Konon, jaman dahulu hiduplah sepasang suami istri yang tinggal di suatu kampung. Suatu hari, sang istri melahirkan seorang bayi. Alangkah kagetnya pasangan suami istri tersebut ketika mengetahui bahwa bayi yang lahir merupakan anak ular naga. Mereka memberi nama naga itu Baru Klinting. Melihat keanehan wujud Baru Klinting, mereka takut akan menjadi bahan gunjingan warga kampungnya. Mereka pun tak berani tinggal di kampung tersebut dan memutuskan untuk mengasingkan diri ke puncak gunung. Pasangan suami istri tersebut berdoa setiap harinya kepada dewa agar rupa putra mereka dapat kembali ke wujud manusia.
Doa sepasang suami istri itu akhirnya dikabulkan, tetapi dengan sebuah syarat. Baru Klinting harus melakukan pertapaan selama 300 tahun dengan cara melingkarkan tubuhnya di Gunung Semeru. Baru Klinting pun patuh dan melakukan syarat yang diajukan oleh dewa. Sayangnya, panjang tubuh Baru Klinting kurang sejengkal untuk bisa melingkari seluruh gunung semeru. Maka, Baru Klinting menjulurkan lidahnya hingga menyentuh ujung ekornya untuk menutupi kekurangan itu. Baru Klinting pun sukses melingkarkan tubuhnya pada Gunung Semeru dan melakukan pertapaan 300 tahun. Ternyata, syarat agar Baru Klinting untuk menjadi manusia tak hanya itu. Dewa meminta sang ayah agar memotong lidah Baru Klinting yang sedang bertapa. Dengan berat hati, Ayahnya melakukannya. Baru Klinting yang sedang bertapa pun tak menolak karena hal itu untuk kebaikannya sendiri agar bisa menjadi manusia.
Bertepatan dengan pertapaan Baru Klinting, Kepala Kampung tempat asal sepasang suami istri tadi ternyata akan menggelar pesta pernikahan yang mewah dan besar-besaran. Warga kampung tersebut secara sukarela membantu mempersiapkan pesta tersebut dengan berburu makanan di hutan. Mereka mencari berbagai makanan, mulai dari buah-buahan hingga hewan buruan seperti rusa, kelinci dan babi hutan. Sudah lama para warga berburu di hutan, namun mereka tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Beberapa warga kelelahan dan memilih untuk beristirahat. Mereka mengayunkan parangnya pada batang pohon besar yang tumbang. Alangkah terkejutnya mereka ketika dari batang pohon tumbang tersebut mengucur darah segar. Mereka baru menyadari bahwa yang mereka tebas tadi bukanlah pohon tumbang melainkan ular naga raksasa. Melihat hal ini dan menyadari kalau mereka belum mendapatkan hasil buruan, warga pun beramai-ramai mengambil daging ular naga tersebut untuk dimasak dalam pesta pernikahan anak kepala kampung.
Hari berakhirnya pertapaan Baru Klinting bertepatan dengan hari pesta pernikahan anak kepala kampung. Benar saja, Baru Klinting yang awalnya berwujudu ular naga kini telah berubah menjadi anak kecil. Sayangnya, si anak mengalami kesusahan dalam berbicara karena lidahnya telah dipotong sebelum. Terlebih lagi, tubuhnya penuh dengan luka yang membusuk lantaran saat bertapa tubuhnya disayat-sayat oleh warga kampung untuk diambil dagingnya sebagai bahan pesta.
Baru Klinting akhirnya mendatangi pesta kepala kampung. Anak itu kelaparan da meminta-minta makanan. Namun, tak ada satu pun warga yang memedulikanya. Mereka malah menhina anak kecil tersebut karena lidahnya terpotong dan juga mengusirnya dari kampung. Melihat anak kecil itu, seorang wanita tua merasa kasihan. Ia membawa Baru Klinting ke rumahnya dan memberinya makan dengan berbagai hidangan lezat yang disediakan di pesta kepala kampung. Baru Klinting makan dengan lahap, kecuali daging yang disediakan. Baru Klinting menolak untuk memakan dagingn lantaran mengetahui bahwa itu dagingnya sendiri saat masih berwujud ular naga.
“Saya pikir tadinya sudah tak ada lagi orang baik di kampung ini. Ternyata, masih ada orang seperti Anda. Terima kasih, Bu. Sebagai rasa terima kasih saya, saya ibu mohon segera persiapkan lesung, kemudian bila terjadi sesuatu di kampung ini, segeralah naik lesung tersebut.” Begitu pesan Baru Klinting seusai makan. Wanita tua tersebut pun menuruti ucapan Baru Klinting tanpa bertanya sedikit pun. Kemudian Baru Klinting pun berpamitan pergi dari rumah wanita tua tersebut sembari membawa daging yang tadinya tidak ia makan.
Baru Klinting kembali ke pesta pernikahan anak kepala kampung. Ketika para warga mulai mengusirnya lagi, Baru Klinting berkata dengan lantang, “Wahai warga semua! Lihatlah di tanganku! Aku memiliki sebatang lidi yang tertancap di seonggok daging ini. Jika kalian mampumencabut batang lidi ini, maka ambillah daging ini. Jika kalian tak mampu, maka berikanlah semua daging yang kalian masak padaku!” Warga kampung yang merasa ditantang akhirnya mencoba mencabut batang lidi tersebut satu persatu. Namun, tak ada seorang pun yang berhasil. Sesuai ucapannya, Baru Klinting meminta semua daging yang dimasak dalam pesta pernikahan tersebut. Sayangnya, warga tetap tak mau mengembalikan daging yang telah mereka masak. Mereka kembali menghina Baru Klinting hingga dirinya pun merasa geram. “Lihatlah betapa serakahnya kalian, wahai manusia! Begitu tak pedulinya kalian terhadap sesama, terhadap manusia yang cacat sepertiku. Ketahuilah, daging yang kalian masak itu adalah daging tubuhku saat aku masih berwujud ular naga! Lihatlah setelah ini akan terjadi balasan yang setimpal pada kalian semua!”
Saat itu pula, Baru Klinting mencabut batang lidi yang tertancap di daging dengan begitu mudahnya. Saat itu juga, keanehan terjadi. Dari lidi itu mengucur air deras, terus menerus hingga seluruh kampung terendam oleh air tersebut. Para warga pun tenggelam kecuali wanita tua baik hati yang memberi Baru Klinting makan karena dirinya menaiki lesung sesuai peringatan Baru Klinting. Seiring berjalannya waktu, genangan air itu pun berubah menjadi telaga. Sejak itu pun, Baru Klinting berubah wujud lagi menjadi ular naga dan ia melingkarkan tubuhnya di dasar telaga. Karena telaga tersebut masuk ke dalam daerah Ngebel, hingga saat ini telaga tersebut dikenal dengan nama Telaga Ngebel. Telaga Ngebel kini berada di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
- Nilai Moral
Ada beberapa nilai moral yang ada dalam cerita ini. Pertama, salinglah membantu antar sesama dan jangan membeda-bedakan orang berdasarkan fisiknya. Dikisahkan bahwa Baru Klinting yang kelaparan dan cacat fisik meminta bantuan kepada warga kampung, tetapi tidak ada yang menolongnya selain seorang wanita tua. Kedua, janganlah serakah, karena serakah dapat berujung pada bencana. Terlihat ketika para warga desa yang tidak mau memberikan seluruh daging yang telah dimasak kepada Baru Klinting, padahal mereka telah menerima tantangan yang diberikan oleh Baru Klinting. Andaikan para warga mengembalikan daging sesuai permintaan Baru Klinting, maka kampung mereka tidak akan tenggelam. Pesan moral yang terakhir adalah, perbuatan baik akan membawa pada kebaikan pula. Seorang wanita tua diceritakan selamat dari bencana yang melanda kampungnya karena dulunya ia telah menolong Baru Klinting.
- Nilai Budaya
Nilai budaya yang terdapat dalam cerita ini adalah kebiasaan mengadakan acara besar-besaran sebagai syukuran atas sesuatu. Dalam cerita ini, ditunjukkan bahwa kepala kampung melaksanakan pesta besar-besaran dan mengundang warga sekampung dalam rangka pernikahan anaknya. Selain itu pula, ada budaya gotong royong yang terlihat yaitu ketika warga kampung sukarela membantu dengan cara berburu di hutan untuk mencari makanan sebagai bahan hidangan di pesta.
- Nilai Agama
Nilai agama yang terkandung dalam cerita ini adalah berdoa kepada dewa untuk meminta pertolongan dan senantiasa mematuhi perintah yang diberikan. Terlihat ketika orang tua Baru Klinting berdoa setiap harinya kepada dewa agar rupa putranya dapat kembali ke wujud manusia. Juga ketika dewa memberi syarat kepada orang tua Baru Klinting untuk memotong lidah putranya , dengan taat mereka menuruti permintaan sang dewa tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H