Poster versi Restorasi, credit foto by Planet Kenthir
Sewaktu kecil, saya adalah anak mama yang paling sering diajak menemani beliau menonton film lawas di TVRI. Syukurlah, saya suka. Jadi tidak pernah ada cerita saya bête menonton film yang warnanya tinggal hitam dan putih saja itu. Tidak heran pula, anak kecil seusia saya saat itu. Anak SD tahun 83-86an, sudah ‘sangat kenal’ dengan Usmar Ismail, Titien Sumarni, Nurnaningsih, Citra Dewi, Sofia WD, Mieke Wijaya, Indriati Iskak, Baby Huwae, Rendra Karno, Soekarno M Noer (bapaknya bang Rano Karno), dan entah siapa lagi. Oh, termasuk juga P Ramlee, budayawan Malaysia tersohor itu, yang menginspirasi lagu “Legenda”nya Sheila Majid. Saya pernah menonton “Tiga Dara”, “Asrama Dara”, “Lewat Jam Malam”, “Citra”, “Terang Bulan”, dan entah apa lagi judulnya. Dan saya terkesan, hingga sekarang.
Itu pula yang kemudian memupuk kecintaan saya kepada film bermutu. Terima kasih tak terhingga kepada mama, yang telah memberi saya asupan film-film bermutu, yang saat ini berguna sekali dalam karir saya sebagai penulis. Halaaah, kok kayak sambutan penerima piala Citra ya.
Sekarang inipun, jika ingatan saya tentang film dan segala jenis kebudayaan yang bermutu tinggi itu nyaris hilang, saya melakukan restorasi versi saya sendiri. Sebab saya menolak lupa pada kesenian yang telah begitu berjasa menghaluskan jiwa manusia, yang telah ikut membangun karakter manusia lewat apa yang ditampilkan. Saya adalah contoh manusia yang merasa sangat berhutang budi pada seni budaya tersebut.
Maka, ketika upaya restorasi film “Tiga Dara” ramai digaungkan (juga film “Lewat Jam Malam”), saya sangat gembira. Ini jelas menimbulkan harapan bahwa film-film bermutu dari zaman ke zaman kembali bisa dinikmati oleh generasi muda. Biar mereka kenal akan seni budaya bangsanya zaman sebelumnya, agar mereka tetap bangga pada kampung halamannya, Indonesia. Dan agar seni budaya lama tak hanya tinggal cerita.
Sedikit Tentang Restorasi Film yang saya tahu dan saya baca
Ternyata tidak mudah merestorasi sebuah film, prosesnya panjang dan rumit. Demikian yang telah ditempuh oleh SA Films dalam upaya merestorasi film “Tiga Dara”. Menurut fihak SA Films, total waktu pengerjaan restorasi film tersebut memakan waktu kurang lebih 17 bulan. Sebenarnya gagasan merestorasi film tersebut sudah diinisiasi oleh pemerintah Belanda pada tahun 2011 lewat EYE Museum, namun terkendala krisis ekonomi yang melanda Eropa saat itu. Nah, dari sini saja saya sudah bisa menyimpulkan bahwa restorasi juga bukan sebuah proses yang murah dan mudah.
Setelah sejumlah pembicaraan, dikembalikanlah seluloid asli Film Tiga Dara dari Amsterdam ke Indonesia. Kemudian SA Films menggandeng Laboratorium L’Immagine Retrovata di Bologna, Italia, serta melibatkan dua pakar putra bangsa yaitu Lintang Gitomartyo dan Windra Benyamin.
Apa saja proses yang dilakukan? Utamanya tim bekerja keras memulihkan kondisi fisik reel film Tiga Dara, yang banyak bagiannya robek, tergores, dan mengalami kerusakan kimiawi yang disebut vinegar syndrome.
Kemudian tahap ini dilanjutkan dengan tahap restorasi digitalmenjadi format 4K yang merupakan resolusi tertinggi yang dapat dilakukan di Indonesia. Proses ini saja memakan waktu enam bulan. Film yang berdurasi hampir dua jam itu berukuran sekitar 12 Terrabyte dan memiliki hampir 150 ribu frame yang masing masing dibersihkan secara digital.
Sungguh merupakan proses yang membutuhkan waktu, teknologi, ketelitian, kesabaran dan ketelatenan, bukan? Kalau saya secara pribadi tertarik sekali nih untuk mempelajari dan ikut serta kalau ada program restorasi film lagi. Kerja kreatif yang menantang sekaligus merupakan pengabdian kepada bangsa dan sejarahnya.
Mengapa Film Tiga Dara?
Ini suatu peristiwa
Ini cerita sedih gembira
Ini kisah kami, tiga saudara
Kami hidup berkasih mesra
Cuma suatu ketika
Sama sama terpikat asmara
Apa dikata cinta tak terduga
Gugurlah iman si tiga dara
Siapa nyana siapa menduga
Tiga dara kena asmara
Siang malam hati merindu
Rindu kasih nan pertama
Itu adalah penggalan syair lagu yang dinyanyikan di awal fim Tiga Dara oleh tokoh utama Nunung, Nana, dan Nonny, dari karya sutradara dan produser Usmar Ismail.
Tiga Dara adalah film kedua (1956) dari Usmar Ismail alm, yang meraih box office, setelah sebelumnya Krisis (1953), yang diputar berminggu minggu di bioskop kelas satu Metropole, ketika itu. Saya juga pernah menonton Krisis, di TVRI tahun 1980an. Bagus juga kok filmnya. Nanti kapan kapan saya review ya.
Singkatnya film Tiga Dara berkisah tentang kehidupan tiga bersaudara perempuan yang ringan dan ceria, namun ketika mereka mulai merasakan jatuh cinta, konflik mulai terjadi, dan melibatkan nenek yang selama ini merawat mereka. Film ini dibuat oleh PT. Perfini dengan teknologi hitam putih dan layar standard. Namun demikian, masih sangat asyik untuk dinikmati hingga sekarang. Nanti, di akhir postingan ini akan saya tambahkan beberapa film tempo dulu yang bermutu dan masih asyik dinikmati hingga sekarang, dalam rangka menolak lupa itulah.
Siapa saja yang berkontribusi dalam film ini?
Selain Usmar Ismail yang kini disebut sebagai Bapak Perfilman Nasional, juga ada penulis scenario M. Alwi Dahlan yang kemudian kita kenal sebagai salah satu pakar ilmu komunikasi. Pimpinan Kamera adalah Max Tera yang pada tahun 1990 meraih Usmar Ismail Award. Juru suara adalah almarhum Leo Fioole, make up artist adalah Osman dan Sofjan yang kemudian menjadi sutradara pada film “Wali Sanga”, pimpinan produksi atau line producer adalah Nyak Abbas Accup, komposernya adalah almarhum Syaiful Bahri dan Ismail Marzuki, dan sebagai penyanyi adalah almarhum Sam Saimun, Bing Slamet, dan Said Effendi. Beruntunglah saya sempat mengenal karya dan suara mereka, meskipun saya juga tahunya saat mereka sudah almarhum.
Sedikit tentang almarhum Sam Saimun, Bing Slamet, dan Said Effendi, itu suara mereka….sangat mengagumkan. Kalau anda yang lahir setelah tahun 1990an dan kurang kenal dengan seni budaya Indonesia periode 1970an sebelumnya, coba search di YouTube ya.
Para pemerannya adalah: Citra Dewi sebagai Nunung, Mieke Wijaya (ibunya Nia Zulkarnaen) sebagai Nana, dan Indriati Iskak sebagai Nonny. Di tahun 80-90an Ibu Citra Dewi dan Ibu Mieke Wijaya masih cukup aktif di dunia seni peran. Ibu Indriati Iskak kemudian memilih meninggalkan dunia keartisan setelah menikah dengan seorang perwira AURI. Hasan Sanusi sebagai Sukandar, Fifi Young sebagai Nenek, Bambang Irawan sebagai Herman, Rendra Karno (kalau saya enggak salah ingat, dia ini cukup ganteng lah pada zamannya, sama dengan Bambang Irawan) sebagai Toto, dan Usmar Ismail sendiri sebagai pak Tamzil. Para pemeran pembantu ini semuanya sudah lama meninggal dunia. Oh iya, Bambang Irawan itu ayahnya Ria Irawan dan Dewi Irawan. Kalau Fifi Young dulu sering main film sebagai partnernya Tan Tjeng Bok alias pak Item, selain pak Item juga sering berpasangan dengan Emak Uwok (Wolly Sutinah).
Asyiiik, ternyata saya masih ingat ya sama zaman masa itu. *abaikan.
Jadi ceritanya begini, Sukandar seorang duda mempunya tiga anak gadis cantik dan periang. Ketiganya dirawat oleh nenek. Nenek ingin menjodohkan Nunung dengan Toto, apalah daya Nana juga tertarik pada Toto. Sementara ada pemuda lain, Herman, mencintai Nana. Hehehe persoalan cinta memang selalu laris untuk diangkat ya. Nunung sebagai kakak sulung memilih mengalah dan mengungsi ke Bandung, ke rumah temannya, Pak Tamzil. Toto sendiri ternyata mencintai Nunung dan menyusulnya ke Bandung. Cukup mengundang celetukan ‘ejieee … jieee’ bukan?
Cerita sederhana ini ternyata mengandung banyak nilai yang baik untuk dilestarikan hingga masa sekarang. Misalnya nilai kekompakan dalam keluarga, dimana ketiga bersaudara ini tetap saling menyayangi meskipun ‘rebutan gebetan’. Aissshhh. Enggak ada tuh sirik sirikan terus main fitnah seperti sinetron sekarang. Hehehe no offense ya …
Jangan lupa juga alur cerita, konflik film yang dijalin dalam dialog dan nyanyian yang komunikatif, mudah ditangkap, dan ada unsur komedinya tanpa adegan slapstick enggak penting dan bikin eneg. Tidak ada eksploitasi perempuan atau cacat fisik seseorang. Tidak ada kata kata kasar dan porno berhamburan. Disamping itu, scenario dibuat menjadi adegan demi adegan yang filmis, yang membuat film mengalir sepanjang durasi hampir dua jam, sama sekali tidak membosankan. Singkatnya, film ini komunikatif sekaligus bermutu. Penilaian seperti ini setara dengan film “Taksi”, “Nagabonar”, dan “Laskar Pelangi”.
Selain itu, film ini sangat Indonesia. Hampir tidak ada budaya kebarat-baratan yang muncul dalam adegan, bahkan seingat saya tidak ada petikan lagu barat. Dua puluh tahun sesudahnya, sekitar tahun 1976an, ada film “Si Doel Anak Moderen” dibintangi almarhum Benyamin S dan Christine Hakim, film ini penilaiannya nyaris setara dengan Tiga Dara, film bermutu sekaligus komunikatif dan karenanya menjadi legenda. Hanya ada satu penggalan adegan dimana Christine Hakim sedang menyanyikan lagu “Somewhere” (versi asli dinyanyikan Barbra Streissand, Andy Williams, Bing Crosby, dan beberapa penyanyi lain).
Oh, OK, saya dapat poinnya dari film Tiga Dara. Mengapa film ini direstorasi sekarang? Sebab film ini selain bersejarah, juga bernilai budaya, komunikatif, bermutu, dan (karenanya) menjadi legenda. Semangat film ini masih relevan untuk masa sekarang.
Sedikit behind the scene Tiga Dara ya. Konon film ini merupakan hasil adaptasi. Bukan jiplakan, namun sang sutradara, Usmar Ismail, mendapat inspirasi dari sebuah film yang ia tonton ketika ia masih menjadi siswa MULO, di Sumatera Barat tahun 1938. Film itu adalah sebuah film Hollywood berjudul “Three Smart Girls” yang diantaranya diperankan penyanyi legendaris Deanna Durbin. Banyak adegan dari film itu yang dihiasi lagu lagu dari Miss Durbin yang kalau tidak salah baru saja meninggal dunia beberapa tahun lalu. Oh, meskipun enggak ada yang Tanya, saya Cuma mau bilang, saya termasuk salah satu fans-nya Miss Durbin. *old soul sekaliiii….
Usmar Ismail, the Maestro
Usmar sendiri bukan orang yang ‘keras’, ia seorang yang santun dan relijius, Ia menginginkan harmoni dalam kehidupannya, bukan peperangan. Itulah sebabnya ia memilih berjuang di bidang seni budaya, bersama abangnya, Abu Hanifah, dan temannya, wartawan kawakan, Rosihan Anwar. Ia menikah dengan kakak istri Rosihan, Sonja Hermien atau kemudian sering dipenggil bu Mien Usmar Ismail. Ialah yang kemudian dianggap sebagai inspirasi film “Citra” dan kemudian juga piala Citra.
Selain membidani ATNI dan Perfini, Usmar juga seorang sastrawan. Kumpulan Puisinya “Puntung Berasap” yang diterbitkan Balai Pustaka merupakan ekspresi kecintaannya terhadap Tuhan dan agamanya. Tahun 1952, ia belajar ke UCLA California dengan beasiswa Rockefeller Foundation untuk mempelajari sinematografi, yang kemudian ilmunya ia terapkan di tanah air, sehingga lahir karya-karya jenius dan legendaris.
Usmar Ismail meninggal di Jakarta 2 Januari 1971, dan kemudian namanya diabadikan sebagai nama pusat perfilman di Rasuna Said, Jakarta. Dalam “Apa dan Siapa” yang diterbitkan majalah Tempo dikatakan bahwa Usmar Ismail telah mencoba menjadikan film sebagai media ekspresi kesenian dan berhasil meletakkan dasar dasar perfilman nasional.
Saya Menolak Lupa, kalau Anda?
Apa untungnya bersetia pada kenangan lama? Toh kita harusnya menatap masa depan. Ya, tapi jika kenangan lama itu bisa membangkitkan semangat, bisa mengingatkan kita kembali pada nilai nilai kebaikan yang sempat terlupakan, dan terlebih, kenangan lama itu bukan sekedar sejarah namun merupakan bukti perjalanan budaya bernilai emas, harusnya kita menolak lupa. Harusnya malah kita kenang terus, meski dalam momen-momen tertentu.
Sebab kita butuh kenangan untuk menjadi lebih baik di masa depan.
Itu menurut saya. Maka, menurut saya, banyak film yang harusnya juga direstorasi kembali. Semisal Krisis, Asrama Dara, Terang Bulan, Citra, Cinta Pertama (Widyawati dan Sophan Sophiaan), Si Doel Anak Moderen dan SI Doel Anak Betawi, Karmila (versi pertama, sayang sekali saya lupa siapa pemainnya), Ranjang Pengantin (Slamet Rahardjo dan Christine Hakim), Wali Songo, dan entah apa lagi film film bagus yang pernah kita catat dalam sejarah emas perfilman nasional.
Mari lupakan film film bermutu rendah dan hanya memikirkan kepentingan pasar. Bangsa kita jauh lebih berbudaya, lebih pantas menikmati film bermutu dan bernilai kebaikan, ketimbang hanya disuguhi film ‘adaptasi alias jiplakan mati’ dari budaya luar yang kurang pantas.
Yuk dukung restorasi film bermutu. Bagaimana dengan anda?
Referensi :
Anwar, Rosihan, “Sang Pelopor” jilid 5, Jakarta, KPG, 2012
Anwar, Rosihan, “Sejarah Kecil, Petite Histoire Indonesia”, jilid 2, Jakarta, KPG, 2009
Biran, Misbach Yusa, “Sejarah Film, 1900-1950, Bikin Film di Jawa”, Jakarta, Komunitas Bambu dan DKJ, 2009.
Republika.co.id/berita/senggang/film/16/08/04/obdkky328-restorasi-tiga-dara-diharap-picu-ketertarikan-anak-muda
Credit foto by
Wikimedia
Filmindonesiacenter.com
Koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H