Mohon tunggu...
ifa avianty
ifa avianty Mohon Tunggu... -

Saya seorang penulis, ibu rumah tangga, senang membaca, memasak, dan kerja2 kreatif lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Investasi Kegiatan Hulu Migas di Indonesia, Sebuah Tantangan

17 September 2016   19:29 Diperbarui: 17 September 2016   19:33 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah Negara yang cukup banyak mempunyai kandungan minyak bumi dan gas alam, tersebar di wilayahnya yang luas dan berpulau-pulau itu. Namun, usaha hulu migas di Indonesia, yang mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam memiliki resiko yang sangat tinggi, menggunakan teknologi tinggi dan membutuhkan modal yang sangat besar. 

Oleh karena itu, pemerintah tidak mungkin menggunakan APBN untuk membiayai kegiatan eksplorasi yang penuh resiko, sehingga kegiatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak investor. Investor adalah perusahaan migas yang ditunjuk pemerintah yang memiliki kemampuan dana dan keahlian teknis tertentu. 

Kegiatan eksploitasi dibiayai terlebih dahulu oleh investor dan mitranya dan diganti kemudian setelah produksi tercukupi. Kerjasama antara pemerintah dan perusahaan migas berbentuk Kontrak Kerja sama Bagi Hasil dengan kendali penuh di tangan pemerintah (melalui SKK Migas), salah satunya rencana kerja, anggaran dan pelaksanaan kerjanya wajib disetujui pemerintah.

Indonesia memiliki wilayah yang sangat besar yaitu sekitar 5.193.250 km2, terdiri atas daratan dan lautan. Sepanjang sejarah mencatat, Indonesia pernah menjadi penghasil migas terbesar di Indonesia, yang sekarang telah dikalahkan oleh China, Vietnam, dan Malaysia untuk minyak bumi. Dalam urutan Negara penghasil gas bumi, Indonesiapun telah dikalahkan oleh China (akhir 2014). 

Sementara itu, masih terdapat sejumlah lapangan migas yang berhasil ditemukan namun belum dikembangkan secara maksimal, seperti di lapangan Gas Tangguh di Papua Barat, Lapangan Gas Abadi Blok Masela di Maluku, Lapangan Jangkrik Blok Muara Bakau di Kalimantan, Indonesia Deepwater Development (IDD) Chevron, dan masih ada beberapa lagi. 

Yang perlu diketahui juga adalah multiplier effect industry hulu migas. Jadi dengan pembelanjaan sebesar 1 Milyar Rupiah oleh industry hulu migas, akan menghasilkan output ekonomi sebesar 1.6 Milyar, tambahan GDP sebesar 700 juta rupiah, tambahan pendapatan rumah tangga sebesar 700 juta rupiah, dan tambahan lapangan kerja untuk 10 orang, Artinya secara ekonomi memiliki potensi yang besar untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Di sini terjadi pergeseran paradigma tentang industry hulu migas. Pada parafigma lama, industry migas memperoleh sumber pendapatan dari penjualan gas dan minyak bumi. Namun jangan lupa, bahwa sumber daya alam ini terbatas, dalam kegunaannya sebagai sumber energy dan bahan baku. Yang harus dilakukan adalah mencari nilai tambah dari industry ini, yaitu dengan memperkuat kemampuan dan kapasitas nasional, serta meningkatkan keahlian dan kesempatan kerja. 

Ternyata memang setiap pembelanjaan industry hulu migas terbukti mampu memberi tambahan lapangan kerja bagi 10 orang penduduk. Jadi multiplier effect industry hulu migas terhadap perekonomian nasional, akan berpengaruh terhadap penambahan lapangan kerja, peningkatan daya saing industry dalam negeri, dan peningkatan penguasaan teknologi, khususnya di bidang eksplorasi dan eksploitasi migas.

Ada lima komoditas utama kegiatan usaha hulu migas Indonesia, yaitu :

  • Pemboran, senilai US$ 3.332 juta
  • EPCI (Engineering Procurement, Construction and Installation), senilai US$ 1.696 juta
  • Perkapalan, senilai US$ 1.206 juta
  • OCTG (Oil Country Tubular Goods) dan Line Pipe, senilai US$ 223 juta
  • Turbomachinery, senilai US$ 55 juta.

Sementara itu, ada beberapa tantangan terhadap investasi migas di Indonesia, misalnya harga minyak dunia yang anjlok akhir-akhir ini, kemudian juga adanya Peraturan pemerintah (PP) nomor 79/2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak Bumi. Disamping itu makin tingginya biaya eksplorasi karena trend eksplorasi migas Indonesia mengarah ke wilayah timur yang minim infrastruktur dan berada di lepas pantai (offshore). 

Selain itu, biaya eksplorasi migas saat ini juga semakin besar akibat sumur produksi yang dikelola sudah tua, sehingga laju produksi tidak berbanding lurus dengan biayanya. Kesulitan lain muncul karena banyaknya perijinan  baik di tingkat pusat maupun daerah yang harus dipenuhi, menyebabkan tidak adanya kepastian aturan terkait operasi migas. 

Masih soal peraturan, ada banyak peraturan yang saling tumpang tindih antarinstansi terkait operasi migas, baik di pusat maupun daerah, ditambah dengan ketiadaan otoritas tunggal yang dapat menyelesaikan sengketa di antara instansi tersebut.

Sementara itu, jumlah penemuan cadangan migas baru masih belum sebanding dengan jumlah cadangan yang diproduksikan. Idealnya, jumlah penemuan cadangan migas baru sama dengan jumlah cadangan yang diproduksikan pada tahun yang sama. Laju perbandingan ini dikenal dengan istilah rasio penggantian cadangan atau resetve replacement ratio (RRR). Agar bisnis hulu migas bisa berkelanjutan, RRR seharusnya minimal 100 persen.

Tetapi dalam lima tahun belakangan ini, angka RRR di Indonesia selalu berada di bawah 100 persen, dan terus menurun seiring dengan berkurangnya jumlah pengeboran eksplorasi. Eksplorasi merupakan tahapan penting dalam kegiatan hulu migas. Cadangan migas baru tidak akan bisa ditemukan tanpa adanya eksplorasi, baik di wilayah yang sudah berproduksi maupun di wilayah yang belum tersentuh. 

Secara umum, kegiatan eksplorasi meliputi studi geologi dan geofisika, survey seismic, serta pengeboran eksplorasi. Seluruh kegiatan tersebut membutuhkan biaya dan resiko yang tinggi. Sebagai gambaran pada tahun 2009-2013, delapan perusahaan migas yang melakukan eksplorasi di Selat Makasar dan Sulawesi telah mengeluarkan dana 13 Triliun rupiah untuk mencari cadangan migas baru, yang ternyata belum ditemukan.  Sesuai ketentuan dalam kontrak bagi hasil, semua biaya tersebut ditanggung investor.

Namun demikian kegiatan eksplorasi tetap harus dilaksanakan, bahkan secara massif. Sebab jika kita menunda melakukannya, akan semakin lama cadangan tersebut ditemukan. Jadi mau tidak mau, kegiatan ini harus tetap berlangsung dengan investasi yang sehat dan kuat. Maka itu, kita perlu membenahi iklim investasi pada industry hulu migas agar lebih kondusif. 

Tanpa hal ini, kemandirian energy bisa terganggu. Iklim investasi yang tidak ramah ini terlihat dari kurangnya penemuan cadangan baru yang signifikan. Padahal tanpa adanya penemuan cadangan baru dalam skala besar, kita dibayangi gangguan kemandirian energy.

Saat ini kebutuhan minyak mentah Indonesia, mencapai 1.4 juta barrel per hari, sedangkan produksi nasional hanya 800 ribu barrel per hari. Meskipun produksi gas meingkat, namun jika pengembangan beberapa proyek besar tertunda, produksi gas Indonesia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri terutama pada sector kelistrikan.

Iklim investasi yang kurang kondusif juga terlihat dari rendahnya minat investor mengikuti lelang wilayah kerja (WK) migas yang dilakukan pemerintah setiap tahun. Penawaran 8 WK migas di 2015 yang tidak berhasil menetapkan pemenang, alias lelang yang tidak laku, menunjukkan Indonesia kurang atraktif bagi investor.

Indicator lain terlihat dari lamanya jeda waktu antara penemuan cadangan sampai dengan produksi, yaitu sekitar 8 sampai 26 tahun. Ini berarti kontraktor tersebut sedang mengalami hambatan investasi. Maka pemerintah perlu melakukan berbagai cara untuk kembali menyehatkan iklim investasi industry hulu migas di Indonesia.

Yang perlu dilakukan oleh pemerintah, pada tahap eksplorasi adalah pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan migas dalam bentuk perpanjangan masa eksplorasi, perubahan PP nomor 79/2010, pengurangan jumlah izin yang diperlukan, penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan pajak impor barang, serta mengkoordinasikan fungsi terkait di pusat dan daerah. 

Sementara dalam tahap eksploitasi, pemerintah perlu memberikan insentif kepada perusahaan migas dalam bentuk kepastian hukum bahwa kegiatan eksploitasi migas merupakan lex specialis dan merujuk kepada PSC Contract (dalam kasus bioremediasi), pengurangan jumlah perizinan yang diperlukan, mengkoordinasikan fungsi terkait di pusat dan daerah, dan menentukan otoritas tunggal dalam sengketa antarinstansi, baik di pusat maupun daerah.

Referensi

Materi Nangkring Kompasiana tentang Industri Hulu Migas

Lipsus kompas.com tentang “Hulu Migas Bagi Negeri”.

Foto by biz.kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun