Mohon tunggu...
Afifah Khoirun Nisa
Afifah Khoirun Nisa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi Aktif yang Punya Banyak Mimpi

Menetapkan untuk menulis sejak SMP dan mulai serius sejak SMA dengan mengikuti berbagai macam lomba kepenulisan. Hingga saat ini akan terus mencurahkan energi dan jiwa dalam kepenulisan. Masih dan akan terus belajar untuk membuat tulisan yang lebih baik. Blog ini akan berisi jurnal diri, dan beberapa keresahan yang terjadi.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kita Tidak Sempurna Bukan Berarti Kita Bukan Manusia

18 Januari 2022   01:50 Diperbarui: 18 Januari 2022   01:52 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hal yang dianggap berbeda oleh manusia yang lain selalu menjadi jarak diantara manusia itu, menjauh atau dijauhi. Orang menganggap orang lain berbeda dan tidak sesuai dengan dirinya layak untuk dijauhi, ataupun sebaliknya, orang yang merasa berbeda dan tidak sesuai dengan suatu kelompok akan mengucilkan diri dan menjauh dari kelompok tersebut. 

Di antara orang-orang yang dianggap 'sama' oleh masyarakat dan menjadi tolak ukur, menganggap orang yang tidak sesuai dengan tolak ukur tersebut aneh, seperti bukan manusia. 

Salahkah kita menjadi berbeda dengan keunikan kita sendiri? Lantas adilkah perlakuan orang2 yang dianggap tolak ukur masyarakat itu ke orang-orang yang dianggap berbeda? Orang yang sesuai tolak ukur masyarakat tidak akan memahami rasanya orang2 yang berbeda. Rasa sakit dan frustasinya. Rasa terkhianati dan dikucilkan. Kita berbeda bukan berarti kita tidak memiliki perasaan. Kita berbeda bukan berarti kita bukan manusia. 

Cerita dari orang-orang yang merasa dijauhi karena perbedaan rasanya tidak pernah berhenti. Salah satu teman bercerita mengenai dirinya yang dijauhi dikarenakan suatu perbedaan hingga ia menyalahkan dirinya. Orang yang menjauh sampai kapanpun tidak akan pernah sadar bahwa ia pernah menyakiti teman saya. Ia mungkin hanya berpikir bahwa ia melakukan seperti yang biasa ia lakukan di kehidupan sehari-harinya. Melelahkan terus menjadi korban, melelahkan karena terus menyalahkan diri yang bahkan bukan salah kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun