Mohon tunggu...
ifahlatifah
ifahlatifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Hobi meluapkan isi kepala melalui tulisan dan konten di instagram

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Nikah Muda atau Ngejar Karier, Gen Z di Persimpangan Jalan

16 Desember 2024   11:57 Diperbarui: 18 Desember 2024   21:16 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi Z, dengan dinamika hidupnya yang unik, membawa angin segar dalam memandang konsep pernikahan. Di tengah arus modernitas, pernikahan tak lagi sekadar tradisi atau tekanan sosial, melainkan pilihan hidup yang dipengaruhi oleh pertimbangan matang, baik emosional, ekonomi, maupun pengalaman masa lalu.

Data statistik menunjukkan bahwa angka pernikahan di Indonesia memang masih tinggi, namun angka perceraian juga mencengangkan. Pada tahun 2022, tercatat 1,7 juta pernikahan, namun diiringi 516 ribu kasus perceraian. Meskipun angka perceraian sedikit menurun pada 2023 menjadi 463 ribu, hal ini tetap menjadi alarm bagi ketahanan rumah tangga. Faktor utama perceraian adalah perselisihan (251 ribu kasus) dan masalah ekonomi (108 ribu kasus). Realitas ini memicu keraguan di kalangan Gen Z terhadap pernikahan.

Perempuan modern, khususnya Gen Z, cenderung menunda pernikahan untuk fokus pada pendidikan dan karier. Drajat Tri Kartono, sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, menjelaskan bahwa perempuan modern merasa pernikahan membatasi otonomi mereka. "Pernikahan seringkali menghalangi perempuan untuk mengelola waktu dan keuangannya sendiri, sehingga mereka lebih nyaman hidup mandiri dan membangun kemandirian," ungkapnya kepada Kompas.

Perubahan ekonomi di Indonesia juga mendukung tren ini. Peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) membuka peluang bagi perempuan untuk mengakses pendidikan tinggi dan pekerjaan yang mapan. Dengan demikian, mereka merasa tidak terburu-buru untuk menikah, karena prioritas utama adalah stabilitas ekonomi pribadi.

Di sisi lain, sebagian Gen Z tetap memilih menikah muda, terutama demi menghindari zina sesuai ajaran agama. Survei Populix menunjukkan bahwa agama menjadi faktor utama di balik keputusan menikah muda. Namun, pandangan ini juga mendapat kritik. Psikolog Ayoe Sutomo menekankan bahwa kesiapan emosional dan finansial menjadi hal yang mutlak sebelum memasuki pernikahan. "Tanpa kesiapan ini, risiko konflik rumah tangga hingga perceraian menjadi lebih besar," jelasnya.

Ketua PKBI Bali dan dosen Universitas Udayana, Oka Negara, menambahkan bahwa pernikahan dini seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang. Ia juga mengemukakan bahwa pengalaman traumatis, seperti tumbuh dalam keluarga broken home atau yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), menjadi alasan utama mengapa sebagian Gen Z menghindari pernikahan. "Permasalahan personal semacam ini membentuk sikap negatif terhadap pernikahan, bahkan sejak usia dini," tuturnya dalam wawancara dengan RRI.

Tingginya angka perceraian di Indonesia menjadi peringatan bagi masyarakat, terutama perempuan, untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan menikah. Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin, bahkan mengingatkan bahwa penundaan pernikahan yang terlalu lama dapat berdampak pada struktur demografi Indonesia. "Jika pernikahan terus ditunda, jumlah penduduk produktif akan berkurang. Kita menghadapi risiko proporsi penduduk tua yang tinggi, sementara generasi muda yang produktif menurun," ujarnya dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.

Dilema antara menikah muda atau menunda pernikahan mencerminkan dinamika sosial yang semakin kompleks. Di satu sisi, ada dorongan moral dan agama untuk menikah muda, tetapi di sisi lain, realitas kehidupan modern menuntut kematangan yang lebih. Pilihan ini bukanlah hal yang mudah, mengingat konsekuensi jangka panjang yang menyertainya.

Penting bagi masyarakat untuk mendukung generasi muda dengan memberikan akses edukasi yang tepat. Pendidikan seksual yang komprehensif, bimbingan nilai-nilai agama yang moderat, serta pembekalan keterampilan hidup menjadi kunci untuk membantu mereka membuat keputusan yang matang.

Pada akhirnya, pernikahan adalah keputusan personal yang tidak bisa digeneralisasi. Baik menikah muda demi menghindari zina maupun menunda demi fokus pada karier, keduanya merupakan pilihan yang valid selama didasarkan pada kesiapan penuh dan tanggung jawab. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif, generasi muda dapat membangun masa depan yang harmonis, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.

Penulis: Ifah Latifah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun