Mohon tunggu...
Ifan Rikhza Auladi
Ifan Rikhza Auladi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jin Turut Mengamini

7 Maret 2015   16:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:01 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam temaram tak kuasa memejamkan sepasang mata yang sedari tadi dibayangi suasa sendu yang berkelindan dengan pandangan tak bertuan. Diam, sunyi dan kosong. Di tengah mushola pesantren yang tak jauh dari asrama putra, dia menggelar sajadahnya dengan menghadap ke kiblat sambil meletakkan tumpukan “mutiara hikmah” ulama-ulama saleh. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, malam ini tak satupun kitab-kitab tersebut dibukanya. Nampak keputusasaan membayangi perjuangan hidupnya untuk menimba ilmu setelah sekian lama di pesantren. Suara hatinya berkata, “Sudahlah, esok aku akan boyong saja dari pesantren jika hidupku terus-menerus begini.”

Suatu sore selepas mengaji kitab, seperti biasa dia selalu datang lebih awal untuk menata bangku yang dipakai santri mengaji. Tanpa dinyana, Kiai datang lebih awal sebelum santri berdatangan. Hanya Kiai dan santri tersebut dalam satu majelis.

Tak ada percakapan kala menunggu santri yang lain untuk memulai mengaji. Segan, itulah yang dirasakan santri tersebut. Kiai yang seolah tahu kekikukan santri tersebut, mencairkan suasana dengan pertanyaan seputar keluarga santri yang telah dikenalnya. Berawal dari pertanyaan sederhana seputar kondisi keluarga santri hingga Kiai menyadari santri tersebut telah lama bermukim di pesantren. Tanpa dinyana percakapan berlanjut ke pertanyaan yang membuat detak jantung santri tersebut terhentak. Bagaimana tidak? Kiai bertanya siapa santri putri terbaik di pesantren tersebut.

“Kalau itu saya kurang tahu Kiai, saya tidak mengetahui semua santri putri. Saya hanya tahu sebagian kecil saja.”, jawabnya mencoba mengelak.

“Sebagian kecil itu kan juga ada yang terbaik dari mereka. Menurut kamu siapa?”, desak Kiai.

“Saya tidak bisa mengetahui dengan baik, tapi jika Kiai menyuruh saya untuk menjawab atas pertanyaan tersebut. Menurut saya, Shofi adalah santri putri terbaik di pesantren ini.”, jawab santri dengan menundukkan wajahnya. Hati yang dirundung asmara akan bergetar tatkala nama seseorang yang terukir dalam hatinya disebut, dan nama itu disebut sendiri olehnya.

“Oh, sama dengan pandanganku jadinya. Aku hanya coba mencocokkan pendapatku dengan orang lain. Ternyata kita sama.”, Kiai menimpali.

Entah apa maksud Kiai, namun sejak saat itu santri tersebut terlihat sumringah. Ya, manis kebahagiaan nampaknya seperti menghiasi pelupuk matanya. Dengan isyarat Kiai, santri merasa dirinya akan dijodohkan dengan gadis yang memikat hatinya. Sudah menjadi kebiasaan, santri yang telah lama di pesantren akan dijodohkan dengan sesama santri ketika mencapai usia menikah. Kebanyakan dari seniornya yang dijodohkan, bercerita saat mereka ditanya Kiai sebelum dijodohkan dengan pertanyaan yang hampir sama diberikan kepada santri tersebut. Seminggu setelah pertanyaan yang diajukan oleh Kiai, mereka kemudian dijodohkan dengan santri yang mereka sebutkan namanya ketika santri yang dilamar menerimanya. Tak lain karena Kiai mencoba untuk mencocokkan sifat dan tabiat santri yang hendak dijodohkan. “Khidmat akan mendatangkan nikmat”. Begitulah kiranya apa yang ada dibenak santri yang telah mengabdikan dirinya selama sepuluh tahun menjadi santri ndalem dengan tugas memasak nasi untuk santri.

Sehari, dua hari, tiga hari, hingga satu minggu lamanya santri menunggu kabar dari Kiai namun tiada kunjung datang jua. Hingga akhirnya, malang tak bisa di elak. Gadis pilihannya itu ternyata dijodohkan dengan putra Kiai yang baru selesai kuliah di Al-Azhar Mesir, bukan dirinya.

Malam itu dia diam termenung, menyesali apa yang dia lakukan. Menyesali kenapa dia yang menyukai seorang gadis namun tidak berani menyampaikannya, menyesali mengapa dia yang merekomendasikan kepada Kiai, menyesali atas semua yang dia lakukan.

Kesedihan seolah semakin menjadi-jadi saat walimah ursy dia menjadi MC dalam prosesi akad nikah. Alangkah sedihnya ketika dia membacakan susunan acara saat menginjak prosesi akad nikah. Seorang yang dia harapkan untuk menjadi istrinya menjalani akad nikah dengan orang lain di depan matanya.

Tak ada yang terpikir saat ini selain boyong dari pesantren, dia ingin melupakan segala hal yang membayangi dirinya saat ini. Segala kenangan di pesantren dengan bayang-bayang gadis yang disukainya yang kini menjadi menantu Kiai. Dia tidak akan sanggup saat tiap hari bertemu atau sekedar berpapasan dengan gadis tadi.

Di saat santri tersebut termenung, tampak dua sosok makhluk dari bangsa jin yang memperhatikannya. Mereka yang biasanya ikut menyimak santri tersebut, kini diam melihat santri yang paling rajin belajar setiap harinya. Dua jin tersebut menyukai kitab-kitab yang dikaji oleh santri tersebut.Sekalipun santri tidak bisa melihat namun dua jin tersebut sering ikut belajar bersamanya, menelaah kitab-kitab Imam Nawawi, seorang ulama Syafi’iyyah ternama dari negeri Syam (Suriah). Mereka ingin mencontoh segolongan dari bangsa jin di era Imam Nawawi yang ikut mengaji kepada beliau.

Namun sayang, kitab-kitab itu kini ikut pula terdiam. Tak satupun yang terbuka sekalipun telah diletakkan di meja depan santri tersebut.

Bagaimana ini?”,tanya jin pertama cemas.

Aku tidak tahu harus bagaimana, kalau soal asmara aku tidak tahu bagaimana mengatasinya?”, jin kedua belum menemukan solusi atas masalah ini.

Kalau seperti ini terus, dia bisa boyong daripesantren dan semakin sedikit yang mengkaji kitab-kitabulama soleh. Kita sudah terlanjur suka dengan mutholaah dengan santri tersebut. Kalau kita belajar sendiri akan sulit karena keterbatasan kita. Godaan untuk menghabiskan waktu untuk kegiatan sia-sia sangat berat kita tinggalkan. Lihatlah teman-teman kita dari bangsa jin lebih suka menghabiskan waktu untuk urusan dunia mereka daripada mengaji bersama Kiai dan santri.

“Iya, aku tahu resiko itu, tapi bagaimana lagi? Kondisi sudah seperti ini.

Saat mereka turut memikirkan solusi atas apa yang menimpa santri tadi. Satu diantara kedua jin tersebut teringat akan satu hal.

Sebentar, aku ingat satu pesan Imam Nawawi di saat seperti ini.

Benarkah? Apa itu cepat katakan.

Aku lupa kitab danhalamannya.

Bacalah shalawat agar ingat kembali.

Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad, wa ‘ala ali sayyidina Muhammad.”

Beberapa lama kemudian…

Alhamdulillah, sekarang aku ingat. Pesan itu ada dalam kitab yang sekarang ada ditumpukan paling atas, tepat di atas kitab Syarah Shohih Muslim.”, seru jin pertama yang meneliti tumpukan kitab santri.

Harapan yang muncul diantara keduanya seolah pupus ketika menyadari kelemahan mereka. Kelemahan sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan. Keterbatasan yang diciptakan untuk mengingat akan kebesaran Tuhan mereka. Tuhan Semesta Alam. Allah SWT.

Tapi bagaimana kita menyampaikan ke santri itu?”, tanya jin pertama dengan wajah kusam.

Oh iya. Kita tidak bisa menyampaikannya.”, jin kedua menundukkan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa yang kita lakukan sekarang?

Tidak ada jalan lain selain kita berdoa kepada Allah. Mari kita berdoa untuk kebaikan pemuda itu.”

Kedua jin mengangkat tangan. Jin pertama membacakan do’a sedangkan jin kedua mengamininya.

Ya Allah, hanya dengan kemurahan-Mu yang bisa membebaskan Hamba-Mu yang sedang dirundung kesedihan. Ampunilah dosanya, tunjukkanlah dia jalan lurus. Nyalakanlah jiwanya, sebagaimana Engkau menyalakan jiwa orang-orang sholeh yang kitab-kitab mereka sekarang ada di hadapan pemuda itu.”

Allah menunjukkan kebesarannya dengan menghembuskan anginhingga dapat membuka beberapa lembaran kitab yang dimaksud.

Santri tersadardari lamunannya karena hembusan angin yang tiba-tiba datang. Melihat kitabnya terbuka, seketika dia menoleh pada lembaran kitab yang terlihat olehnya. Dibacanya perlahan. Tak ada yang membuatnya begitu sungguh-sungguh membaca karena beban di pikirannya yang masih menggelayut.

Sementara itu jin yang memperhatikan berseru,

Allahu Akbar! Itu bukan halaman yang dimaksud. Masih beberapa puluh halaman lagi untuk sampai bagian yang dimaksud.”

Celaka, tamatlah riwayat santri ‘murid’ Imam Nawawi ini. Besok dia benar-benar akan boyong.

Jangan berkata seperti itu, setiap kata yang terucap adalah doa.

Astaghfirullah.”

“Sebentar. lihat santri itu mulai membuka lagi kitabnya.”, tunjuk jin pertama kepada jin kedua.

Awalnya dia memang kurang tertarik untuk membaca kitabnya. Namun setelah dia melihat kitabnya terbuka dengan sendirinya, dia melihat tanda yang dibuatnya di bagian lain dalam kitab tersebut. Dia kemudian membuka halaman yang dia beri tanda saat mengaji.

Satu kalimat yang tertulis dia baca. Kalimat penjelas dari Kiai atas bagian yang dia rasa perlu memberi catatan tambahan di pinggir kitab.

Ketika seseorang ditimpa kesedihan, hendaklah dia membaca Ya Hayyu Ya Qayyum.

Seketika itu dia tersadar akan kondisi dirinya,

Astaghfirullah... Semoga Allah mengampini dosaku. Aku tidak seharusnya begini.”, gumamnya tanpa mengeluarkan kata-kata.

Santri itu kemudian bangkit untuk mengambil air wudlu. Seluruh badannya tergerak meninggalkan tempat duduknya di saat dinginnya malam mulai merasuk tulang. Seolah semua paku yang menancap di tubuhnya kini hilang seketika.

Selesai wudlu, sajadah dia luruskan. Tubuhnya tegap berdiri menghadap ke kiblat. Kini jiwanya bersiap untuk menemui Sang Pemilik Keagungan.

Allahu Akbar”, bunyi takbiratul ihram terdengar lirih dalam musholla itu. Salat syukur wudlu dua rakaat selalu berusaha diamalkannya kapanpun dan dimanapun berada, sebagaimana sahabat Bilal RA. selalu melakukannya. Salat sunat syukur wudlu dua raka’at, itulah jawaban dari Bilal RA. saat ditanya Rasulullah atas amalan apa yang dilakukannya sehingga Rasul dapat mendengar suara derap langkah Bilal RA. di surga.

Selesai salat dan dilanjutkan dengan membaca Ya Hayyu Ya Qayyum sebanyak seribu kali, santri itu berdoa.

Ya Allah kuatkan hamba atas cobaan ini. Jadikan hamba mencintai Engkau sepenuhnya hingga tidak ada lagi rasa cinta yang lebih besar daripada mencintai Engkau, Ya Allah. Jadikan hamba kuat menjalani cobaan ini agar mampu istiqomah di jalan yang Engkau ridloi, jalan thalabul ilmi. Jadikan hamba ikhlas dalam mencari ilmu hanya karena Engkau, dan bukan untuk mengejar urusan dunia. Jangan jadikan hamba termasuk orang-orang yang dicacat karena mencari ilmu dengan berharap selain ridlo-Mu Ya Allah.

Air mata yang menetes di pangkuan santri itu turut pula diikuti tetesan air mata dua jin yang ikut mengamini doa santri tersebut. Air mata yang khawatir akan dosa karena menuntut ilmu dengan niat untuk mendapat perhatian dan sanjungan manusia.

Malam itu mereka berdoa agar para pencari ilmu tetap sabar dalam menghadapi berbagai cobaan. Cobaan yang tidak jauh lebih hebat dari cobaan yang dialami penduduk negeri Imam Nawawi, Syuriah. Negeri yang saat ini dilanda malapetaka, harkat dan martabat umat Islam terinjak-injak karena keserakahan nafsu kekuasaan segelintir orang.

Selesai berdoa, santri memulai mutholaah kitab nya. Dia berjanji akan terus belajar dengan segala kondisi apapun yang menimpa. Insya Allah.

Istilah pesantren untuk santri yang pulang dan tidak kembali lagi ke pesantren.

Istilah untuk santri yang membantu Kiai mengurus pekerjaan sehari-hari selain mengajar.

Ad-Daqir, Abdul Ghani.(1994). Damsyiq. Al-Imamun Nawawi. Hal. 195-196. Dengan sanad munqathi’.

telaah

An-Nawawi, Imam Abi Zakariyya. (1996). Al-‘Adzkar. Makkah: Nizar Mustofa al-Baz. Hal. 138-139.

Diriwayatkan dari Imam Tirmidzi, dari Anas RA dari Nabi Muhammad SAW, bahwasanya Nabi ketika ditimpa perkara yang membuat sedih beliau berkata: يا حي يا قيوم، برحمتك أستغيث Imam Hakim berkata sanad hadits ini shohih.

An-Nawawi. (tt.). Riyadlu Sholichin. Surabaya: Darul ‘Ilmi. Hal. 469.

An-Nawawi, Imam Abi Zakariyya, As-Subki, Taqiyuddin & Al-Muthi’i, Muhammad Najib. (1980). Kitabul Majmu’ Syarhul Muhadzdzab lisy Syairazi. Jeddah: al-Irsyad. Juz 1. Hal. 46-47.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun