Mohon tunggu...
IECC ITS MENGAJAR
IECC ITS MENGAJAR Mohon Tunggu... -

IECC ( ITS Education Care Center) merupakan badan semi otonom yang ada di BEM ITS. IECC ini memiliki tujuan untuk mencerdaskan generasi Indonesia. #GerakanITSMENGAJAR

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tes Masuk SMP Dihapus, Angin Segarkah?

22 April 2014   20:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:20 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari terakhir di berbagai media cetak dan elektronik terlihat lalu lalang berita seputar kebijakan baru pemerintah menghapuskan tes masuk SMP Negeri. Mengingat pelaksanaan ujian yang semakin dekat, berita ini mendapat cukup banyak sorotan dari publik. Bukan menjadi hal yang mengherankan pula ketika berbagai macam pendapat mewarnai pemberitaan tersebut. Pasalnya kebijakan baru pemerintah ini dikatakan cukup berbeda.

Diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, langkah ini diambilnya sebagai bentuk nyata dari usaha wajib belajar sembilan tahun. Pernyataan tersebut diungkapkan olehnya di Gedung Kementerian dan Pendidikan, Kamis, 13 Februari 2014 lalu.

Pelaksanaan penerimaan siswa baru untuk jenjang SMP Negeri sederajat akan didasari oleh nilai rapor dan nilai ujian sekolah siswa. Rencananya, kebijakan baru ini akan berlangsung mulai tahun depan dan disosialisasikan mulai dari tahun 2014 ini.

Keputusan ini mendapat sambutan baik dan dukungan dari sebagian besar pengamat pendidikan.Dihapusnya tes masuk SMP dikatakan akan meringankan beban siswa sendiri. Selain itu kekhawatiran akan tidak bisa diterima di SMP akan sedikit berkurang karena tidak adanya lagi tes-tes yang menjadi prasyarat.

Namun, tidak sedikit pula yang menolak kebijakan tersebut. Alasan terbesar yang mendasarinya adalah kesiapan dari para Guru itu sendiri. Beberapa narasumber mengatakan bahwa kepercayaan mereka terhadap pemerintah mulai berkurang lantaran sikap tidak konsisten pemerintah terhadap kebijakan-kebijakan sebelumnya.

Dianggap Bukan Lagi Fungsi Hasil Semata

Seperti sudah dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya, sebagian besar pengamat pendidikan terlebih yang belakang psikologi dengan girang hati mendukung kebijakan baru ini. Selain itu, keputusan ini nantinya juga akan sedikit melegakan siswa-siswa yang terkait. Adanya kebijakan penghapusan tes masuk SMP ini dianggap merupakan sebuah terobosan terhadap rasa suntuk yang dihadapi negara ini di dalam pemenuhan kewajiban belajar sembilan tahun.

Kebijakan baru ini, bagi banyak pihak, dirasa merupakan suatu keputusan bijak yang membuat bangsa ini tidak lagi berorientasi pada hasil semata dalam pendidikan. Kualitas siswa tidak dipandang dari hasil tes-tes saja tetapi akan lebih dititikberatkan dalam proses pengembangan pada jenjang selanjutnya.

Selain itu dijelaskan lagi alasan bahwa siswa tidak lagi dibayang-bayangin ketakutan ketika mereka harus menghadapi serangkaian tes yang seakan tak ada habisnya untuk bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Siswa akan lebih bisa berfokus kepada ujian sekolah yang dihadapinya.

Tindakan mendukung dihapusnya tes masuk SMP Negeri sederajat ini dinilai menjadi langkah yang jitu bagi pemerintah untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan yang terjadi jika diadakan tes masuk. Baik itu kecurangan yang dilakukan oleh siswa maupun kecurangan yang dilakukan oleh pihak lain seperti tindakan KKN, dan lain-lain.

Dalam pelaksanaanya nanti, pemerintah juga menjelaskan bahwa kekhawatiran berlebihan mengenai kuota tidak perlu ada lagi karena menurut analisis, jumlah SMP yang ada akan cukup untuk menampung lulusan SD. Bahkan, pembuatan sekolah baru dan pembukaan kelas tambahan akan dilakukan pemerintah apabila kuota sudah benar-benar tidak memenuhi.

Luka Lama Pelaku Pendidikan

Lain halnya dengan pendapat lain yang menyatakan penolakan pada kebijakan pemerintah ini. Tentu saja penerapan kebijakan ini masih berhubungan erat dengan pelaksanaan ujian sekolah yang baru saja berganti nama dari ujian nasional.

Penyebab utama pernyataan tidak setuju tersebut didasari oleh alasan kuat kemungkinan adanya tindak kecurangan pihak sekolah untuk mengatrol (mark up) nilai murid-muridnya. Tidak ada parameter yang jelas untuk mengukur seberapa jauh kemampuan siswa-siswi tersebut karena hasil penilaian rapor tiap sekolah berbeda-beda. Pendapat tersebut tentu saja masuk akal mengingat di Indonesia sendiri mental kejujuran masih tergolong rendah. Lagi-lagi akan selalu ada celah untuk bisa masuk walaupun celah tersebut bukan merupakan cara yang terpuji.

Di sisi lain, terdapat pernyataan menggelitik yang diungkapkan beberapa pihak yang sifatnya kontra yakni rasa tidak percaya akibat rekam jejak pemerintah yang cenderung tidak konsisten terhadap kebijakan-kebijakan yang mereka buat. Para pelaku pendidikan mengaku cukup kerepotan apabila tatacara dan serangkaian prosedur pendaftaran masuk SMP Negeri sederajat diganti. Ada sistem penilaian sendiri dan tentu saja ada standar baru yang nantinya dibuat oleh tiap sekolah. Bahkan lebih parahnya lagi, akan ada kemungkinan terjadinya kesenjangan antar sekolah. Sekolah-sekolah favorit akan membludak sedangkan sekolah-sekolah yang masih berkembang akan miskin pendaftar.

Ada Ketimpangan

Sebenarnya, kalau boleh kita telusuri lagi, kebijakan yang dibuat pemerintah kali ini merupakan kebijakan yang aneh. Memang benar bahwa secara singkat, kesan pertama yang diciptakan dari kebijakan ini baik. Namun, kalau kita semua boleh kembali mengamati persoalan ujian nasional yang tiap tahunnya terus menimbulkan konflik, kita akan menyadari sesuatu yang timpang terjadi di sini.

Pada jenjang SD sederajat, ujian nasional kini berganti nama menjadi ujian sekolah. Alangkah lucunya ketika pembuatan ujian sekolah itu masih diseragamkan antar sekolah entah itu tiap kota, kabupaten, bahkan provinsi sekalipun. Dari segi tanggal pelaksanaan pun, pelaksanaan ujian sekolah tadi diserempakkan. Lalu apa beda ujian sekolah dan ujian nasional kalau kondisinya begini? Bukankah dari namanya saja sudah jelas ujian sekolah berarti ujian yang diadakan oleh pihak sekolah sendiri. Mengapa masih ada penyeragaman lagi dan lagi?

Penekanan pada fungsi proses dan daripada fungsi hasil tentu saja diartikan bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh anak tersebut akan diserahkan ke jenjang selanjutnya. Anak tersebut akan dibentuk dan diarahkan sesuai apa yang ia ingin pelajari pada tingkat selanjutnya. Namun, bagaimana bisa jika penilaian tes masuk SMP Negeri sederajat masih menggunakan nilai ujian dan rapor? Parameter mana yang digunakan, bukankah itu menjadi semakin tidak memperjelas tetapi membingungkan SMP terkait yang akan menerima siswa-siswinya. Toh selama ini nilai ujian juga tidak menentukan seberapa jauh kemampuan seorang anak.

Yang seharusnya dilakukan adalah penghapusan ujian nasional atau ujian sekolah pada jenjang SD tetapi tetap mengadakan tes masuk SMP. Mengapa? Yang pertama jelas saja yang berhak menilai bagaimana kondisi siswa-siswi adalah para guru tempat siswa itu belajar, bukan dengan soal-soal pada ujian yang membuat siswa stress. Kedua, penerimaan siswa tanpa tes namun dengan nilai rapor dan nilai ujian akan menimbulkan tindak kecurangan saat ujian terus menerus terjadi. Seharusnya pembuat kebijakan belajar dari pengalaman-pengalaman terdahulu soal bentuk penyimpangan ini. Kalau memang ingin meminimalisir penyimpangan, bukan ini langkah yang diambil. Ketiga, ketika seorang anak dinyatakan lulus oleh suatu SD, namun ia ingin mendaftar ke suatu sekolah, otomatis ia akan membuat pilihan. Juga dari pihak sekolah penerima sendiri membutuhkan indikator atau parameter untuk menerima anak-anak yang dikatakan layak masuk dalam sekolah tersebut. Parameter dan indikator yang jelas memang paling tepat didapatkan dari tes seleksi itu sendiri, bukan dengan nilai ujian dan nilai rapor di sekolah terdahulu yang tentu saja berbeda sekolah satu dengan yang lain. Lagipula bagaimana bisa mendapatkan penilaian yang objektif apabila kebijakan setiap sekolah dalam pengisian rapor itu berbeda pula setiap sekolah?

Demikianlah, sudah sejauh mana kita memahami persoalan ini? Sudah seberapa dalam kita mencoba menelusurinya. Mari berrefleksi.

Ditulis Oleh :

MARIA PUTRI ROSARI

Mahasiswi Teknik Kelautan ITS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun