Sepuluh tahun lebih menjadi seorang guru honorer, menjadikan saya sangat memahami persoalan-persoalan yang dirasakan saat menjadi seorang pendidik dengan status honorer.Â
Meski kini saya sudah menjadi ASN PPPK namun kekhawatiran terhadap teman-teman honorer masih mengiris pilu hati saya. Menjadi seorang guru mungkin merupakan panggilan jiwa bagi seseorang, sehingga tidaklah heran jika ada guru honorer yang mampu bertahan mengajar selama belasan tahun, bahkan puluhan tahun dengan gaji yang sangat minim.
Tidak mudah memang menjadi seorang guru honorer dengan gaji yang kecil jangankan untuk memenuhi kebutuhan di dalam rumah tangga untuk uang transport kesekolah saja hampir tidak mencukupi. Sehingga tidak heran jika ada banyak guru honorer yang mencari kerja tambahan diluar demi memenuhi kebutuhannya.
Di Indonesia Penghargaan terhadap guru memang terasa sangat kurang. Kesenjangan antara guru PNS dan honorer jelas terlihat. Namun disisi tanggung jawab guru honorer memiliki tanggung jawab yang sama dengan guru PNS.Â
Contohnya di sekolah Dasar antara honorer dan PNS tidak ada perbedaan waktu untuk hadir kesekolah. Guru honorer juga wajib hadir setiap hari dan mengampu pembelajaran dengan jam yang sama  sebagaimana guru PNS.
Berdalih memenuhi kebutuhan guru, para honorer ini terus bekerja memenuhi kebutuhan disekolah. Terkadang terdengar celotehan teman-teman bahwa guru honorer hanya sebagai pelengkap derita saja.Â
Mungkin ada benarnya saat dibutuhkan guru honorer di pekerjakan dan ketika ada guru baru  masuk dengan status PNS atau PPPK maka guru honorer harus rela menyingkir.
Pemerintah memang berupaya melakukan pengangkatan guru dengan status PPPK. Namun sepertinya tata cara perekrutan terkadang terkesan kurang konsisten.Â
Dari sejak awal perekrutan selalu adahal tidak terduga yang membuat beberapa honorer salah menentukan langkah dan strategi. Contohnya pada tahap awal perekrutan di sekolah yang dituju hanya diperuntukkan untuk sekolah induk namun hal ini tidak disosialisasikan secara matang sehingga beberapa teman salah mengambil langkah dan harus kalah bersaing dengan guru di sekolah induk bahkan ketika guru disekolah induk tidak lulus mereka yang lulus bukan sekolah induk tetap tidak dapat menduduki kuotanya.
Meskipun di tahap dua  diantara mereka  akhirnya bisa melakukan pendaftaran kembali bahkan untuk yang  lulus mendapat prioritas. Namun masih saja menyisakan masalah. Â