Adat Istiadat Aceh Tamiang
Aceh dalam keyakinan masyrakatnya adalah merupakan suatu bangsa bukan suku. Sebab pada Realitanya di wilayah aceh terdapat Beragam etnik yaitu etnik Aceh, Aneuk Jamee, Gayo, Tamiang, Alas, Kleut, Davayan si gulai, dan singkil. Etnik yang beragam ini memiliki kekhasan bahasa dan adat istiadat. Bahasa dan adat istiadat beragam etnik di Aceh ini berbeda antara satu dan lainnya.Â
Dipandang dari bentuk fisik dan budaya Aceh Tamiang. Etnik Tamiang lebih di dominasi oleh suku melayu. Bahasa yang di gunakan pun mirip dengan bahasa melayu yang di gunakan oleh masyarakat melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Palembang, dan melayu Malaysia.Â
Sebutan untuk  raja antara suku Tamiang dan Aceh juga berbeda. Orang Tamiang menyebut keturunan raja dengan sebutan Tengku, sedangkan orang Aceh menyebut nya dengan Teuku. Bagi orang Aceh Tengku adalah sebutan bagi para guru atau ulama bukan keturunan raja.
Selain bahasa, Pakaian adat, lagu dan tarian Aceh Tamiang juga memiliki perbedaan. Berikut beberapa rangkuman Adat dan Budaya yang tumbuh kembang di Tanah Aceh Tamiang.
Rumah Adat Etnik Tamiang di Aceh hampir sama dengan rumah tradisional masyarakat melayu. Rumah adat Aceh Tamiang berbentuk panggung bertiang empat segi, banyak tiang rumah induk 9 atau 12 tiang. Berhubungan panjang agak sedikit melengkung ke tengah, Â dan bubungan dapur agak terpisah, sedikit lebih rendah dari rumah induk.
Tinggi Rumah induk Sekerujoung (sepanjang jangkauan orang dewasa. Atau bertangga tujuh. Manju(teras), serambi muka dapur tingginya separas, lebih rendah 30 cm dari dari rumah induk. Â Biasanya rumah di usahakan menghadap kearah barat. Jika rumah berada di pinggir sungai maka rumah menghadap kearah sungai karena ada pamali (tabu) bagi perkauman Tamiang kalau rumahnya melintang sungai.
Seperti Rumah adat lainnya Rumah adat Tamiang juga memiliki kekhasan  dalam bentuk ukiran (relief). Pemberian relief ataupun lukisan hanya dibuat pada pe miping (penahan angin) dan papan yang membatasai tinggi antara serambi dengan rumah induk.
Jenis ukiran yang di jumpai pada rumah adat Tamiang adalah berbentuk daun-daun kayu, bunga ataupun sejenis akar-akaran yang merambat. Jenis lainnya berupa ukiran simetris yang saling sambung dinamakan "awan berarak"
Salah satu kemiripan dengan rumah adat Aceh di rumah adat Tamiang juga memiliki lesung kaki maupun lesung tangan yang terdapat di bawah rumah. Lesung ini di gunakan sebagai alat untuk para dara menumbuk padi. Sedangkan kandang ternak di letakkan jauh di belakang rumah. Seiring perkembangan zaman model rumah Tamiang ini nyaris hilang, akibat dari terjadinya globalisasi. Masuknya budaya luar menyebabkan banyak perubahan dalam bentuk rumah masyarakat Aceh Tamiang.Â
Pakaian Adat Tamiang
Pakaian Tradisional Tamiang yang kini sering di tampilkan pada acara adat perkawinan telah banyak mengalami modifikasi. Sehingga terkadang menutupi  ciri asliannya. Sangat di sayangkan jika identitas ciri leluhur Tamiang hilang begitu saja. Meskipun kita berada pada masa zaman yang serba modern, namun kehidupan masa lalu adalah jati diri yang tidak boleh di lupakan begitu saja. Agar generasi masa kini tidak mudah terbawa arus budaya luar yang terkadang jauh dari syariat agama.
Dalam penggunaan pakaian Tradisional kelompok etnis Tamiang sesungguhnya tidak ada perbedaan antara pakaian sehari-hari dengan pakain adat resmi. Perbedaan hanya terdapat pada perlengkapan dan cara memakainya.
Bagi anak laki-laki tampil dalam bentuk pakaian tradisional ia memakai celana baju dan daster. Mereka memakai celana (seluar) yang berukuran panjang, baju teluk belanga, kain samping(kain sarung) serta memakai daster atau (tengkulok) bentuk anak-anak berbeda dengan yang di pakai oleh orang dewasa. Bagi anak-anak dasternya tidak begitu runcing dan juga ada sedikit tekuk. Selain itu bagi pakaian anak-anak tidak memakai ikat pinggang.
Pakaian yang di kenakan oleh pemuda dan orang tua etnik Tamiang mempunyai bentuk yang sama dengan pakaian anak-anak. Mereka memakai celana (seluar) yang berukuran panjang agak longgar, dengan pinggang besar , begitu juga paha dan kaki lebih longgar.
Baju yang di kenakan berbentuk teluk belanga mempunyai ciri leher kerah bulat (kecak musang) berbadan longgar serta tangan panjang dan longgar. Setelah memakai celana dan baju selanjutnya dilapisi dengan kain sarung yang di gulung setinggi lutut.
Tata cara pemakaian kain di sesuaikan dengan status sosial. Untuk golongan para raja dan datuk-datuk  memakai kain samping tingginya sampai lutut. Sedangkan bagi rakyat biasa tinggi kain samping hingga batas betis.
Perlengkapan lainnya yang di gunakan adalah berupa aksesoris tali pinggang  diatas pulungan kain samping dan di lengkapi sebuah senjata tradisinal Tamiang yang bernama Tumbuk lada.
Tumbuk lada ini sejenis pisau dengan gagang bermotif kepala burung atau di sebut juga dengan lekuk segi enam. Daster dan tengkulok adalah bagian akhir dari pakaian yang di pakai di kepala. Dsater setelah di bentuk menjadi runcing keatas.
Apabila seseorang ingin menghadiri acara adat penggunaan kain sarung di lipit tapi dalam penggunaan sehari-hari kain sarung di gulung atau di lipat. Pada masa lampau biasanya kain di beri sulaman atau hiasan seroji dengan motif awan berarak atau pucuk rebung (tumpal) kain tersebut merupakan kain tekat(kain songket). Bagi bangsawan pada kaki celana bertekat(sulaman). Motif awan berararak kini dalam upaya pelestaraian yang dipelopori oleh Dr. Syntia. S.T, MM Selaku ketua Dekranasda Aceh Tamiang. Upaya pelestaraian dilaksanakan dengan cara melakukan pameran-pameran, peragaan/demontrasi, selebaran, poster, majalah, internet.Â
Pakaian bagi wanita anak-anak maupun dewasa pada prinsipnya mereka mengenakan busana yang sama yaitu baju panjang, kain, dan selendang. Perlengkapan aksesoris pakaian wanita perhiasan, perhiasan seperti; mahkota, kembang goyang, atau sanggul goyang, bros, kalung dll sebagai pekengkap.
Tidak hanya bentuk pakaian yang menjadi kekhasan dari pakaian adat Tamiang. Warna juga memiliki makna tersendiri bagi para pemakainya. Penggunaan pakaian warna kuning di peruntukkan untuk kaum para bangsawan atau raja-raja. Sedangkan warna hitam di peruntukkan untuk para datuk-datuk. Untuk rakyat biasa menggunakan pakaian yang di gunakan adalah pakaian bewarna selain kuning dan hitam.Â
Seni Tari Tamiang
Setiap daerah memiliki kehasan seni tari tersendiri. Pada masa tempo dulu masyarakat juga sudah mengenal seni tari. Terbukti adanya warisan leluhur seni tari ula-ula lembing. Ula --ula lembing dadalah seni tari berasal dari pesisir tamiang. Tarian ini mengisahkan tentang legenda cinta. Yaitu cinta seorang Pangeran yang terhalang restu orang tua dan rakyatnya karena sang gadis adalah rakyat biasa.
Karena Cinta yang begitu kuat pangeran menempuh berbagai cara untuk bertemu dengan pujaan hatinya  termasuk berubah menjadi seekor ular.
Tari ula--ula lembing merupakan tari drama bermusik yang diiringi lagu berbahasa Tamiang. Sesuai namanya tari ini menggambarkan kelincahan seekor ular adapun arti lembing adalah tombak yang melambangkan kekuasaan.Â
Tarian Ula --ula lembing  bisanya di tarikan oleh laki-laki ataupun perempuan jumlah penari biasanya 12 orang atau lebih. Dengan menggunakan pakaian adat  tamiang.
Lirik Lagu Ula-ula lembing.
AssalamualaikumÂ
Kami Ucapkan
Kepada Hadirin Yang kami muliakan
Kami angkat sepuluh jari
Mengisi sembah dan Syukur Kami
Kepada tuhan ilahi rabbi salawat salam kepada nabi.
Ula-ula lembing
Tetedung awan-awan
Yang mane ku patokeÂ
Yang puteh pononje
Cepat dalam hati
Cepat dalam bulanÂ
Belajar tiga tae
Tujuh jari punye
Ula-ula lembing
Tetedung awan-awan
Yang mano ku patokeÂ
Yang puteh pononje
Kayoh maidah kayoh
Kayoh rame-rame
Singgah usah singgah tepian belum sampe
La..la..la..la...la... 2x
La...la..la...la..la...
Kayoh maidah kayoh kayoh laju-laju
Singgah-maidah singgahÂ
Disini kita bertemu
La..la..la...la...la...
La...la...la...la...la...
Ula-ula lembing
Tetedung awan-awan
Yang mano ku patokeÂ
Yang puteh pononje
Puku-puku pangke
Lang betanye-betanye jalan-jalan kemane-jalan kemane
Ande tanyeken
Jalan-kami-jalan kami
Kegudang bading
Nak diambil nak diambil kegudang gading
Laju bubu-laju bubu
Teriang kembang di jalan
Lok bubu lok tempirang
Kelua jangan bercerai-berai
Padu kaseh kate berturai
Sepanjang mase jangan bercerai
Ula-ula lembingÂ
tetedung awan-awan Â
Ntah mane ku patokeÂ
ntah puteh panonye
Sumber :
Lintas Sejarah Tamiang (Muntasir Wan Diman)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI