Mohon tunggu...
Irma Vitriani Susanti
Irma Vitriani Susanti Mohon Tunggu... -

ibu rumah tangga yang gak cantik2 amat, sotoy, geje, dan kadang lebay

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Mata Anakku Minus Enam?!!!?? (Part I)

2 Agustus 2011   14:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:09 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah cukup lama sebetulnya saya berniat membawa anak saya Arif (9th) ke dokter spesialis mata. Dasar pemikirannya hanya karena saya sendiri penderita rabun jauh, begitu pula dengan suami. Saya minus sepuluh loh, berlensa kontak, dan suamiku minus tiga berkacamata. Kami sama-sama mengenakan kacamata sejak SD.

Dari informasi sekilas yang saya dapat, mata minus itu bisa menurun ke anak. Makanya saya udah niat aja bawa Arif ke dokter mata, ada keluhan ataupun tidak.

Tapi niat tinggallah niat. Selalu saja saya urungkan, karena memang Arif tidak mengeluh apa-apa. Tak ada yang aneh, tak ada pula laporan dari gurunya. Prestasi di sekolah pun bagus.
Hanya saja waktu Arif liburan kemarin, dia banyak maen game di laptop, dan jarak antara matanya dengan laptop menurut saya terlalu dekat. Begitu pula menonton TV. Berkali-kali saya menyuruhnya untuk mundur, tapi dia maju lagi maju lagi. Posisi saat dia membaca buku pun begitu. Terlalu dekat.
Yang membuat saya tidak terlalu risau adalah karena saat dia menjauh pun, dia masih tampak bisa melihat/ membaca.

Barulah tadi siang saya membawa dia ke dokter spesialis mata. Kebetulan sekolahnya masih libur. Niatnya ngabuburit sajalah. Sebelumnya cek gigi pula. Gigi oke, alhamduliLlah.

Sesampainya di klinik spesialis mata, tanpa menunggu lama Arif dipanggil untuk duduk di kursi dan melihat slide huruf kapital. Dan kagetlah saya ketika mata kirinya ditutup oleh perawat, dia tidak bisa membaca satu huruf pun, padahal ukurannya udah yang paling gede. Berkali-kali saya berpandangan dengan Sofi (7th), adiknya Arif. Heran. Kok Mas Arif gak bisa baca sih.
Beberapa lensa dicoba dan dia hanya mencapai kemajuan sampai huruf pertengahan, tidak sampai yang terkecil.

Kemudian pindah tutup mata kanan, mata kiri yang melihat. Yang ini sebentar saja, tampak tak ada masalah berarti.
Kemudian perawat membawanya ke sebuah alat.. emm.. komputer dia bilang (duh.. apa namanya ya?). Arif duduk menempelkan dagu dan keningnya di alat tersebut dan melihat ke sebuah lensa tanpa boleh berkedip. Setelah mata kiri, kemudian mata kanan, dan keluarlah hasilnya berupa print out.

Perawat kembali meminta Arif duduk di kursi tadi. Coba-coba lagi beberapa lensa. Diputar, diganti, dan Arif ditanya. Tetap hasilnya tidak memuaskan.
Perawat pun memanggil saya dan menjelaskan... deg deg deg...

"Ibu, menurut hasil pengukuran komputer, mata Arif ini yang kiri hanya minus 1/4, tapi yang kanan, jauh sekali Bu.. minus 6. Sebentar ya Bu saya panggil dokternya dulu"

Haaa???.. Minus ENAM? Ya Allaaah.. sungguh saya nyesel beribu kali nyesel kenapa saya gak bawa Arif sejak dulu untuk periksa mata.... Dan saya heran kenapa selama ini Arif gak bilang sama saya... pun saya gak melihat gelagat yang terlalu gimanaaa gitu dari Arifnya sendiri. Toh saya kan sering di rumah, dan gerak-gerik Arif cukup teramati oleh saya. Minus ENAM... saya tau seberapa buram itu minus enam. Itu minus saya kelas 3 SMP !!

Dan dokter pun datang.
Beberapa lensa beliau coba lagi di mata kanan. Hasilnya masih kurang memuaskan juga. Sampai pasien di sebelah saya tanya, "Anak ibu udah bisa baca kan Bu?" .. hiks.

Dokter memanggil saya, dan menjelaskan seperti halnya perawat tadi. Dia sama sekali tidak menyalahkan saya. Dia bilang bahwa kasus seperti ini amat besar kemungkinannya untuk terlambat diketahui, karena anak tidak mengeluh, dan orang tua seringkali tidak sadar. Arif selama ini mengandalkan mata kirinya untuk melihat. Tanpa disadari mata kanannya jadi tidak optimal bekerja, sehingga syarafnya melemah. Oow..
Dokter bilang, masih ada waktu 3 tahun lagi (hingga Arif berusia 12 tahun) untuk bisa menguatkan kembali syaraf mata kanannya.
Dokter kemudian memberi Arif obat tetes mata untuk melebarkan pupil (?) -maaf saya  tidak yakin kegunaan obat tetes tadi-, dan meminta saya menunggu satu jam untuk kemudian mata Arif dicek kembali di komputer.
Sambil menunggu, saya telpon suami, dan suami menyuruh saya memeriksakan Sofi juga. Khawatir.
AlhamduliLlah setelah dites huruf dan cek komputer, mata Sofi 100% normal. Dokter bilang cek lagi tahun depan. Insyaa Allah..
Saya membawa anak-anak ke dokter mata memang niatnya hanya memeriksakan Arif dulu saja. Feelingnya agak lain soalnya... Dan, saya mau lihat-lihat tarif dulu.. ke spesialis mata berapa sih sekarang. Hehe.

Satu jam kemudian, setelah cek komputer, Arif boleh pulang dan kembali lagi dalam 2 hari. Mudah-mudahan bisa ditentukan ukuran lensa yang pas untuk Arif nanti, dan mudah-mudahan gak sampai 6 lah.
-pengen nawar sama Allah
.. huhu..

Sore tadi jadinya saya sediiih.. pisaaaaan.. nyeseeeeel... hik hik.... Plus sedihnya membayangkan Arif nanti harus jomplang kacamatanya. Gak ngerti saya ntar bagusnya gimana. Enam itu kan tebal, sementara seperempat itu tipis. Saya tau lah, saya sendiri sejak SD gitu lo berkacamata, hingga saya pindah ke lensa kontak kelas 2 SMA, saat saya minus 7.

Tapi ya gimana lagi, tetep ada sisi syukurnya sih. Bersyukur karena bagaimanapun Arif masih punya waktu untuk bisa melatih lagi otot syaraf mata kanannya. Bersyukur saya tadi diberi niat dan kekuatan untuk melangkah ke klinik. Bersyukur karena saya dan suami insyaa Allah masih diberi rejeki buat periksa mata anak sekaligus nanti biaya kacamatanya Arif.

Arif tadi tampak sedih juga. Dia menghibur diri dengan bilang "Biarlah, setiap orang kan ada sakitnya ya.."
Mungkin maksud dia, setiap orang punya kelemahan.
Iya bener Rif.

Tinggal saya yang harus menguatkan hati, jangan lebay, jangan sampe memperlihatkan ekspresi bahwa kita sedih kalau anak harus pake kacamata tebal.
Saya merasakan sendiri. Bila ekspresi mamah saya baik-baik saja, maka saya pun akan baik-baik saja. Bila mamah tampak cemas, maka saya akan cemas. Bila mamah tampak bersyukur dan berpikir positif, saya terbantu untuk bisa berpikir demikian.

Saya mesti gitu juga di depan Arif. Everything will be better with your glasses, Son! Mari kita jalani saja tiap episode kehidupan kita. Masih banyak kok ... masih banyak buangetttt yang bisa kita syukuri.
Mata minus bukankah jauhhhhh lebih baik.. jauh sekali lebih baik daripada kehilangan penglihatan sama sekali? Na'udzubillahi min dzalik. Semoga Allah melindungi kita dari cobaan berat yang kita tidak sanggup untuk memikulnya.

Di Part II nanti insyaa Allah akan saya tulis eksekusi dokter atas mata Arif, minus berapakah mata kanan dia sebenarnya.
Saya mohon do'a, mohon share pengalaman, dan mohon saran, barangkali ada yang bisa saya lakukan untuk Arif.

Terimakasih telah membaca artikel ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun