Kuncinya ada di partisipasi publik. Masyarakat harus aware dulu tentang politik, bahwa politik bukan hanya milik kalangan elit parpol, DPR, pemerintah, atau siapapun, tapi politik itu milik rakyat. Pandangan ini bagusnya sudah cukup berkembang dengan adanya istilah “deparpolisasi” di era politik yang penuh dengan korupsi dan kebusukan ini. Ahok yang sebetulnya bisa saja maju lewat parpol, dengan tengilnya dibantu oleh #TemanAhok untuk maju di jalur independen. Seharusnya fenomena ini menyadarkan masyarakat bahwa calon pemimpin (di manapun itu) seharusnya merupakan pilihan rakyat, bukan dibatasi oleh pilihan parpol demi keuntungan pribadi, apalagi pilihan ormas agama.
Perlu diperhatikan bahwa sini bukan 'deparpolisasi'-nya yang saya garisbawahi. Namun masalah pemilihan calonnya. Rakyat seharusnya berpartisipasi aktif dan punya semangat yang membara seperti si teman ahok ini dalam memilih dan mengkritisi calon pemimpin di kotanya masing-masing.
Kembali lagi ke masalah taman, masyarakat juga harusnya sadar, kita juga bisa lho membuat taman dan fasilitas lain yang sesuai dengan kebutuhan, asal kita aware, pinter, dan peduli dengan politik di daerah kita tentunya.
Dengan adanya partisipasi masyarakat, prosedurnya adalah:
- Masyarakat membuat sebuah perkumpulan atau komunitas di kotanya masing-masing,
- Mengajukan proposal terkait fasilitas yang dapat berguna bagi publik.
- Crowdfunding, cari anggaran dananya dari investor atau masyarakat luas. Lebih-kurangnya, ajukan ke pemerintah.
"Dari rakyat. Oleh rakyat. Untuk rakyat.".
Lalu bagaimana jika proposal tersebut tidak digubris, ditolak, dibungkam, dianggap subversif mengganggu keamanan tanpa alasan yang jelas oleh pemerintah? (Thukul, xxxx). Kalau kata Widji Thukul, hanya ada satu kata, lawan. Namun kalau kata saya, semuanya bisa dibicarakan baik-baik dan diekspos transparansinya ke publik. Audiensi elit politik dengan masyarakat bisa menjadi pilihan. Agar jelas mengapa proposal tersebut diterima atau ditolak. Nah, jika proposal ditolak tanpa alasan yang jelas, maka kemungkinannya adalah tiga hal ini:
1. Proposal yang diajukan tidak / kurang strategis bagi kebutuhan masyarakat
2. Pemerintahnya tidak mau membantu karena alasan tertentu (kurangnya dana, SDM, dan lain sebagainya)
3. Pemerintahnya memang goblok dan ingin korupsi sendiri
Di akhir tulisan ini, saya ingin kalian coba membayangkan sesuatu. Bayangkan bagaimana jika masyarakat berpartisipasi seperti itu dalam politik Indonesia. Bayangkan semangat masyarakat ketika mau bergerak saat diperlakukan dengan tidak adil oleh elit-elit politik. Bayangkan jika masyarakatnya sadar akan hak mereka atas kota dan membangun bersama-sama kota-kota di Indonesia secara serempak. Sudah pasti Indonesia akan sedikit demi sedikit mulai berubah menjadi lebih baik.
Tentunya pertama-tama, hal tersebut harus dimulai dari kesadaran akan berpolitik. Mulai dari mengikuti pemilihan umum, kritis terhadap kebijakan elit politik, dan berkontribusi secara optimal sebagai masyarakat.