"Dia itu sopir saya, tukang pijat saya, tukang setrika pakaian saya.....ujar sang juragan". Parade pekerjaan sang tukang, menggambarkan betapa dekatnya dengan sang juragan, begitu dekat, begitu pribadi sifatnya, dan sangat mungkin pekerjaannya dilakoni secara profesional. Melakoni pekerjaan dengan profesional, tentu membuat sang juragan amat yakin dan bangga, dan wajar saja ketika pengakuan tertingginya bahwa dia itu orang yang loyal, setia dan bisa dipercaya, begitu sang juragan berujar. Tak terbantahkan, durasi menunjukkan kedekatan itu memang luar biasa, dari diperkenalkan, disekolahkan, sopir, pijat, setrika bahkan sampai pada puncak karir sang tukang yang selevel dengan sang juragan..."menteri kabinet".
Gambaran professionalisme sang tukang amat sulit terbantahkan, bahwa dia memang layak dapat pujian dari sang juragan. Bergandengan tangan, sudah lupa dan agak gugup kalo nyetir sendiri, sudah ada pula tukang pijatnya, setrika pakaian apalagi, sudah lupa pastinya, dan....sekarang sang tukang bukan lagi tukang biasa. Dengan sang juragan pun sudah layaknya adek dan kakak, sejawat. Itulah buah profesional selama mengabdi dengan sang juragan.
Tiba-tiba.....yah...tiba-tiba, semua dengan tiba-tiba, saya pun merasa tiba-tiba bahwa sang juragan dan tukangnya yang dulu, mendapat situasi yang mengharuskan atau terpaksa harus....memperoleh majikan baru. Majikan baru....sebutlah kawan lama mereka juga, namun nasibnya sedikit lebih baik sehingga berkesempatan bisa mempekerjakan sang juragan beserta tukangnya.Â
Menarik.....
Sang tukang, merasa tidak lagi harus mengabdi pada sang juragan, apalagi bersikap professional. Sang tukang, karena terbiasa professional ketika mengabdi pada sang juragan dulu, maka dia pun bertekad dan atau bahkan bersumpah untuk tidak mengecewakan, mengkhianati atau menghilangkan kepercayaannya, pun itu disampaikan juga kepada sang juragan, meskipun sekarang sudah sama-sama levelnya. Sikap professional muncul diawal-awal masa tugas, meskipun kebijakannya dianggap kurang populer dan hanya sekedar kelihatan beda saja dengan pendahulunya. Hal ini biasalah, selalu begitu dari dulu, mesti beda. Â Â
 Rupanya, sang juragan tidak melepas begitu saja sang tukang untuk sepenuhnya mengabdi kepada majikan baru. Mulailah babak baru pertarungan antara sang tukang dengan niat professional dengan sang juragan, yang notabene sang empunya "kendaraan" (partai) yang sama-sama mereka tumpangi menuju ke kediaman sang majikan, tentu saja dengan sopir yang baru. Sang juragan pasti berpikir, ini kendaraan/partai ini tidak mungkin akan jalan sendiri tanpa bahan bakar, belum lagi beberapa penumpangnya juga butuh makan untuk persiapan perjalanan panjang di tahun 2024.....
Akhirnya, kesetiaan sang tukang teruji, dan lebih memilih sang juragan ketimbang sang majikan baru..........
Skenario ini, telah berulang kali tersaji dipanggung kekuasaan negeri ini. Selalu dengan modus bahwa itu adalah kecelakaan pribadi, oknum......ahh skenario pepesan kosong. Dari beberapa kasus yang pernah terjadi, korupsi atau penyelewengan jabatan pada kabinet jauh lebih banyak dari unsur partai dibanding dari unsur professional, artinya keterlibatan partai sedikit banyaknya tergambar dari kejadian tersebut. Terlalu prematur juga kalau kita langsung menafsirkan bahwa sang tukang atau apapun istilahnya hanya dijadikan korban, tumbal atau suruhan, karena paling tidak diapun turut andil dan ikut serta menikmati hasil jarahannya, apakah itu porsinya lebih kecil ketimbang yang diperoleh partai dan koleganya. SADAR atau tidak, partai itu bukan unit usaha, yang menghasilkan atau menghadirkan sesuatu yang bisa dijadikan tulang punggung apalagi mata pencaharian dan bisa menghidupi partai secara berkesinambungan. Partai malah mesti dihidupi, bukan untuk mencari hidup didalamnya, meskipun belakangan terlihat bahwa beberapa atau bahkan lebih banyak partai saat ini dimiliki oleh orang per-orang atau kepemilikan keluarga, namun tetap pola hidupnya sama saja dengan partai lainya yang tetap milik umum seperti Partai Golkar, Partai PPP, PKS, yang lainnya kan sudah milik pribadi.
Partai yang beruntung bisa duduk dalam kabinet dan atau kekuasaan, tentu sangat berpeluang untuk melakukan taking profit, aji mumpung atau aji-aji yang lain. Sangat berani orang yang mau merelakan dirinya direkomendasi oleh partai untuk duduk di kursi kabinet....amat sangat berani, karena dia akan berkompetisi dengan NIAT Professional melawan BIRAHI Partainya....itu sudah haqqul yaqin saya. Tidak  ada partai yang akan berdiam diri dengan sikap professionalnya dengan alasan mengabdi pada sang majikan sementara sang juragan partainya tidak mendapat cipratan....
Menengok pada kasus LOBSTER....jelas sekali pengambil kebijakan, pengatur pemain, para pemain terlihat terang benderang asal muasalnya. Tidak mungkin sang juragan tidak mengetahui rencana sang tukang..........
Apakah sang juragan akan ikut pamit atau akan mempersiapkan tukang lainnya untuk didudukkan lagi di wajan penggorengan lobster.....?