oleh Ifandi Khainur Rahim
“Pendidikan tinggi, selain pendidikan wajib 9 (atau 12 tahun di beberapa daerah) adalah semi-public goods. Dalam rapat PPKI pun Soekarno mengatakan bahwa pendidikan dasar lah yang harus diperjuangkan supaya gratis, bukan pendidikan tinggi”. Ini statement yang cukup menarik dari kesaksian panitia pembuat UU Dikti di sidang judicial reviewUU Dikti pada tahun 2012. Menarik karena secara implisit, panitia pembuat UU Dikti sendiri mengatakan bahwa pendidikan tinggi bukanlah hak semua orang. Semi-public goods, toh?
Jika asumsi dasar dari pendidikan tinggi itu sendiri bukanlah hak yang inklusif bagi semua orang, maka runtuhlah argumen semua pihak yang memperjuangkan pendidikan tinggi untuk semua kalangan. Hal ini karena secara mendasar, mereka (re: pencipta UU Dikti) sudah menganggap bahwa pendidikan tinggi bukanlah hak semua orang. Lebih jauh lagi, dari statement tersebut bisa disimpulkan bahwa mereka tidak melihat bahwa setiap manusia berhak atas pendidikan tinggi.
Hal ini menjadi menarik bagi saya. Kalau begitu, maka gerakan mahasiswa yang ngetren saat ini memang sudah miskom dari awal. Miskom karena asumsi dasarnya saja sudah berbeda dengan para stakeholder di sana. Ibaratkan kita berdebat tentang sesuatu yang sama dengan definisi yang berbeda, wajar saja jika argumen mahasiswa tidak nyambung di telinga para pemegang jabatan.
Dari sini saya juga jadi berpikir, jika memang pendidikan tinggi adalah hak semua orang, tentu sistem pendidikan tinggi sekarang harus kita rombak habis-habisan, bukan hanya beberapa pasal di UU Dikti, tapi semuanya.
Dengan pandangan mahasiswa pergerakan yang menganggap bahwa pendidikan tinggi adalah public goods(hak semua orang),maka sistem seleksi masuk perguruan tinggi yang kita pakai sekarang, yakni SNMPTN dan SBMPTN tentu adalah sistem yang cacat. Kenapa? Karena hanya orang-orang yang terpilih yang akan diterima di PTN, khususnya di UI. Artinya, tidak semua orang punya hak untuk berkuliah.
Hal ini tidak bisa kita pungkiri, karena untuk masuk ke perguruan tinggi sendiri kita menggunakan sistem seleksi. Ini berarti hanya orang-orang tertentu, yaitu yang lolos seleksi yang akan diterima berkuliah. Dan orang-orang yang lolos seleksi untuk kuliah ini tentu adalah orang terbaik, sekaligus orang yang paling pintar dari masing-masing daerahnya (dengan asumsi bahwa sistem seleksinya sudah baik tanpa ada lobi-lobi duit di belakangnya). Pendidikan berkualitas dan merata? Hanya mimpi saja itu selama sistemnya masih begini-begini saja.
Saya tidak tahu ini benar atau tidak, tapi hipotesis saya, orang-orang “terpilih” yang diterima berkuliah, berkorelasi positif dengan duit yang mereka punya, pendidikan orang tua, dan kesadaran akan pendidikan. Asumsi ini saya ambil karena saya pikir, orang-orang yang berkuliah di UI dan PTN-PTN terbaik lainnya kebanyakan adalah orang-orang kelas menengah ke atas. Ya, orang-orang ini ikut bimbel, jago bahasa inggris, sering latihan soal, dan berbagai kelebihan fasilitas atau didikan lainnya.
Asumsi begitu juga saya ambil karena faktanya, parkiran di UI makin lama makin sempit dan sulit dicari tempat kosong (?). Eits, kenapa? Sebab saya lihat buanyak sekali mahasiswa yang bawa mobil ke kampus, dan setiap tahun semakin meningkat (asumsi juga sih ini). Akhirnya, implikasi dari banyaknya orang kaya di kampus adalah biaya kuliah yang dinaikkan seenaknya oleh para pejabat. Tidak bisa dibilang salah juga, karena mahasiswa di UI bahkan menurut saya mampu membayar puluhan juta, ke kampus saja pakai mobil! Kalau tidak mampu? Tinggal ajukan BOPB atau kasbon dulu kalau bukan reguler, simpel.
Implikasinya lagi, akhirnya perjuangan mahasiswa akan biaya pendidikan pun sia-sia. Akhirnya mahasiswa-mahasiswi ngehe seperti saya pun memunculkan pertanyaan dan argumen pada mahasiswa pergerakan. “Lo pada berjuang untuk siapa sih? Orang yang kuliah di UI pakai mobil semua, mampu kok bayar, ada BOPB! Kalau pun kuliah akhirnya jadi murah karena kalian, siapa sih yang jadinya bayar murah? Ya orang kaya! Revisi aja tuh UU Dikti dan otonomi keuangannya, tetep aja yang kuliah di UI orang kaya!”. Pertanyaan dan statement ini menurut saya tidak salah, toh kalau tidak mampu, tinggal pakai BOPB (kalau reguler) atau kasbon dulu (kalau non-reguler). Solusi yang simpel dan cukup bisa diterima oleh banyak orang, toh UI sudah berjanji bahwa tidak akan pernah ada mahasiswa yang dikeluarkan karena kesulitan membayar biaya kuliah.
Menelisik lagi hal lain, meskipun kenyataannya banyak orang kaya di UI, pemerintah memang tetap berusaha melindungi hak-hak mereka yang tidak bisa bersaing. Salah satunya kalau tidak salah dengan membuat kebijakan bahwa minimal 20% dari seluruh mahasiswa (tolong koreksi kalau salah) diwajibkan oleh pemerintah harus dari daerah pinggiran dan tidak mampu. Meskipun begitu, tetap saja 20% orang-orang terpilih ini eksklusif, karena 20% ini saya yakin pasti adalah orang-orang yang terbaik dari masing-masing daerahnya. Atas dasar itu, apakah bisa kita mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah hak semua orang? Menurut saya tidak.