Seorang sahabat saya, dokter muda prospektif, baru-baru ini curhat. Ia sangat sebal dengan serangan masyarakat (dan media massa) yang menurutnya teramat memojokkan para dokter.
Sayang, karena (sok) sibuk, saya belum bisa kopi darat dengan sang dokter cerdas itu. Jadi semoga tulisan ini bisa mengurangi utang perjumpaan.
Duduk Manis Dapet Duit
Si dokter merujuk pernyataan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat yang mengatakan dokter itu enak: yang menyembuhkan Tuhan, yang dapat honor dokter. Lantas jika pasien meninggal, dokter bisa menyatakan itu sudah takdir.
Wah, saya yang bukan dokter saja panas mendengarnya. Apalagi para dokter.
Pernyataan tersebut mengesankan dokter sebagai pemalak malas. Ongkang-ongkang kaki saja, toh selalu bisa salahkan takdir. Â Padahal, tak terhitung dokter yang pontang-panting berusaha menyelamatkan nyawa orang.
Pak Arief sehari setelahnya mengklarifikasi bahwa kalimat tersebut diambil di luar konteks. Dalam konteks penuh, ujarnya, kalimat itu hanya bercandaan dari otokritiknya terhadap profesi hakim dan jaksa. (Saya tidak mau bahas pernyataan Pak Arief di sini, tapi pesan saja: kalau jadi pejabat publik itu, mbok ya ngomongnya ‘diayak’).
Kesan dan Kenyataan
Saya tentu tak perlu panjang-lebar cerita jalan berliku menjadi dokter. Sekolahnya lama, biayanya besar, tanggung jawabnya luar biasa. Perkara hidup-mati. Sebagian kecil masyarakat bahkan menyematkan kepercayaan teramat besar: ucapan dokter seakan dogma dewata!
Namun, sepertinya lebih banyak anggota masyarakat yang sekarang fokus memandang dokter sebagai manusia yang pintar menghisap duit sebanyak-banyaknya; menggadai profesi mulia menjadi rumah gedongan dan mobil mewah.
Dokter model seperti itu pernah saya temui. Memberi resep mahal agar diguyur beragam hadiah dan jalan-jalan gratis dari perusahaan obat. Dokter mata duitan memang nyata, sama seperti bidang profesi lain juga ada yang mata duitan.