Kalimat terakhir itu merupakan kalimat penutup pertemuan kami. Setelah pamit, saya langsung pergi ke perpustakaan pusat dan membaca jurnal serta buku pemberiannya.Â
Dan tahukah kamu? Bodohnya saya, sejak pertemuan itu, yang notabene terjadi berbulan-bulan lalu sebelum beliau meninggal. Ajakan penelitian beliau tidak pernah saya follow-up. Komunikasi kami terhenti begitu saja. Saya sibuk menjalankan aktivitas dan dia juga mungkin sibuk menjalankan aktivitasnya.
Sekarang? Rasanya sedih sekali. Saya terpikirkan terus menerus tentang beliau malam ini.Â
"Seharusnya saya follow-up. Seharusnya saya chat beliau. Seharusnya saya datang lagi ke ruangannya. Serta "seharusnya, seharusnya, dan seharusnya" lainnya."Â
Sayang, se-REALITAS-nya, saya telah membuang satu kesempatan, yang mungkin adalah kesempatan paling berharga saya untuk berkontribusi dengan beliau dalam mewujudkan mimpi besarnya.
Ya, akhir dari hidup memang tidak ada yang tahu. Sehingga mungkin ini adalah salah satu pembelajaran terbesar yang saya alami. Bahwa kita tidak boleh menyianyiakan kesempatan untuk berkontribusi, sebab mungkin saja, kesempatan tersebut adalah kesempatan yang terakhir kali diberikan oleh Tuhan kepada kita.Â
Di akhir tulisan ini, saya jadi teringat reff lagu 'alay' yang masih cukup saya sukai sampai sekarang. Yaitu lagu Saat Terakhir-nya ST12. Ya, meskipun saya dan beliau hanya sempat dua jam berbincang, namun rasanya berat sekali untuk melepaskan beliau hari ini untuk selama-lamanya.Â
Selamat jalan, Pak! Akan saya teruskan mimpi bapak untuk menciptakan dunia yang lebih baik.Â
Ifandi Khainur Rahim
November 2016
Malam sunyi, Depok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H