Masih melekat erat dalam hangat ingat betapa renyahnya masa kecil kami, anak-anak kelahiran 97. Baru sekitar 15 tahun yang lalu, namun perubahan itu cepat sekali merenggut keindahan-keindahan yang ingin kami ajarkan pada adik-adik kami. Masa kecil yang jauh dari hiruk pikuk teknologi. Yang ada hanya kebersamaan dan waktu yang berkualitas menjadi momen yang ingin kami bagi dengan generasi setelah kami. Namun, rasanya hal semacam ini hanya tinggal sebatas cerita. Bahkan mungkin mereka menganggap yang kami ceritakan ini hanyalah omong kosong belaka. Ya, mereka lebih meyakini buaian teknologi di era globalisasi.
Dulu, saat usia kami belum genap sepuluh tahun, tidak ada hari tanpa “bermain bersama teman sepermainan”. Setiap hari selalu ada sesuatu yang menarik untuk “dimainkan”, apapun itu. Permainan andalan kami pun sangat banyak. Petak umpet, lompat tali, gobak sodor, gundu, engklek, bekel ,dan masih banyak lagi yang terlalu menyenangkan untuk kami sebutkan lagi. Asal mainnya bersama-sama, itu sudah membuat kami menjadi orang paling bahagia seantero dunia. Disana, kami bisa menikmati detik yang berlalu dengan bersosialisasi sehingga kami selalu punya waktu yang berkualitas bersama saudara jauh kami.
Berkotor-kotor ria menjadi kesukaan kami dulu. Bagi kami bermain lumpur, basah-basahan di kolam yang subur eceng gondoknya, berhujan-hujan di tengah lapangan bola adalah salah satu cara untuk bersahabat dengan alam dan menjadikan kami tumbuh menjadi tangguh dan tidak mudah sakit karena sudah kebal dengan “kehujanan”. Bagi kami, hal semacam itu menjadi kenangan tersendiri yang selalu tersimpan sampai kami tua nanti. Mengingatnya akan membuat kami merasa kembali lagi pada masa itu, yang tentu hanya bisa dikenang tanpa bisa diulang.
Namun, sejak teknologi sebagai salah satu utusan globalisasi merambah di usia yang sama milik generasi adik-adik kami, rasanya mereka tidak perlu lagi teman sepermainan. Sosialisasi bukan lagi sebagai prioritas, bahkan cenderung diabaikan. Asal gadget sudah digenggaman, mereka seolah tak butuh partner bermain. Herannya, orang tua mereka terlihat bangga sekali jika orang-orang melihat mereka yang masih sekecil itu sudah pegang dan main gadget sana sini.
Sungguh 180 derajat kesenangan kami yang dulu berbeda dengan generasi modern masa kini. Adik-adik kami itu lebih senang berada di dalam rumah untuk main playstation kesayangan, nonton video di youtube, dan main game online ala gadget. Daripada main lumpur di luar dan hujan-hujanan, mereka akan lebih asyik menikmati sapaan dingin air conditioner yang menyegarkan di dalam rumah. Ah, globalisasi!
Kebersamaan yang kami ciptakan bersama teman sepermainan di masa kecil membuat kami selalu punya cerita indah yang terkenang sampai kami kini beranjak dewasa, dan sampai kapanpun. Miris jika membayangkan nasib generasi setelah kami yang tidak punya kenangan semanis apa yang kami rasakan. Mereka hanya tahu asyiknya bermain dan menghabiskan waktu bersama gadget dan berada di dalam rumah tanpa merasakan indahnya bersosialisasi dan bersahabat dengan alam sekitar.
Begitulah, globalisasi telah merubah makna “bahagia” dari generasi ke generasi. Bahagia kami cukup mudah dan murah. Tapi bagi mereka, yang penting mewah. Hanya dalam jangka beberapa tahun saja, semua seperti hilang ditelan bumi. Bersosialisasi dengan masyarakat, mendekat dengan alam, dan kesederhanaan tak lagi nampak. Individual, tertutup, dan hidup mewah seakan menggantikan kebahagiaan-kebahagiaan yang lebih berwarna di masa yang dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H