Saya perhatikan, berita -- berita yang belum valid ini yang kebanyakan beredar adalah sentimen -- sentimen terhadap kubu"musuh" yang secara tidak langsung akhirnya menimbulkan ketakutan yang tidak seharusnya ada.Â
Misalnya begini, pendukung Jokowi percaya jika para muslim yang menurut mereka "radikal" itu berkuasa, maka tidak ada lagi keberagaman agaman dan kita akan dipaksa hidup dengan idealisme keras seperti jaman rasul dulu, atau misalnya umat muslim salafi percaya sistem pemerintahan kita sedang disusupi pihak asing untuk mengadudombakan kita semua dan berakhir seperti Suriah dimana sudah tidak ada lagi rakyat terlindungi dan keamanan hanya simbol belaka.Â
Kepercayaan -- kepercayaan yang berlandaskan ketakutan ini didukung oleh berbagai berita yang muncul setiap harinya dan semua langsung percaya tanpa melihat kevalidan nya karen merasa media sudah tidak bisa diharapkan.
Situasi ini menimbulakn ketakutan yang lama kelamaan semakin besar dan besar dan menimbulkan sebuah pikiran bahwa kubu berseberangan selalu berusaha menyakiti, menghancurkan. Timbul suatu "paranoia" setiap dihadapkan dengan orang yang baru muncul baik itu tokoh politik yang tiba -- tiba bersuara atau orang baru yang masuk didalam kehidupan.Â
Paranoia ini begitu membekas dan menyebabkan tidak bisa tidur dimalam hari, kepikiran terus menerus, tidak tenang, bahkan stres. Dlam pikiran, apa yang rasional menjadi tidak dan apa yang tidak menjadi rasional. Semua kejadian terkait maupun tidak selalu dihubungkan dengan kepercayaan yang ditakutinya sehingga paling parah, timbul suatu delusi. Delusi nyata yang terdengar dan tervisualisasikan dengan baik. Seperti gejala dari penyakit skizofrenia dimana gejala tersebut timbul salah satunya karena kecemasan berlebihan.
Terdengar berlebihan untuk suatu hal yang sebenarnya tidak semenakutkan itu? That'a exactly the point. Berlebihan. Tidak perlulah bereaksi terlalu lebay sampai tidak bisa tidur atau cemas sampai mempengaruhi aktivitas fisik. Tapi itulah yang terjadi ditengah masyarakat sekarang.Â
Mungkin kita yang punya akses atau punya teman dengan berbagai latar belakang tau keadaan masih dapat dikendalikan, tapi bagaimana jika yang terus menerus mendapatkan berita invalid adalah ibu -- ibu rumah tangga yang sehari -- harinya di rumah tanpa interaksi langsung dengan orang banyak? yang ia dapat hanyalah berita viral yang tersebar via group whatsapp, dan akhirnya menimbulkan ketakutan baginya.Â
Ketakutan dan kecemasannya akan diajarkan kepada anak -- anaknya untuk selalu mewaspadai orang, kelompok tertentu. Anak -- anaknya akan bercerita dengan teman -- teman sebayanya, dan seterusnya. Pada akhirnya mengakar di masyarakat enatah sampai kapan. Mungkinkah terjadi budaya baru?
Ini sama seperti pikiran saya sewaktu ada teman dari Amerika yang bilang, "kenapa kebanyakan orang -- orang Indonesia tidak suka mengemukakan sesuatu secara langsung dan lantang di depan umum tapi lebih memilik berbisik sesamanya? Bukankah itu berarti suara mereka tidak akan didengar?"
Kemudian saya ingat dalam sejarah Indoesia, ada peristiwa pembantaian besar -- besaran yang membuat siapapun yang lantang menunjukan keberpihakan dan pendapatnya menjadi korban. Ya, peristiwa PKI. Saya merasa kecemasan dan ketakutan terhadap pengulangan kejadian tersebut menjadi salah satu pemicu masyarakat kita untuk bersikap demikian.
Apa sebaiknya yang kita harus lakukan? Menurut saya paling baik adalah tetap tenang. Memang bagus untuk waspada dan mempersiapkan segala sesuatunya. Tapi kelolalah ketenangan, sikap tenang dan pikiran dingin setelah membaca berita yang tidak jelas kebenarannya. Jangan langsung terpicu, jangan langsung takut. Cari dulu sumber lain dan kevalidannya. Tabayyun dengan benar. Sehingga tidak perlulah kita merasakan ketakutan yang sebenarnya tidak perlu.