Mohon tunggu...
Ifa Isnaini
Ifa Isnaini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi travelling

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Novel "Harga Seorang Wanita" Karya Ngarto Februana

15 Desember 2022   16:43 Diperbarui: 15 Desember 2022   16:49 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

SINOPSIS NOVEL

HARGA SEORANG WANITA

Pengarang       : Ngarto Februana

Tahun terbit    : 2006

Sumber            : Jakarta: Dastan Books

 

Ini adalah dunia laki-laki. Dunia di mana hak, kebahagiaan, dan juga perempuan adalah milik laki-laki. Ya, perempuan hanyalah sesuatu untuk dimiliki, tanpa hak apa pun, apalagi untuk bahagia.

Dunia seperti itulah yang dihadirkan Februana dalam novelnya ini. sang tokoh perempuan dijual oleh suaminya sendiri untuk dijadikan penjaja cinta. Ya, lelaki yang mencintainya itu terpaksa menjualnya. Namun, bisakah seorang lelaki benar-benar mencintai seorang perempuan? Apakah keterpaksaan sang suami dilandaskan pada cinta? Atau pada ego purba seorang lelaki yang biasa memiliki perempuan sepenuhnya?

Sang tokoh perempuan kemudian diselamatkan dari lembah nista oleh seorang lelaki pelanggannya. Lelaki itu tulus menolongnya, tanpa menuntut macam-macam. Benarkah? Benarkah ada seorang lelaki yang bisa meraba perasaan perempuan? Ikut merasakan penderitaannya? Bisakah ketulusan benar-benar hadir diantara lelaki dan perempuan?

Februana tidak sekadar menyajikan kisah jual-beli perempuan. Novel ini tak akan mudah Anda lupakan, bahkan amat mungkin mengubah hidup Anda. Februana dengan luar biasa menyelam ke kedalaman jiwa-jiwa manusia demi menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Dunia Februana dalam novel ini tak lain merupakan cerminan tegas dari dunia kita. Ya, sadar ataupun tidak, kini kita tengah menghirup udara laki-laki, hidup di dunia laki-laki.

Konsep Gender "Subordinasi"

Dari karya seorang anggota IKAPI, Februana dengan lihai menulis sastra fiksi yang membuat para pembacanya seolah-olah larut dalam fenomena yang dia gambarkan melalui novelnya. Tidak tanggung-tanggung penulis dalam membaca merasakan geram dan larut dalam kesedihan yang dialami tokoh utama dari kisah "Harga Seorang Wanita" yakni Tini. Tini dikisahkan sebagai perempuan desa yang cantik, namun dia tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan yang tinggi sehingga ketika dia dipinang oleh seseorang yang ia cintai dia hanya tunduk dan patuh pada suaminya. Alkisah dari novel Februana ini, penulis akan memetakan sebuah analisis gender mulai dari konsep gender, ketidakadilan yang dialami tokoh Tini, dan berakhir dengan analisis teori.

Mengawali yang pertama yakni konsep gender, berulang kali penulis membaca dan memaknai isi dari novel ini akhirnya penulis memutuskan untuk memilih konsep gender "subordinasi". Sebelum melangkah lebih jauh, penulis akan memaparkan ruang lingkup gender. Bak makan nasi tanpa lauk dan sayur, tak lengkap rasanya apabila belum diberikan penjelasan mengenai ruang lingkup gender dan implikasinya hingga sosok Tini mengalami subordinasi dari suaminya sendiri.

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Mansour Fakih,  2005: 8). Jadi, harus dapat membedakan apa itu seks dan gender. Banyak masyarakat yang belum memahami mengenai definisi seks dan gender, sehingga tak sedikit dari mereka yang salah dalam mendefinisikan antar keduanya. Seks adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang meliputi organ dan hormon. Seks diperoleh individu semenjak dirinya dilahirkan sedangkan gender adalah jenis kelamin secara sosial yakni berupa atribut maskulin maupun feminim. Sudah sangat jelas akan perbedaan antar keduanya mengenai mana yang kodrat (jenis kelamin seperti perempuan yang melahirkan) dan mana yang merupakan bangunan (pandangan) dari masyarakat.

Memperjelas dari pendefinisian sebelumnya, penulis akan memperkuat argumen dengan teori yakni teori nature dan nurture. Nature dapat diartikan sebagai teori yang memandang bahwa perbedaan sifat antar gender tidak terlepas dan ditentukan berdasar perbedaan jenis kelamin (seks), sebaliknya Nurture adalah perbedaan dari sifat maskulin dan feminim yang ditentukan oleh konstruksi sosial dan pengaruh faktor budaya (M. Khuza'i, 2013). Dengan demikian, sudah sangat jelas perbedaan antar keduanya sehingga tidak ada ditemukan kembali bias dari pendefinisian kedua konsep tersebut.

Setelah mengetahui gender dan seks, persoalan yang muncul kembali adalah adanya subordinasi yang dialami perempuan, seperti tergambar pada tokoh Tini.. Dalam Masyarakat memiliki pandangan atas perbedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat tidak hanya dari jenis kelamin saja, melainkan juga berdasar pada peran masing-masing jenis kelamin. Dalam kasus novel ini, Jono dikisahkan sebagai tokoh yang berperan menjadi suami Tini. Bagi penulis, tokoh Jono memiliki karakter sifat yang "superior" sedangkan Tini ditempatkan sebagai "subordinat". Tini harus mendengar berbagai larangan yang ia peroleh dari ibunya dan menerima banyak aturan dari suaminya. Hal tersebut terlihat ketika ibunya melarang dirinya untuk bekerja keluar dari desa dan suami memaksa supaya Tini tetap bekerja sebagai pemenuhan atas janji yang Jono sematkan pada tokoh lain yakni Parman.

Griya Pijat Sehat Nikmat menjadi saksi bisu atas subordinasi yang dialami Tini dan menjadi titik pangkal terjadinya ketidakadilan gender. Penomorduaan terjadi akibat dari segala sesuatu dipandang berasal dari sudut pandang laki-laki, sehingga perempuan ditempatkan pada posisi kedua (Imam Syafe'i, 2015: 146). Berawal dari Parangkusumo hingga pada akhirnya Jono memutuskan untuk meminjam uang kepada Parman yang tidak lain adalah memiliki riwayat pernah mencintai Tini dan gagal untuk memilikinya. Kesepakatan yang diperoleh Jono atas uang dari Parman adalah melalui Tini. Tini sebagai penebus uang pinjaman dengan menjadi pekerja di Griya Pijat Sehat Nikmat (pijat plus-plus) selama lima tahun.

Perilaku setiap individu tidak akan pernah terlepas dari pengawasan masyarakat. Hal serupa juga dialami Jono, dia mengalami dilema atas  persetujuan tersebut. Apabila Tini bersedia untuk bekerja, maka dirinya harus menyiapkan diri untuk memberikan alasan (jawaban) apabila suatu saat ditanya orang tua maupun tetangga mengenai pekerjaan istrinya. Di sisi lain, Jono juga harus mengikhlaskan apabila dirinya tidak mendapat pelayanan dari Tini dan Tini tidak lagi menjadi ibu yang seutuhnya mengasuh anak mereka (Murti). Melihat kasus diatas anggapan "Swarga Nunut Neraka Katut" sepertinya tidak lagi berlaku bagi keluarga Tini dan Jono. Tini yang pada akhirnya memenuhi permintaan suami karena itulah satu-satunya jalan yang dipilih suaminya sebagai penebus hutang, kini menjadi perempuan yang memiliki karier (pekerja pijat plus/seks) lebih bagus dari Jono.

Seharusnya, sebagai seorang kepala keluarga, Jono-lah yang memikirkan bagaimana dapat membayar lunas hutang mereka bukan justru secara terang-terangan menjadinya (menjual) istrinya sebagai pelacur. Karena tidak dapat memenuhi perannya sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah. Tini yang sebelumnya bekerja di ranah domestik, akhirnya keluar dan bekerja di sektor publik. Sangat disayangkan bagi tokoh Tini, dirinya harus merelakan untuk menyerahkan segala daya dan tubuhnya bagi para pelanggannya sebagai wujud dirinya telah bekerja. Selain menjadi perempuan pekerja (seksual) Tini juga masih tetap memenuhi kewajibannya sebagai ibu, meskipun dirinya hanya diberi waktu satu minggu sekali bahkan tak jarang satu bulan sekali untuk menemui keluarga di rumah.

Hal demikian menandakan bahwa Tini berada pada posisi double moral yakni sebagai perempuan dirinya tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu, namun di sisi lain dirinya melakukan penyelewengan yang melanggar norma dalam masyarakat (Yuarsi dalam Irwan Abdullah [Ed], 2003). Perempuan akan sangat dicela baik oleh laki-laki atau perempuan jika melakukan penyelewengan. Apalagi sudah jelas bahwa dirinya terjerumus pada jebakan yang sebenarnya adalah perbuatan suaminya untuk menjadi pelacur. Pada nantinya cap terburuk akan diperoleh Tini dan akan dianggap sebagai sampah masyarakat.

Abdul Haris dalam Irwan Abdullah [Ed] (2003: 182) menyatakan bahwa masalah keterlibatan perempuan dalam dunia kerja akan menimbulkan persoalan pelik. Munculnya berbagai masalah baru seperti diskriminasi, pelecehan seksual, dan kekerasan merupakan risiko yang dihadapi Tini karena keterlibatannya. Risiko lain yang timbul adalah terjadinya konflik yang menyangkut keterlibatan perempuan di luar keluarga. Persoalan tanggung jawab Tini menjadi suatu dilema budaya yang harus dilakoni. Perempuan secara kultural berada di antara dua pilihan yakni tetap berada di dalam sistem atau sebaliknya keluar dari sistem dan menyerahkan tanggung jawab domestik kepada pihak ketiga, seperti halnya ibu Tini yang mengasuh Murti.

Berpijak dari kasus Tini dan Jono, Tini di hadapkan pada kekerasan dan diskriminasi secara verbal, dimana dirinya tidak dilibatkan dalam persetujuan antara Jono dan Parman sehingga secara tiba-tiba dia harus menerima keputusan yang telah suaminya sepakati sebelumnya dengan Parman. Ironis sekali, sebagai perempuan yang tidak berdaya dan tidak berani untuk melaporkan atas kejahatan dari suaminya. Tinipun mengalami pelecehan dari Parman dan semua itu terbalut pada ancaman-ancaman yang sengaja dibuat agar Tini tetap tunduk dan patuh.

Seperti yang diceritakan oleh Februana pada bagian akhir, Tini mengalami kekerasan yang dilakukan oleh istri Parman karena mereka terpergok bahwa Parman mencoba melakukan pemerkosaan kepada Tini. Kekerasan yang di alami Tini adalah kekerasan fisik berupa bekas cakaran di muka dan kekerasan seksual. Dengan kata lain, laki-laki telah mereproduksi ketimpangan gender dengan melihat perempuan lebih sebagai "pendatang" atau "pelengkap", bukan sebagai mitra kerja. Kekerasan dan pelecehan seksual terhadap Tini dalam dunia kerja menunjukkan penolakan dan menegaskan kontinuitas ideologi familiarisme di luar rumah tangga (Irwan Abdullah, 2003: 17).

Dari fenomena tersebut keterlibatan lembaga sosial dan hukum belum secara langsung terlibat dalam mengatasi tekanan dan kesewenangan yang dialami Tini. Perluasan atas ideologi familiarisme membuat perempuan sebagai the second sex dan membentuk wacana seperti tindakan kekerasan yang dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan (Irwan Abdullah, 2003: 17-18). Dapat diketahui bahwa Tini mengalami kekerasan secara seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004, bahwa suaminya secara terang-terangan memaksa dirinya menjadi tukang pijat (pelacur). Hal tersebut merupakan pengisolasian isteri dari kebutuhan batinnya (Imam Syafe'i, 2015: 154).

Gambaran kasus di atas merupakan bagian kecil dari sekian banyak kasus subordinasi yang dialami perempuan dalam rumah tangga. Apalagi melihat latar belakang dari keluarga Tini dan Jono yang menganut budaya patriarki yang telah mengakar akan sangat sulit untuk mengubah jika dirinya harus melawan atau keluar dari sistem yang mengikat secara tidak adil tersebut. Sikap kesewenang-wenangan Jono terhadap Tini ditunjukkan dengan perilaku yang tidak melibatkan Tini dalam pengambilan keputusan. Hal yang ditimbulkan adalah perampasan hak, eksploitasi, penyiksaan nonfisik yakni dengan berkata kasar, membentak, dan menyuruh untuk menjadi pekerja seksual dengan embel-embel tukang pijat serta hilangnya nilai keadilan dan hak-hak perempuan untuk menikmati hidup sebagaimana individu yang lain (merdeka).

Subordinasi yang menimbulkan ketidakadilan tersebut terlukis pada kasus Tini dan Jono dengan bentuk subordinasi faham patriarki absolut, Faham tersebut terlihat bahwa terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan Jono kepada Tini. Hal demikian menunjukkan jika laki-laki memiliki kekuasaan mutlak dalam rumah tangga. Sehingga tidak ada celah bagi perempuan untuk mengekspresikan diri kecuali apa yang telah ditentukan atau atas izin dari suami. Implikasi yang kemudian dirasakan oleh Tini adalah matinya tanggungjawab Jono sebagai suami yang seharusnya berkewajiban mencari nafkah dan melunasi hutang, malah dengan ikhlas hati Tini diserahkan sebagai bentuk pelunas hutang dengan Parman.

Analisis Teori "Feminisme Radikal"

Kasus pada novel yang di karang oleh Februana ini sangat mengena bagi penulis, apalagi ketika pada bagian ketidakadilan gender yang dirasakan sosok Tini sebagai istri yang harus manut dan tunduk pada suami, akan tetapi tidak mendapat balasan yang sebagaimana mestinya diperoleh. Oleh karena itu, dari novel tersebut penulis memfokuskan pada analisis teori Feminisme Radikal. Feminisme radikal adalah suatu teori yang mempunyai dasar pemikiran bahwa pada sistem gender merupakan dasar dari penindasan terhadap kaum perempuan (Akhyar Yusuf Lubis, 2016: 103). Menurut Kate Millett dalam Amalia Puspa Khoirunnisa (2014) memandang bahwa feminisme radikal adalah hasil dari sistem universal patriarki. Sistem tersebut diciptakan oleh laki-laki dengan tujuan mengembalikan kembali kekuasaan laki-laki dan subordinasi perempuan.

Berdasarkan uraian diatas, menandakan jika perempuan selalu berada pada posisi subordinat dan mengalami inferioritas diri. Fenomena tersebut terkonsep dalam teori ini yang memusatkan permasalahan pada kondisi biologis perempuan dan digambarkan bahwa perempuan adalah objek seks dan alat reproduksi (Amalia Puspa Khoirunnisa, 2014: 4). Hal tersebut terlukis pada Parman yang masih mencintai Tini dan memiliki hasrat untuk menjadikan Tini sebagai pemuas nafsunya.

Di sisi lain, tidak hanya pada kasus Parman saja, namun salah satu pelanggan Tini di Griya Pijat Sehat Nikmat yakni tokoh Andi juga menginginkan Tini sebagai gundik pemuas nafsunya. Kendati demikian, yang menjadi keanehan bagi penulis adalah bahwa Tini merelakan dirinya sebagai pemuas nafsu Andi dan tidak untuk orang lain. Keanehan yang dialami penulis terjawab pada beberapa bagian dalam novel yang menjelaskan bahwa niat baik dari tokoh Andi adalah membebaskan Tini dari pekerjaan tersebut dengan berpindah ke pekerjaan lain yakni menjadi pembantu atau pelayan toko. Iming-iming yang diberikan Andi pada akhirnya diterima oleh Tini, meskipun dirinya harus menjadi pemuas nafsu Andi tapi hal tersebut tidak menjadi persoalan bagi Tini karena dirinyapun menyukai hal tersebut.

Melihat tawaran Andi pada Tini sudah sangat jelas dengan isu yang terjadi pada feminisme radikal ini, bahwa perempuan hanyalah objek seks dan alat reproduksi bagi laki-laki. Selain itu, konsep feminisme radikal melihat tubuh dan seksualitas memegang esensi sangat penting terkait dengan pemahaman bahwa penindasan dimulai adanya dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup privat (Fajar Apriani, 2013). Akibat dari perjanjian hutang yang dilakukan oleh Jono dan Parman selain berimplikasi pada ketidakdilan dan eksploitasi bagi Tini, Tini juga kehilangan cinta kepada Jono. Hilangnya perasaan Tini kepada Jono berdampak pada tidak harmonisnya hubungan rumah tangga mereka.

Kasus yang diceritakan oleh Februana adalah contoh kasus yang banyak berkembang di masyarakat, dimana merupakan gambaran subordinasi perempuan dalam sistem patriarki di Indonesia. Perempuan menjadi objek kekerasan, objek seksual, dan objek reproduksi dalam hubungan interpersonal dengan laki-laki. Hal tersebut akibat dari perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan yang telah di konstruksikan masyarakat. Sebagaimana yang terpancar pada kasus di atas bahwa Tini menyadari betul inferioritas dirinya yang pada akhirnya tunduk pada budaya patriarki, dirinya juga harus menanggung berbagai macam dominasi kesewenang-wenangan baik dari suaminya, Parman, dan Andi.

Penulis melihat bahwa seharusnya Tini dapat memperjuangkan hak dan kewajibannya sebagai perempuan, istri, dan ibu tanpa membedakan gender. Pada dasarnya kesetaraan bukan saja milik laki-laki namun juga perempuan. Mengingat Tini sebagai perempuan dianggap tidak penting dalam setiap perencanaan dalam proses menjalani kehidupan bersama suami. Seharusnya sebagai sepasang suami istri, Tini harus selalu dilibatkan bukan justru mengukung budaya patriarki yang berdampak langsung pada ketidakadilan gender bagi perempuan. Karena akar dari ketidakadilan yang terjadi pada novel ini adalah rendahnya partisipasi perempuan baik diranah privat yakni rumah tangga dan ranah publik yakni dunia kerja.

Daftar Referensi

 

Abdullah, Irwan (Ed). 2003. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Apriani, Fajar. 2013. Berbagai Pandangan Mengenai Gender dan Feminisme. Portal Fisip Universitas Mulawarman.

Fakih, Mansour. 2005. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Februana, Ngarto. 2006. Harga Seorang Wanita. Jakarta: Dastan Books

Khoirunnisa, Amalia Puspa. 2014. Kejahatan Pada Perempuan-Kajian Wacana Feminisme Radikal Pada Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Makalah Non Seminar. FISIP UI.

Khuza'i, M. 2013. Problem Definisi Gender: Kajian atas Konsep Nature dan Nurture. Kalimah. Volume 11. Nomor 1.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2016. Pemikiran Kritis Kontemporer dari Teori Kritis, Culture Studies, Feminisme, Postkolonial Hingga Multikulturalisme. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Syafe'i, Imam. 2015. Subordinasi Perempuan dan Implikasinya Terhadap Rumah Tangga. Analisis. Volume 15. Nomor 1.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun