Meskipun begitu, di sini justru saya melihat bahwa pergerakan seperti ASA ini sebetulnya dibutuhkan. Pergerakan yang seringkali dianggap ‘kecil’, namun sebetulnya esensial dan dibutuhkan oleh masyarakat. Sesederhana untuk sosialisasi tentang bullying dan pendidikan seksual pada anak.
Ini merupakan sebuah kritik bagi saya dan mungkin kebanyakan mahasiswa lain yang seringkali sibuk sendiri dengan program kerja yang dirasa penting, namun ternyata tidak memberi dampak yang positif bagi masyarakat. Mahasiswa, terutama di kampus saya seringkali menyibukkan diri membangun program kerja seperti seminar, pentas seni, dan sebagainya. Mirisnya, setelah membangun acara tersebut jadi merasa ‘besar’ dan hebat. Jumawa, karena acara yang dibangun mampu terpublikasi ke publik secara masif. Padahal, setelah dilihat lebih lanjut justru acara besar tersebut tidak berdampak atau hanya sedikit dampak positifnya bagi masyarakat.
Mahasiswa sebagai salah satu elemen pelaksana Tridharma Perguruan Tinggi, yang mana salah satunya adalah tentang pengabdian kepada masyarakat tentunya harus melihat pergerakan mahasiswa dari perspektif lain. Perspektif bahwa pergerakan sebetulnya tidak melulu harus melalui cara yang masif dan membawa isu yang populer. Pergerakan ‘kecil’ yang konkret pun sangat dibutuhkan.
Ya, pergerakan-pergerakan kecil yang ‘bergerilya’ ke seluruh elemen masyarakat (khususnya kelas menengah ke bawah) sangat dibutuhkan di Indonesia. Terutama untuk dilakukan secara ‘berjamaah’. Sehingga meskipun efeknya terlihat kecil, namun jika dilakukan berbarengan dan sistematis, saya yakin, dalam jangka panjang, pergerakan-pergerakan kecil ini akan mampu memajukan Indonesia di masa mendatang
Akhir kata, saya ingin sedikit memparafrase kalimat yang diberikan ollen sala satu kakak aktivis yang diundang untuk datang saat kuliah terakhir Psikologi Komunitas:
“Jadilah cacing, yang meskipun tidak terlihat, namun selalu bermanfaat kepada tanah dalam setiap pergerakan kecilnya.”
Ifandi Khainur Rahim
Depok