Oleh : I Fadhilah Dita Nur Hidayah dan Wardatul Mufidah
Multikultural berasal dari gabungan dua kata, yakni "multi" yang berarti beragam atau banyak, dan "kultul" yang berarti budaya. Menurut Paulo Freire (2000:7) pendidikan tidak seharusnya menjadi sebuah entitas yang menjauh dari realitas sosial dan budaya seperti "menara gading", akan tetapi pendidikan seharusnya memiliki kemampuan untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, tidak hanya menghasilkan masyarakat yang hanya mengagungkan kelas sosial berdasarkan kekayaan dan kemakmuran yang dimilikinya (Amin, 2018).Â
Sedangkan Nieto memandang pendidikan multikultural sebagai suatu bidang pendidikan yang berfokus pada keadilan sosial, kesetaraan dalam pendidikan, dan tekad dalam memberikan pengalaman belajar kepada seluruh siswa untuk berkembang secara maksimal (Indrapangastuti, 2014).Â
Maka dari itu, pendidikan multikultural merupakan upaya yang dilakukan sebagai tanggapan terhadap pertumbuhan keragaman dalam populasi masyarakat, dengan tujuan untuk memastikan kesetaraan hak bagi semua kelompok. Dengan kata lain, pendidikan multikultural berarti memperhatikan semua kelompok tanpa membedakan berbagai faktor seperti jenis kelamin, etnis, ras, budaya, tingkat sosial, dan agama (Amin, 2018).
Bangsa Indonesia memiliki keragaman unik dan bervariasi yang berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh negara-negara lain. Dampak negatif dari adanya berbagai keragaman di Indonesia dapat menyebabkan ketegangan yang memunculkan perbedaan dan menjadi pemicu timbulnya problematika. Secara umum, problematika dalam pendidikan multikultural di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua aspek utama, yakni problem pembelajaran dalam pendidikan multikultural dan problem sosial kemasyarakatan pendidikan multikultural.
Implementasi pendidikan multikultural dihadapkan dengan beragam problem di masyarakat yang menghambat penerapan pendidikan multikultural di dalam ranah pendidikan.Â
Problem-problem tersebut antara lain yaitu keragaman identitas budaya daerah, pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah, merosotnya rasa nasionalisme, fanatisme sempit, disharmonisasi, diskriminatif, dan deferensiasi tingkat sosial ekonomi (Suneki & Haryono, 2021).Â
Kesejahteraan yang tidak merata dapat menyebabkan ketimpangan pada aksesibilitas pendidikan. Masyarakat yang kurang mampu sering disebut sebagai masyarakat miskin, yang biasanya mendapat perlakuan yang tidak adil dari berbagai hal, seperti ekonomi, hukum, dan pendidikan (Anwar, 2022). Anak dari keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah keatas, bisa menikmati layanan pendidikan yang sangat berkualitas.Â
Sebaliknya masyarakat dengan kelas ekonomi rendah hanya bisa menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang tidak memerlukan biaya pendidikan besar, dengan fasilitas pendidikan yang sangat berbeda (Nugraha et al., 2020). Ketimpangan aksesibilitas pendidikan dapat berdampak dan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Status sosial-ekonomi (SES) keluarga dapat mempengaruhi kondisi literasi seorang siswa dan juga memiliki dampak pada mutu Pendidikan (Anwar, 2022)[ID1] [GU2] [IFD3] [IFD4] .
Pemerataan ekonomi yang tidak merata menjadi salah satu penyebab munculnya problematika pendidikan multikultural di Indonesia. Perbedaan status sosial ekonomi di masyarakat dapat memicu perasaan cemburu sosial yang berpotensi timbulnya konflik. Beberapa insiden konflik akibat hal ini telah terjadi di dalam negeri ini. Keadaan semacam ini membuat individu dengan mudah merasa terintimidasi, sehingga dengan adanya tekanan ekonomi mendorong seseorang untuk bertindak secara destruktif dengan melakukan tindakan yang bersifat anarkis. Masyarakat yang merasakan hal tersebut cenderung melepaskan rasa frustrasinya kepada kelompok-kelompok yang lebih mapan secara ekonomi. Â
Konflik yang pernah terjadi di Indonesia akibat dari kesejahteraan ekonomi yang tidak merata seperti konflik Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli (Hesti et al., 2022). Konflik lain yang juga disebabkan oleh kesejahteraan ekonomi yang tidak merata dikutip dari Hanafy (2015) yaitu perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan.
Kemajuan teknologi informasi saat ini menyebabkan konflik akibat dari kesejahteraan ekonomi yang tidak merata juga dapat terjadi secara online. Dengan adanya akses internet, masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi di mana saja dan kapan saja (Supriyanto et al., 2023). Hal tersebut mengakibatkan informasi dapat tersebar secara cepat.Â
Salah satu konflik akibat kesejahteraan ekonomi yang tidak merata yaitu konflik antara kelompok pedagang konvensional dengan pengguna layanan TikTok Shop yang disebabkan oleh kebijakan penutupan platfrom TikTok Shop. Adanya TikTok Shop membuat sebagian masyarakat yang berjualan di pasar konvensional merasa hal ini merupakan sebuah ancaman. Ancaman yang dirasakan oleh penjual merupakan akibat dari kesejahteraan ekonomi yang tidak merata yaitu merosotnya omzet yang didapat pedagang konvensional ketika adanya TikTok Shop.
Aplikasi TikTok mulai dikenal masyarakat pada tahun 2020 saat adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat melakukan berbagai aktivitas di dalam rumah. Aplikasi tiktok digemari masyarakat karena dapat mengurangi perasaan jenuh dan bosan. Aplikasi ini merupakan sebuah platform yang bisa digunakan di perangkat seluler untuk menonton dan menciptakan video hiburan yang dapat dinikmati oleh pengguna. Adanya perkembangan teknologi, TikTok membuat inovasi yaitu TikTok Shop. Fitur ini dirancang untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan aktivitas jual beli yang memberikan penawaran produk dengan harga yang lebih kompetitif daripada E-commerce lainnya. Pengaruh E-commerce terhadap industri konvensional sangat signifikan yang mengakibatkan pergeseran kebiasaan dasar dalam berbisnis dan budaya konsumen (Chusumastuti et al., 2023).
Hasil penelitian Rosmiati (2022), menyebutkan bahwa generasi milenial  memiliki pola konsumsi tinggi terhadap penggunaan TikTok Shop. Generasi milenial sepakat bahwa aplikasi TikTok Shop menawarkan fitur live streaming, video promosi pendek, dan ulasan singkat pelanggan, dimana fitur-fitur tersebut memberikan kepercayaan kepada konsumen bahwa produk yang dijual memiliki kualitas yang baik dan sesuai seperti pengalaman berbelanja langsung. Selain itu, berbelanja melalui TikTok Shop juga menghemat waktu dan sangat efisien, salah satunya adanya kemudahan dalam transaksi pembayaran  melalui layanan m-banking, cash on delivery (COD), serta berbagai aplikasi dompet digital lainnya.  Â
Ditinjau dari perspektif generasi Z, pada penelitian yang dilakukan oleh Sa'adah et al., (2022) menunjukkan hasil bahwa 90% generasi Z menyetujui bahwasanya fitur Tiktok Shop  memberikan banyak sekali kemudahan dalam penggunaannya, persepsi manfaat menunjukan 85,56% generasi Z setuju bahwa fitur TikTok Shop memberikan manfaat pada kegiatan bertransaksi, persepsi resiko menunjukan 93,35% generasi Z beranggapan bahwa fitur TikTok Shop memiliki risiko yang sedikit didalam penggunaannya. Generasi Z aktif menggunakan fitur TikTok Shop untuk berbelanja beragam produk, termasuk pakaian dan makanan. Hal ini dikarenakan TikTok menawarkan harga yang lebih terjangkau serta ongkos kirim yang lebih rendah dibandingkan dengan toko online lainnya. Selain itu, mereka juga merasa bahwa iklan yang ditawarkan oleh para pemasar di TikTok Shop memberikan kesempatan untuk berkreasi sambil menarik minat masyarakat untuk membeli produk-produk yang ditawarkan dalam fitur TikTok Shop tersebut.
Banyak orang berpendapat bahwa berbelanja secara online lebih ekonomis dibandingkan dengan berbelanja di toko fisik. Salah satu alasan yang sering disebutkan adalah karena biaya operasional dalam menjalankan bisnis online cenderung lebih rendah dibandingkan dengan bisnis konvensional. Hal ini mencakup pengurangan biaya seperti sewa lokasi, upah karyawan, dan pajak toko, sehingga toko online dapat menawarkan produk dengan harga lebih terjangkau. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, sektor perbankan dan sistem pembayaran juga telah mulai mendukung transaksi online, berbeda dengan situasi sepuluh tahun lalu.
Pernayataan respon masyarakat terkait adanya TikTok Shop yang dijabarkan pada pernyataan di atas, menjadi salah satu alasan peningkatan popularitas TikTok Shop dalam beberapa tahun terakhir sehingga hal ini dianggap sebagai ancaman bagi bisnis konvensional. Salah satu bukti nyatanya yaitu penurunan pendapatan akibat sepinya pengunjung di beberapa pusat perbelanjaan. Para penjual konvensional berkeyakinan bahwa hal tersebut disebabkan oleh banyaknya konsumen yang beralih berbelanja secara online utamanya pada aplikasi TikTok.Â
Popularitas TikTok Shop membuat sebagian kelompok pedagang konvensional di Tanah Abang melanyangkan protes meminta agar TikTok Shop ditutup. Dilansir dari CNN Indonesia, hal ini dikarenakan pedagang merasa bahwa harga di TikTok Shop terlalu murah sehingga ia kesulitan mengejar harga. Adanya TikTok Shop membuat omzet pedagang konvensional di Tanah Abang berkurang sampai 80 persen hingga 90 persen. Merujuk pada aturan pemerintah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 dan Permendag Nomor 31 Tahun 2023, pemerintah resmi menutup Tiktok Shop pada Rabu, 4 Oktober 2023. Alasan penutupan TikTok Shop yaitu sosial commerce hanya boleh dijadikan tempat promosi dan dilarang untuk bertransaksi.
Kebijakan penutupan TikTok Shop berdampak bagi banyak orang yang memanfaatkan layanan aplikasi tersebut. Pedagang di Tiktok Shop, affiliator, maupun konsumen yang memanfaatkan aplikasi tersebut menyayangkan adanya kebijakan ini karena merasa dirugikan. Â Orang-orang yang merasa terdampak secara negatif melayangkan protesnya melalui berbagai sosial media bahkan akun Instagram Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan banjir oleh komentar netizen yang tidak terima dengan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah.Â
Tidak hanya itu, beberapa orang di sosial media juga menyalahkan pedagang konvensional yang menginginkan penutupan TikTok Shop akibat tidak mau mengikuti perkembangan zaman dan tidak melakukan inovasi. Di sisi lain, dilansir dari Republika.co.id penutupan TikTok Shop memiliki dampak positif terhadap ekosistem e-commerce, yang salah satunya tercermin dari peningkatan harga saham Bukalapak dan Tokopedia. Selain itu, dilansir dari finance.detik.com penutupan TikTok Shop menyebabkan Pasar Tanah Abang ramai kembali dengan aktivitas jual-beli
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H