Saya itu terkenal sebagai tukang nyasar, sejak dulu, sejak saya mulai kenal lokasi lain di luar rumah dan sekolah saya. Meski sudah didatangi dua kali, tetap saja saya bisa nyasar ketika diharuskan mengulang datang kembali. Bahkan di mall yang sudah cukup sering didatangipun, saya sering nyasar, terutama urusan menemukan toilet dan pintu keluar tempat tadi mobil men-drop saya saat datang. Itu sebabnya dari dulu pula, saya kagum pada si Dora dan Boots dalam serial kartun bocah “Dora and the Explorer” yang selalu gagal nyasar gegara cerdas membaca peta.
Yes, kelemahan saya yang sering bikin saya baper adalah saya tidak pandai membaca peta. Jangankan peta buta, peta yang kebanyakan tanda dan hurupnyapun selalu bikin saya bingung, Mungkin ini disebabkan oleh penyakit saya, yaitu disorientasi arah. Saya seringkali salah membedakan kiri dan kanan, saking bingungnya, saya selalu memakai jam tangan di tangan kanan sebagai pembeda arah. Khawatir saja kalau di jalan ada yang Tanya, “Mbak, jalan ke Gandul ke kiri atau ke kanan?” Dan, sudah terbukti beberapa kali saya sukses bikin orang ikut nyasar gegara gagap arah ini.
Di era smartphone yang dilengkapi aplikasi peta arah suatu lokasi semacam Google Maps, Here, Waze dan sejenisnya, saya masih juga setia dengan penyakit itu. Seringnya lagi, saya bertindak sebagai navigator dengan suami atau supir sebagai driver-nya. Parahnya pula, kedua bapak-bapak itu agaknya punya kecenderungan nyasar yang juga cukup tinggi. Saking paniknya, kadang smartphone itu saya putar-putar supaya ‘arahnya cocok dan terfahami’ oleh saya. Hasilnya? Ya tambah bingung lah. Belum lagi masalah sinyal lola jadi hambatan utama. Lagi pusing-pusing nyari arah, eh sinyal smartphone berhenti mendadak. Enggak jalan-jalan deh tuh si cursor. Paniklah saya, kemana lagi setelah ini?
Puasa kali ini, setidaknya ada sebuah peristiwa dimana say baper gegara bingung mencari lokasi. Yaitu ketika anak saya yang kedua, Ahya, mau ikut Pesantren Kilat yang diadakan oleh Komunitas Home Schooling-nya. Lokasinya sebenarnya tidak terlalu jauh, di daerah Beji Depok. Sejak awal saya sudah cari lokasinya di Google, dan entah mengapa, tidak ketemu juga. Di hari H, di siang yang cukup panas, saya pergi juga bersama suami dan supir mengantar Ahya menuju lokasi.
Sazmpai tiga kali berputar di daerah yang sama, enggak ketemu juga itu lokasi masjidnya. Sudah pakai patokan instruksi ibu teman si Ahya melalui WA, enggak dapat juga. Mengandalkan GPS alias Gunakan Penduduk Sekitar juga muter-muter enggak jelas. Saya mulai baper dan laper (ehhhh) karena dikejar waktu. Acara akan segera mulai, dan setelah itu suami harus ke Halim untuk dinas ke Blitar.
Sebenarnya sejak dari tadi, suami menyuruh menggunakan Waze di smartphone-nya yang sudah 4G jaringannya. Saya saja yang malas. Maklumlah saya gaptek dan sudah sering bermasalah dengan Waze. Lagipula saat itu smartphone suami dipakai Ahya main game.
Pusing melihat saya baper dan mulai menggrundeli supir, suami meminta smartphone-nya kepada Ahya. Dia buka Waze, dan… “Ini lho, Bu, lewat jalan Sulawesi, nanti Jalan Halmahera-nya di ujung. Ini ikutin Waze aja, Pak”, katanya pada saya dan supir.
“Ah Waze mah suka nyasarin”, jawab saya masih manyun. Duh, kalau malah telat gimana ini?
“Ini enggak, insha Allah”.
“Ntar dia stuck, bingung saya”
“Ya enggaklah kan sinyalnya lancar”.