak seilmiah yang saya kira, namun pertanyaannya, mengapa tulisan tersebut diapresiasi? Bahkan oleh alm. Prof. Sarlito sekaligus dimention di Facebook Kang Pepih (Founder Kompasiana) beberapa waktu lalu.Â
Baru saya sadari sekarang, tulisan saya diapresiasi karena tulisan tersebut bisa bercerita dan berkarakter. Ya, bercerita karena mengalir dan membuat pembaca terus-menerus membaca. Berkarakakter karena unik dan mencerminkan kepribadian penulis. Itu adalah karakteristik freewriting. Ini juga yang membuat saya hampir selalu menggunakan teknik freewriting, terutama dalam menulis di proyek pribadi saya, Filosofi Remaja.
Seperti yang saya katakan di paragraf sebelumnya, bahwa memang tidak bisa dipungkiri kelemahan dalam menulis dengan teknik freewriting adalah risiko tidak koherennya paragraf dan tidak validnya isi yang ada karena efek confirmation bias yang terjadi ketika menumpahkan segala pemikiran. Tapi justru yang menarik adalah bahwa itu juga faktor yang membuat freewriting menjadi spesial dan merupakan bentuk katarsis paling orgasmik bagi penulis.
Ya, adalah fakta bahwa kita bisa menulis apapun yang kita mau, di mana kita melepaskan diri dari segala aturan, baik aturan terkait tema, penulisan, atau logika sekalipun, sekaligus membuat tulisan kita seakan-akan cerdas dan logis karena tetap enak dan menggugah emosi ketika dibaca.
Oh iya, saya lupa bilang, tulisan kali ini juga adalah hasil freewriting.Â
Hehe. Cheers!
Ifandi Khainur Rahim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H